DPR kerap hadir dalam perbincangan publik seperti lagu lama yang dinyanyikan ulang: familiar, kadang fals, sering diputar ulang saat ada krisis.
Bagi sebagian orang ia adalah simbol perwakilan — janji-janji yang berubah bentuk setelah dipolish oleh politik praktis; bagi yang lain ia adalah birokrasi tebal yang menyedot perhatian publik lebih banyak saat terjadi skandal tunjangan atau suara kontroversial. Kalau sebuah institusi harus menagih legitimasi setiap pagi, DPR tampak kelelahan menagihnya. Namun sebelum menendang meja rapat dan menyatakan pekerjaan mereka usang, mari membaca ulang peran formal dan hidupnya—bukan untuk memaafkan, tetapi agar kritik kita tidak cuma marah-marah di timeline.
BAGIAN A. Keresahan
Di ruang publik, DPR tampak seperti kombinasi antara kantor pusat keputusan penting dan stadion debat yang kadang berubah menjadi ring tinju. Narasi populer tentang DPR sering berputar di dua poros: fungsinya sebagai perancang undang-undang, pengawas eksekutif, dan penganggaran; serta kritik atas performa — lambatnya legislasi, ketidaktransparanan proses, dan kasus-kasus etika yang menodai citra.
Secara formal, DPR memiliki tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan — kerangka tugas yang menempatkannya sebagai tulang punggung representasi demokrasi.
Realitas sehari-hari warga: banyak yang merasa tak didengar. Survei Open Parliament menunjukkan bahwa publik menganggap partisipasi masyarakat penting, tetapi informasi tentang proses legislatif masih sering sulit diakses dan mayoritas warga memperoleh informasi melalui media massa daripada kanal resmi parlemen. Itu artinya ada jurang antara niat formal (partisipasi) dan kenyataan operasional (akses informasi yang terbatas).
Keresahan lain: kepercayaan publik yang fluktuatif. Lembaga-lembaga negara berlomba-lomba menjaga reputasi; DPR bukan pengecualian. Laporan lembaga survei menunjukkan dinamika kepercayaan publik terhadap institusi—setiap kontroversi besar atau kebijakan yang dirasa tidak pro-rakyat akan menurunkan trust score, sementara inisiatif transparansi bisa mengangkatnya. Perasaan bahwa wakil rakyat "tak lagi mewakili" berubah menjadi sentiment politik yang mudah menyulut protes, apalagi di era media sosial yang menajamkan narasi.
Kejadian konkret kadang menguatkan sinyal negatif: saat isu kompensasi, tunjangan, atau keputusan yang tampak elitis muncul, publik merespons dengan kemarahan yang rasional — uang publik dipandang sebagai ukuran akuntabilitas. Protes, kritik, dan tuntutan reformasi menjadi indikator bahwa masyarakat masih peduli; bukan bukti bahwa lembaga itu sepenuhnya "usang".
Ada ambivalensi: DPR bisa menjadi sumber frustrasi sekaligus arena untuk memperjuangkan perbaikan.
Dalam kerangka organisasi, DPR adalah jaringan stakeholder — politisi, birokrat, kelompok kepentingan, dan warga — yang dipaksa bernegosiasi tiap periode. Jika kegunaan diukur pada seberapa baik jaringan itu menerjemahkan aspirasi menjadi kebijakan yang adil, maka kegunaan DPR bukanlah konstanta; ia variabel yang bisa diukur, diperbaiki, atau dirusak.
Akhirnya, pengalaman modern mengajarkan satu hal: kegunaan institusi publik sangat tergantung pada proses internalnya. Proses yang heavy on secrecy tetapi light on outcome akan disoraki. Sebaliknya, proses yang membuka jalur partisipasi nyata, memperlihatkan KPI yang jelas, dan menghadirkan audit publik, akan menata kembali legitimasi. DPR memiliki tugas formal, tetapi tugas itu harus dipasangi mekanisme governance modern agar relevansinya tidak sekadar ceremonial.
