Ada sesuatu yang dingin dan jauh tentang angka di kepala kita—sebuah ruang yang seolah hanya untuk rumus, simbol, dan hukuman nilai. Banyak dari kita bertemu matematika pertama kali sebagai teka-teki yang harus diselesaikan untuk melewati ujian, bukan sebagai alat untuk memahami dunia.
Rasa takut itu akhirnya menempel karena bebrrapa hal: guru yang terburu-buru, kurikulum yang memaksa, dan ritual tugas rumah yang terasa seperti sebuah audit moral. Namun anehnya, di balik kebencian itu ada nilai kebutuhan: kita masih bergantung pada matematika setiap kali kita membaca suhu, mengecek anggaran, atau menimbang risiko sebuah keputusan. Pertentangan inilah yang ingin kita telusuri—tanpa menggurui, hanya menyapa nalar dan rasa.
BAGIAN A - Fenomena
Matematika masuk ke hidup banyak orang seperti tamu formal yang datang tanpa diberitahu: hadir di meja sekolah, saat kita membuka buku tebal, dia menyuguhkan notasi yang tampak seperti mantra. Untuk anak-anak ia kerap menjadi arena penilaian—bukan eksplorasi. Sekolah mengubah matematika menjadi hanya sebuah metrik: nilai A, B, C; persentase; ranking.
Akibatnya, hubungan dengan matematika yang terbentuk adalah hubungan berbasis performa, bukan rasa ingin tahu. Ketika sesuatu hanya dinilai, ia kehilangan keheranan; dan tanpa keheranan, rasa cinta jarang lahir.
Dalam pengalaman modern, matematika juga menjadi cermin ketidakadilan sosial. Mereka yang mendapat tutor, kursus tambahan, atau lingkungan keluarga yang memberi waktu untuk latihan akan tampak “lebih berbakat”. Mereka yang lahir di lingkungan yang tak menyediakan dukungan itu lalu dianggap “kurang kemampuan”. Diskursus itu mengaburkan fakta bahwa banyak aspek kemampuan matematis adalah pelatihan, bukan kodrat. Stigma “buta angka” sering dipakai seperti label moral: gagal paham = gagal berusaha.
Bahasa sehari-hari—“aku nggak bisa matematika”—menutup jalan dialog dan eksperimen; ia meneguhkan kebencian sebagai fakta yang tak perlu dipertanyakan.
Secara psikologis, ancaman terbesar bukan angka, melainkan cara kegagalan pertama direkam dalam memori. Rasa malu di depan teman-teman, ejekan terhadap jawaban yang salah, atau pengalaman berulang dengan soal yang tidak pernah dimengerti membentuk cerita batin: “Matematika itu untuk orang lain.” Setelah cerita itu jadi, setiap tugas baru memicu ingatan lama—bukan kesempatan baru. Ketika otak beradaptasi dengan kesiapan bertahan, ia lebih memilih memblokir, menghindari, atau memberi alasan: fokus pada “lebih penting” daripada menghadapi kecemasan numerik.
Konteks sosial juga sangat berperan. Di generasi yang tumbuh dengan aplikasi finansial, kalkulator instan, dan antarmuka yang menyembunyikan rumus, kebutuhan praktis terhadap simbol-simbol angka itu tampak berkurang, seolah-olah teknologi menggantikan kewajiban memahami hal-hal dasar.
Ironisnya, ketergantungan pada alat membuat pemilik alat lebih rentan saat alat itu hilang atau salah; pemahaman dasar akan memberi fleksibilitas, sementara ketergantungan menimbulkan kerapuhan. Jadi kebencian itu berakar: ia adalah gabungan pengalaman pendidikan, memori emosional, tekanan sosial, dan perubahan teknologi. Matematika bukan hanya rumus; ia menjadi agen yang menilai kita, padahal seharusnya ia hanya alat yang memetakan ketidakpastian.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tetap membutuhkan matematika: saat menyusun anggaran, membaca statistik kesehatan, menilai peluang pekerjaan atau mengoptimalkan waktu. Tetapi kebutuhan praktis itu sering disampaikan tanpa konteks yang bermakna, sebuah “deliverable” yang kering. Ketika manfaat disodorkan hanya sebagai utilitas, bukan undangan, penerimaan akan tetap dingin. Kesenjangan antara kebutuhan nyata dan pengalaman pendidikan yang buruk itulah yang membuat matematika sering dibenci, meski sebenarnya sangat diperlukan.
BAGIAN B - Analogi
Jika kita ingin membaca ulang kebencian terhadap matematika, kita perlu mengganti frame: dari “ujian dan hukuman” menjadi “narasi penemuan”. Matematika, secara filosofis, adalah bahasa untuk merumuskan struktur: pola yang muncul di dunia, dari gerak planet sampai fluktuasi harga pasar.
