Pernahkah kita bertanya dalam hati, mengapa sesuatu yang tampak remeh bisa
dengan mudah disapu bersih oleh kuasa negara, sementara racun yang jelas-jelas
merusak dibiarkan tumbuh liar?
Jika pemerintah mampu menutup pintu TikTok Live dalam semalam, bukankah
semestinya mereka juga sanggup mengunci pintu judi online yang merampas dompet
dan akal sehat rakyatnya?
Pertanyaan ini terdengar sederhana, tapi seperti teh panas yang ditiup pelan,
ada rasa getir sekaligus lucu di baliknya.
Rakyat seperti menonton sandiwara besar, di mana penjahat berjubah necis bebas
berkeliaran, sementara badut kecil diusir dari panggung.
Isi
Sejarah kekuasaan selalu menyimpan paradoks. Negara sering tampil garang pada
hal-hal kecil, namun ragu atau bahkan lumpuh menghadapi perkara besar yang
menyentuh kepentingan luas.
Analoginya mirip seorang ayah yang tega menyita mainan anak karena dianggap
berisik, tetapi pura-pura tuli ketika tetangga berisik sepanjang malam.
Kita tahu, judi online bukan sekadar hobi digital. Ia adalah gurita yang
menjalar hingga ke bilik keluarga sederhana. Tak sedikit rumah tangga retak,
gaji habis dalam hitungan jam, bahkan nyawa melayang akibat jeratan hutang
dari meja virtual.
Data kepolisian menunjukkan ribuan laporan terkait judi online muncul tiap
tahun, namun aplikasinya seperti kepala ular yang terus tumbuh kembali meski
ditebas.
Lalu mengapa TikTok Live lebih mudah ditutup? Karena ia jelas, kasat mata, dan
punya satu pintu besar. Platformnya terpusat, alamatnya jelas, dan dampaknya
sering kali langsung memantik moral panic—panik moral masyarakat.
Sedangkan judi online beroperasi bagai pasar malam bawah tanah: ada ribuan
pintu, server berpindah-pindah, dan jaringannya global. Menutup satu situs
hanya berarti seribu situs baru akan lahir esok pagi.
Namun, alasan teknis hanyalah sebagian cerita. Ada pula bayang-bayang
kepentingan yang lebih kelam. Judi online adalah industri raksasa yang
mengalirkan uang besar, kadang masuk lewat jalur gelap, kadang lewat celah
regulasi.
Sejarah kolonial bahkan mencatat praktik serupa: pada abad ke-19, pemerintah
Hindia Belanda membiarkan lotere dan perjudian tertentu berkembang karena
dianggap “sumber pemasukan negara.” Ironis, bukan? Di negeri merdeka pun, pola
itu kadang terulang dalam rupa berbeda.
Masyarakat akhirnya bertanya-tanya, apakah negara sungguh tak mampu, atau
sekadar tak mau? Pertanyaan ini penting karena menyangkut wajah keadilan.
Ketika hal remeh bisa dibereskan seketika, tapi perkara besar dibiarkan,
rakyat merasa ditertawakan di panggung sandiwara yang terlalu serius.
Namun, kita juga tak bisa hanya menuding. Memblokir judi online ibarat
membersihkan pantai dari sampah plastik yang terus-menerus dibuang ke laut.
Tanpa kerjasama global, tanpa kesadaran rakyat sendiri, usaha itu akan selalu
timpang.
Negara bisa menutup pintu, tapi selama ada orang yang ingin terus bermain,
pintu-pintu baru akan selalu diketuk.
Pada akhirnya, masalah ini bukan hanya soal teknologi atau hukum. Ia menyentuh
akar: keinginan manusia untuk mencari jalan pintas kebahagiaan lewat risiko.
Judi online hanyalah versi digital dari naluri purba itu. Yang perlu
direnungkan bersama adalah: seberapa jauh negara mau melindungi rakyatnya dari
naluri berbahaya yang bisa menghancurkan masa depan mereka?
Baca juga
Penutup
Kita boleh tertawa getir melihat betapa cepatnya TikTok Live dihapus, sembari
judi online masih berkeliaran di sudut-sudut layar. Tapi tawa itu segera
berubah jadi cermin.
Cermin yang memantulkan wajah bangsa: apakah kita rela terus menjadi penonton
dari permainan yang dimainkan di atas penderitaan rakyat?
Dan seperti senja yang perlahan menelan cahaya, pertanyaan ini menggantung
tanpa jawaban pasti. Hanya satu yang jelas: bangsa yang menertawakan luka
sendiri akan sulit sembuh, meski dokter sudah berdiri di depan pintu.
Referensi
Wardle, H., Reith, G., Best, D., McDaid, D., & Platt, S. (2018).
Measuring gambling-related harms: A framework for action. Gambling
Commission.
Semoga kita tetep bersatu hati hati sama pemecah
BalasHapus