BAGIAN B. Analogi
Mari berpikir sedikit seperti konsultan governance yang suka berpuisi. Jika negara adalah sebuah perusahaan raksasa yang menjual masa depan publik, DPR adalah dewan komisarisnya—tugasnya memastikan manajemen (eksekutif) bekerja sesuai mandat, alokasi sumber daya sesuai strategi, dan produk (kebijakan) tidak cacat mutu. Dalam terminologi korporat:
DPR harus menetapkan roadmap, memonitor KPI, dan menjaga compliance. Namun perbedaan paling mendasar adalah: pemegang saham di republik ini adalah warga; mereka tidak bisa dipanggil RUPS setiap kuartal. Karena itu, representasi menjadi kata kunci—dan masalah muncul ketika wakil yang terpilih lupa cara mendengar suara pemegang saham yang heterogen.
Filsafat politik menambah lapisan: dari Rousseau ke Habermas, legitimasi bergantung pada partisipasi dan komunikasi rasional. Dewan perwakilan bukan sekadar arena voting; idealnya ia adalah ruang deliberasi publik, tempat argumentasi rasional membentuk kebijakan.
Dalam praktiknya, ruang itu sering dirusak oleh logika elektoral: pemilihan ulang (re-election pressure), logika partai, dan kalkulasi pragmatis menekan waktu untuk deliberasi. Hasilnya: undang-undang bisa lahir dari kompromi politik yang aman tapi miskin visi.
Baca juga, Apakah kekuasaan mampu membuat lupa diri?
Ambil analogi lain: DPR ibarat jantung yang harus memompa darah kebijakan ke organ tubuh negara. Jika arteri-arteri informasinya tersumbat (keterbukaan rendah, partisipasi kecil), organ lain — pendidikan, kesehatan, ekonomi — merasakan buruknya distribusi.
Open Parliament adalah salah satu usaha untuk membuka pembuluh itu—menyediakan akses data, peta jalan legislasi, dan ruang dialog. Namun plastikitas institusi sulit ditambal hanya dengan portal; perubahan butuh kultur politik baru yang menghargai due diligence, audit publik, dan akuntabilitas berkala.
Tokoh-tokoh pembaru di parlemen sering berusaha menyeimbangkan: legislatif sebagai pembuatan aturan yang adil dan legislatif sebagai alat kontrol. Historisnya, DPR dalam beberapa periode tumbuh dan menyusut pengaruhnya tergantung pada konfigurasi sistem presidensial-parlementer, hakim konstitusi, dan dinamika partai. Perubahan-perubahan itu mengajarkan satu hal filosofis: institusi bukan benda mati; mereka berevolusi. Karena itu, ketika kita bertanya "berguna atau tidak?" harus ditambahkan kata: untuk siapa, dalam konteks apa, dan dengan metrik apa?
Secara praktis, reformasi yang berpijak pada prinsip modern governance—transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan efektivitas—adalah skema minimal untuk memulihkan kegunaan. Contoh konkret: penyusunan Prolegnas yang lebih inklusif, mekanisme uji publik untuk RUU, serta pelaporan KPI legislatif yang bisa diakses publik. Jika DPR bisa memposisikan diri bukan sebagai penjaga privilese, tapi sebagai platform kolaboratif antara ahli, masyarakat sipil, dan pemerintah, maka fungsinya tak lagi semata formal—melainkan instrumental bagi perbaikan hidup bersama.
Namun kritik harus tetap tajam. Reformasi tanpa sanksi adalah performa. Transparansi kosmetik hanya menunda kemarahan. Kita butuh indikator outcome: apakah undang-undang yang dihasilkan menurunkan ketimpangan? Meningkatkan kualitas layanan publik? Mengurangi korupsi? Jika tidak ada pengukuran outcome, maka DPR akan terus sibuk dengan proses tanpa menjawab pertanyaan mendasar: apakah keputusan kami membuat hidup warga lebih baik?
BAGIAN C. Pertanyaan Terbuka
Di ruang batin, pertanyaan tentang kegunaan DPR turun ke ranah etis: apakah kita masih percaya pada perwakilan? Perwakilan sejati bukan kata kaku—ia adalah betapa wakil itu menjadikan kepentingan publik bukan sekadar narasi retoris, melainkan prioritas yang terukur. Rasanya penting untuk menolak dualisme hitam-putih: DPR bukan malaikat suci, tetapi juga bukan sampah politik. Kegunaan institusi muncul ketika warga merasa didengar; ketika mekanisme memberi ruang bagi suara marginal; ketika proses legislasi tak lagi eksklusif untuk elite.