Poin pentingnya bukan kebenaran mutlak rumus, melainkan cara rumus mereduksi kompleksitas menjadi sesuatu yang bisa diuji, dimodelkan, dan—yang paling penting—dinaiki sebagai jembatan menuju imajinasi yang bebas. Poin ini mengingatkan kita pada gagasan Poincaré tentang intuisi matematika: bukan sekadar mekanik, tetapi seni membaca pola.
Seorang tokoh yang relevan di sini bukan hanya Einstein yang dikenal, tetapi juga guru-guru kecil yang memperkenalkan cerita di balik penemuan—cerita tentang kesalahan, fash, dan wahyu. Ketika sejarah dihadirkan sebagai cerita manusia—siapa yang membuat rumus, mengapa, dan bagaimana mereka gagal terlebih dahulu—matematika menjadi seni kehidupan, bukan sekedar hukuman.
Studi pendidikan menunjukkan bahwa memasukkan sejarah matematika ke dalam kelas meningkatkan motivasi dan relevansi pelajaran karena memberi konteks manusiawi pada konsep yang tampak abstrak. Pendekatan ini mengubah matriks dari beban menjadi arsip pengalaman kolektif manusia.
Baca juga, para penemu angka nol
Ada juga peran imajinasi—konsep yang sering disalahpahami sebagai sekadar “fantasi”. Imaginasi di sini adalah kapasitas mental untuk memvisualkan struktur yang belum tampak: memikirkan bilangan tak hingga, membayangkan kurva yang belum digambar, atau mensimulasikan konsekuensi sebuah hipotesis.
Penelitian yang mengeksplorasi penggunaan sejarah matematika menempatkan imajinasi sebagai elemen penting dalam kegiatan belajar: ketika siswa membayangkan konteks babylonian atau cara pikir matematikawan klasik, mereka sering memberi respons kreatif yang berbeda dibanding pengajaran yang hanya berfokus pada prosedur. Imaginasi bukan lawan rasionalitas; ia adalah bahan bakar rasionalitas.
Kita juga bisa menarik analogi dari estetika. Matematika memiliki kualitas estetis—simplicity, elegansi, economy of explanation—yang mirip dengan puisi. Pernyataan sederhana yang menjelaskan banyak kasus adalah “indah” dalam kerangka ilmiah. Namun indah itu tidak langsung; ia memerlukan latihan mata: melihat pola, mengasah intuisi, belajar menilai solusi nontrivial. Pendidikan yang memaksa model shortcut menghancurkan perjalanan menuju apresiasi estetis itu. Jika kita mengadopsi pendekatan kuratorial—mengkurasi masalah-problem yang membawa rasa ingin tahu—maka matematika berubah dari tugas administratif menjadi kurasi pengalaman estetis dan intelektual.
Ada pula dimensi politik-kultural: masyarakat sering memuji mereka yang piawai dalam retorika, seni, atau entrepreneurship, sementara memandang kemampuan teknis sebagai sekadar utilitas. Ini membentuk nilai-nilai anak-anak: menjadi “kreatif” dipuji, tetapi menjadi “matematis” dianggap kaku.
Padahal kreativitas sejati sering memerlukan struktur. Dalam bahasa korporat: kreativitas butuh framework; framework butuh metrik; metrik butuh matematika. Mengemas matematika sebagai kompetensi lintas-fungsi—bukan silo akademis—membuka jalan agar ia dihargai sebagai keterampilan strategis, bukan sebuah ancaman emosional.
Akhirnya, mari kita singkap peran guru sebagai “product manager” pembelajaran. Guru yang melihat murid sebagai stakeholder, mendesain pengalaman belajar yang iteratif, menerima feedback, dan mengoptimalkan deliverables pembelajaran akan lebih sukses menumbuhkan rasa ingin tahu daripada guru yang hanya mengejar syllabus.
Ini bukan trivial—ini soal budaya kelas. Pendekatan yang memanfaatkan sejarah, imajinasi, dan estetika matematika adalah roadmap praktis untuk mengubah persepsi: dari benci menjadi berminat, dari takut menjadi penasaran. Ada argumen yang lebih luas, juga—bahwa riset pendidikan harus lebih relevan bagi praktik kelas—sebuah debat yang sedang hidup di komunitas akademik pendidikan matematika.
BAGIAN C - Refleksi Batin
Bayangkan sejenak: seorang anak menatap soal yang membuatnya gemetar, bukan karena rumusnya rumit, tetapi karena suara di kepalanya mengulang, “kamu pasti salah.” Siapa yang berbicara? Keras sekali suara itu karena ia punya bukti—pengalaman lama.
Sekarang bayangkan anak yang sama diberi satu cerita: kisah tentang seorang matematikawan yang mengacau berkali-kali sebelum menemukan pola sederhana. Cerita itu menautkan risiko yang manusiawi pada proses berpikir matematika. Ia memberi ruang salah—bukan celaan—dan secara perlahan suara itu berubah dari “kamu pasti salah” menjadi “mari coba lagi”.
