Pernahkah kita bertanya dalam hati: apakah sebuah bangsa bisa runtuh bukan
karena musuh dari luar, melainkan karena kerakusan di dalam tubuhnya sendiri?
Seperti tubuh yang perlahan digerogoti penyakit, kekuasaan yang rakus sering
kali tidak tampak berbahaya pada awalnya. Kita tetap makan, tertawa, bekerja,
seolah tak ada yang salah.
Namun, sejarah pernah berbisik nakal kepada kita: Romawi, sang penguasa dunia,
pernah jatuh bukan karena kalah perang semata, melainkan karena pejabatnya
lupa arti cukup. Apakah Indonesia sedang berjalan di lorong yang sama, hanya
dengan musik dangdut dan baliho politik sebagai pengiringnya?
Isi
Mari kita buka lembar sejarah sejenak. Kekaisaran Romawi, yang pernah
menguasai sebagian besar dunia dikenal dengan jalan-jalan megah, koloseum
megah, dan tentara yang disiplin. Namun di balik gemerlapnya, para pejabat dan
elit Romawi sibuk mengumpulkan kekayaan. Pajak rakyat dinaikkan, pesta pora
makin sering digelar, dan praktik korupsi dianggap hal biasa.
Di titik tertentu, rakyat mulai lelah. Ekonomi goyah, kepercayaan hancur, dan
perlahan, pilar-pilar Romawi runtuh. Seperti gedung megah yang dari luar
tampak kokoh, tetapi fondasinya sudah keropos. Apakah kita merasa déjà vu?
Indonesia hari ini tampak gagah dengan jargon “emas 2045”, jalan tol yang
membelah pulau, dan wacana Ibu Kota baru yang futuristik.
Namun di balik itu, korupsi terus diberitakan, pejabat semakin pandai menumpuk
harta, dan rakyat sibuk menambal hidup dengan gaji yang tak seberapa. Di
sinilah analogi Romawi mulai terasa relevan.
Bayangkan bangsa sebagai kapal besar. Nahkoda dan awak kapal semestinya
menjaga layar tetap tegang, arah tetap lurus, dan persediaan cukup untuk semua
penumpang.
Tetapi jika para awak justru sibuk mengantongi makanan ke sakunya sendiri,
sementara penumpang hanya mendapat remah-remah, apakah kapal itu bisa sampai
di tujuan?
Romawi memberi pelajaran pahit:
kekuasaan bisa bertahan berabad-abad, tetapi kerakusan mampu memendekkan
usianya.
Pertanyaan penting untuk kita:
Apakah Indonesia cukup bijak untuk belajar, atau kita akan mengulang babak
sejarah yang sama dengan gaya lokal—korupsi berjubah proyek infrastruktur,
kolusi beraroma dinasti politik, dan nepotisme yang diberi label “tradisi
kekeluargaan”?
Yang menarik, penelitian modern juga menyoroti hal ini. Studi oleh Acemoglu
dan Robinson (2012) dalam bukunya Why Nations Fail menekankan bahwa institusi
yang inklusif—yang memberi akses dan keadilan pada rakyatnya—membuat bangsa
bertahan. Sebaliknya, institusi yang eksklusif, penuh dengan elit yang
serakah, adalah jalan pintas menuju kehancuran.
Romawi jatuh ke lubang ini. Pertanyaannya: apakah kita sudah mulai menggali
lubang yang sama?
Kita bisa lihat tanda-tandanya. Ketika rakyat lebih sering jadi penonton drama
politik daripada penentu arah, ketika suara hati digantikan dengan amplop dan
seremonial, dan ketika pejabat sibuk memperbesar rumah pribadi daripada
memperbaiki rumah bangsa, maka gema Romawi semakin dekat terdengar.
Namun, sejarah bukan sekadar hantu masa lalu. Ia juga peta peringatan. Kita
tidak harus jatuh ke lubang yang sama jika cukup berani menatap cermin.
Pejabat boleh saja serakah, tetapi rakyat selalu punya kekuatan untuk
mengingatkan, mengkritik, dan menjaga agar kapal tidak karam. Pertanyaannya,
apakah kita mau bangun dari kursi penonton dan ikut menggerakkan dayung?
Penutup
Bangsa ini mungkin tidak akan runtuh seperti Romawi esok atau lusa. Tetapi
setiap pilihan hari ini, setiap korupsi yang dibiarkan, setiap suara yang
dijual, adalah paku kecil yang dipasang di peti mati sejarah.
Apakah Indonesia akan hancur seperti Romawi? Jawabannya tergantung pada kita
semua, bukan hanya pada pejabat.
Sejarah kadang berulang, kadang berubah. Yang jelas, kapal bernama Indonesia
ini masih berlayar. Entah menuju pelabuhan emas atau karang kehancuran, layar
itu ada di tangan kita semua.
Semua dimulai dari sini, baca juga
Referensi
Acemoglu, D., & Robinson, J.A. (2012). Why Nations Fail: The Origins of
Power, Prosperity, and Poverty. Crown Publishing.
Scheidel, W. (2017). The Great Leveler: Violence and the History of Inequality
from the Stone Age to the Twenty-First Century. Princeton University Press.
Udah saatnya kita cuma cari orang waras bukan cuma sekedar terkenal
BalasHapusTapi susah masyarakat kita ngeliat orang baik dikit aja langsung suka tampa cari info detailnya, giliran yang disuka ketauan gak waras, masyarakat kita baru nyalahin dia
HapusSelama masyarakat mau bersatu dan tidak mementingkan ego sendiri terus menerus maka bisa terwujud indonesia yang kuat
BalasHapus