Empati di sini penting: banyak anggota DPR datang dengan niat bukan sekadar berkuasa, melainkan mengabdi. Namun niat tanpa struktur yang baik rawan tereduksi oleh struktur insentif politik. Kita perlu melakukan due diligence emosional: menginspeksi mengapa warga kecewa, menyisir mana yang keliru — ketiadaan akses informasi? Peraturan yang dibuat karena lobi? Biaya politik yang besar untuk melakukan hal benar? Dengan pembedahan seperti ini, kritik menjadi arsitektur, bukan hanya amarah.
Ada pula suara futuris yang mengusulkan rekayasa ulang: dari sistem pemilu, pembiayaan politik, hingga penggunaan teknologi deliberatif—platform digital yang aman untuk konsultasi publik, audit legislatif berbasis data, dan sistem pemilihan yang menekan uang politik. Semua itu mungkin, namun tak instan. Transformasi institusional menuntut roadmap, komitmen, dan—yang sering dilupakan—mentalitas baru dalam politik. Tanpa itu, teknologi hanya canggih secara kosmetik.
Kembali ke pribadi: bagaimana kita, warga, berkontribusi? Kritik yang efektif bukan hanya marah; ia memberi alternatif, menuntut transparansi, dan memantau hasil. Kita harus menjadi stakeholder aktif, bukan konsumen politik pasif. Menjadi saksi, memberi saran, mengadvokasi uji publik, menuntut KPI legislatif — tindakan kecil berkali-kali lebih berguna daripada retorika besar tanpa jejak.
Akhirnya, refleksi batin menempatkan pertanyaan moral: apakah tujuan utama demokrasi kita adalah legitimasi formal atau kesejahteraan nyata? Jika pilihan kita adalah kesejahteraan nyata, maka DPR harus dinilai berdasarkan outcome. Jika DPR gagal deliver, maka kritik keras sah; jika DPR berhasil jadi mekanisme korektif, maka ia tetap berguna. Di antara dua ekstrem itu ada ruang untuk membangun: reformasi yang pragmatis, estetika politik yang jujur, dan budaya akuntabilitas yang tak mudah padam.
Penutup
DPR sebagai institusi bukan artefak yang tak bisa diubah; ia adalah proyek kolektif yang sedang dibangun—kadang dengan bata yang rapuh, kadang dengan semen perbaikan yang masih basah. Menyatakan bahwa DPR usang sama mudahnya dengan menyatakan bahwa demokrasi gagal; pernyataan itu dramatik, tetapi sering tidak membantu. Kritik yang produktif menuntut diagnosis dan resep: buka proses, ukur hasil, dan tegakkan sanksi bila perlu. Jangan biarkan kemarahan menjadi satu-satunya kebijakan; biarkan ia menjadi bahan bakar untuk desain ulang institusi.
Kita bisa menyusun KPI legislatif, menerapkan praktik open parliament yang nyata, dan menuntut outcome yang dapat diverifikasi. Atau kita bisa terus mengeluh di warung kopi digital—sambil menunggu gelombang protes berikutnya. Pilihan ada, dan tanggung jawab juga. Apakah kita ingin DPR yang sekadar memegang palu, atau DPR yang memegang kompas moral dan teknis untuk masa depan bersama? Jawabnya bukan lagi soal utilitas abstrak — melainkan soal apakah kita mau mengerjakan pekerjaan membosankan namun perlu: memperbaiki proses, bukan hanya menunggu skandal berikutnya.
Referensi
Open Parliament Indonesia. (2021). Hasil Baseline Survei Peta Jalan Open Parliament Indonesia (OPI).
Mahendra, I. (2019). Inovasi Parlemen Menjawab Tantangan Zaman. Universitas Muhammadiyah Jakarta. (repositori UMJ).
House of Representatives (Indonesia). Wikipedia (2024–2029).
Indikator Politik Indonesia. (2024). Rilis Tingkat Kepercayaan Publik terhadap Lembaga. .
Kalau kita lihat dpr ini terlalu banyak orangnya, padahal saya yakin 10 sampai 30 orang sudah cukup.
BalasHapusMasih berguna, buat koleksi kasus korupsi edisi terbaru
BalasHapusBerguna kok… buat tidur siang berjamaah dengan AC gratis
BalasHapusBerguna banget, jadi contoh buruk buat generasi muda
BalasHapusMasih berguna, buat ngeributin gaji sendiri
BalasHapus