Refleksi batin ini penting karena pengantar perbaikan bukanlah teknik matematika semata, melainkan transformasi narasi diri. Ketika kita mengizinkan kegagalan sebagai fase eksperimen, kita memberi ilmu ini peluang berkembang. Tidak perlu mengubah seluruh sistem dalam semalam; mulai dari satu kelas, satu guru, satu cerita yang dimasukkan ke dalam lembar tugas. Praktik kecil seperti ini memberi sinyal baru: matematika bukan pengadilan, melainkan laboratorium.
Pertanyaan terbuka yang menempel pada otak kita adalah—apa tujuan belajar matematika? Apakah sekadar lulus ujian atau menjadi alat untuk berpikir? Jawaban kita akan menentukan desain pendidikan.
Jika tujuan utamanya adalah kemampuan berpikir kritis, maka soal-soal yang kita pilih, cara kita memberi umpan balik, dan ruang yang kita buat untuk imajinasi harus berbeda. Jika tujuan kita masih standar pengukuran semata, kebencian akan terus menguat.
Ada pula pertanyaan tanggung jawab publik: bagaimana sistem pendidikan bisa merancang ulang “first encounters” (pertemuan pertama) agar tidak traumatis? Mungkin jawabannya sebagian adalah budaya—kita perlu merestorasi cerita manusia di balik angka, memberi akses kepada semua anak untuk pengalaman berlatih tanpa stigma, dan mendesain kurikulum yang mengutamakan pemahaman konseptual sebelum prosedur.
Pada level personal, kita bisa bertanya: kapan terakhir kali kita memberi kesempatan pada diri sendiri untuk “main” dengan angka tanpa takut nilai? Menjadikan matematika sebagai playground mental, bukan alat di medan perang, adalah perubahan kecil yang memiliki efek kumulatif besar.
Peralihan dari teori kembali ke manusia akhirnya menuntut empati yang konkret: mengizinkan siswa salah, merayakan solusi kreatif, dan menyusun tugas yang menantang tapi tidak menyiksa. Bukan transformasi instan, tetapi iteratif—sebuah siklus build-measure-learn untuk pendidikan. Jika kita mampu merelokasi makna matematika dari label kegagalan ke alat pemberdayaan, kebencian akan berkurang—bukan karena matematika menjadi lebih mudah, tetapi karena hubungan kita dengan matematika menjadi lebih manusiawi.
Penutup
Matematika menuntut sesuatu yang jarang kita latih: keberanian untuk bertahan di ambang ketidakpastian dan rasa ingin tahu yang gigih. Ia bukan monster, melainkan cermin; bukan ujian moral, melainkan alat yang memetakan kemungkinan. Jika kita ingin memutus siklus kebencian, mulailah dengan satu perubahan kecil:
Cerita yang menyambut kegagalan, soal yang memberi ruang imajinasi, dan guru yang bertindak sebagai product manager pengalaman belajar. Ketika bahasa matematika kembali dipakainya untuk menerjemahkan dunia yang nyata—bukan semata-mata menilai kemampuan—kita akan menemukan bukan sekadar keterampilan, tetapi kebebasan berpikir.
Di ujung perjalanan ini ada satu pertanyaan yang menggantung, untuk direnungkan bersama: apakah kita siap mengubah cara kita berjumpa dengan matematika—dari laga menjadi laboratorium batin—agar kebutuhan sehari-hari dan gagasan besar dapat diukur tanpa mengorbankan martabat belajar?
Referensi
1. Bütüner, S. Ö., & Baki, A. (2020). The Use of History of Mathematics in the Mathematics Classroom: An Action Study. International Journal of Education in Mathematics, Science and Technology, 8(2), 92–117.
Studi ini mendeskripsikan bagaimana integrasi sejarah matematika ke dalam kelas dapat meningkatkan motivasi dan pemahaman siswa.
2. De Vittori, T. (2021). On the Role of Imagination in the Use of History in Mathematics Education. International Electronic Journal of Mathematics Education, 16(3), em0660. DOI.
Artikel ini mengeksplorasi peran imajinasi saat siswa bekerja dengan aktivitas berbasiskan sejarah matematika.
Essien, A. A., et al. (2025, 20 Aug). Mathematics education research must be useful for the classroom. ArXiv / Proceedings PME-48.
Teks diskusi ini menyoroti kebutuhan agar penelitian pendidikan matematika relevan dan dapat diterapkan di kelas.
Dulu benci banget sama matematika, sekarang nyesel… ternyata hidup isinya hitung-hitungan semua
BalasHapusMangkanya blajar
HapusJang jadi masalah itu kaya semua hal di matematik diajarin tapi cuma sedikit yang dipake
BalasHapus