Pernahkah kamu tertawa lepas mendengar candaan seorang teman, lalu tiba-tiba
merasa hatimu seperti tergores tipis?
Ada kalanya ejekan terasa hangat, tetapi di lain waktu ia berubah menjadi
hinaan yang menusuk. Pertanyaan pun muncul: apakah ejekan dan hinaan hanyalah
dua sisi dari koin yang sama?
Bahasa, seperti udara sore yang lembut, bisa menyejukkan sekaligus mencekik.
Kadang kita salah membaca maksud. Kadang pula kita pura-pura tidak peduli,
padahal luka itu nyata.
Seperti komedi yang tak sengaja berubah jadi tragedi, batas antara ejekan dan
hinaan kerap lebih tipis dari yang kita kira.
Ejekan: Rasa Akrab yang Menyelinap di Antara Tawa
Dalam persahabatan, ejekan sering hadir sebagai tanda kedekatan. Teman lama
lebih berani menyentil kelemahan kita—bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk
merayakan kebersamaan. Ibarat garam dalam masakan, sedikit ejekan justru
membuat hubungan terasa hidup.
Budaya kuno bahkan menempatkan ejekan dalam ranah seni. Di Yunani, satire
menjadi medium filsuf untuk menyampaikan kritik sosial. Aristophanes,
misalnya, menciptakan drama penuh ejekan yang justru memancing tawa sekaligus
refleksi. Dari sini kita belajar: ejekan bisa menjadi pintu menuju pemikiran
baru, bukan sekadar bahan olok-olok.
Dalam keseharian, ejekan seperti panggilan akrab: “gendut,” “botak,” atau
“cungkring.” Dalam lingkaran hangat, kata itu terdengar ramah. Namun ketika
diucapkan tanpa rasa hormat, arti dan rasanya berubah total.
Hinaan: Luka yang Menyusup Lewat Kata
Berbeda dengan ejekan, hinaan membawa niat melukai. Kata yang sama bisa
berubah menjadi racun jika keluar dengan nada merendahkan. Hinaan sering hadir
bukan untuk menertawakan bersama, melainkan untuk menundukkan dan meninggalkan
luka.
Di era digital, hinaan meledak dalam bentuk komentar pedas dan cyberbullying.
Tanpa tatap muka, orang mudah melempar kata tajam tanpa merasa bersalah.
Dampaknya nyata: kepercayaan diri menurun, bahkan bisa meninggalkan trauma.
Penelitian dalam kajian wacana menunjukkan bahwa membedakan ejekan dari hinaan
sering bergantung pada konteks dan niat penutur. Niat yang murni untuk
bercanda cenderung menghasilkan roasting (ejekan hangat), sedangkan niat
menjatuhkan berubah menjadi penghinaan.
Analogi: Bayangan Sore yang Ambigu
Coba bayangkan matahari yang perlahan turun di sore hari. Bayangan pohon bisa
tampak teduh, bisa pula terasa mencekam. Dari jauh, keduanya sulit dibedakan.
Begitu juga dengan ejekan dan hinaan: sama-sama berupa kata, sama-sama bisa
memancing reaksi, tetapi efeknya berbeda tergantung dari mana ia lahir.
Bayangan teduh lahir dari niat melindungi, sedangkan bayangan gelap muncul
dari keinginan menakut-nakuti. Demikian pula kata-kata: yang satu bisa jadi
jembatan keakraban, yang lain bisa jadi jurang luka.
Masyarakat, Bahasa, dan Ambiguitas
Di Indonesia, ejekan sering dianggap tanda keakraban. Namun konteks selalu
menjadi penentu. Sapaan yang akrab di kampung bisa berubah jadi hinaan kasar
jika diucapkan oleh orang asing. Inilah yang disebut ambiguitas bahasa sosial:
makna tidak pernah tunggal, ia selalu bergantung pada hubungan dan intonasi.
Dalam ruang digital, ambiguitas makin kabur. Tanpa ekspresi wajah atau nada
suara, orang bisa salah menafsirkan maksud. Sebuah “ejekan” bisa diterima
sebagai “hinaaan” hanya karena layar tidak memberi ruang pada bahasa tubuh.
Renungan: Menimbang Sebelum Berucap
Mungkin yang kita perlukan bukan garis pemisah mutlak, melainkan kepekaan.
Saat berbicara, tanyakan pada diri sendiri: apakah kata ini akan menumbuhkan
senyum atau justru menggores hati? Saat menerima ejekan, kita juga bisa
belajar membaca niat: apakah itu tanda sayang, atau benar-benar ingin
menjatuhkan?
Bahasa, pada akhirnya, adalah bayangan jiwa. Kita bisa memilih menjadikannya
cahaya yang meneduhkan, atau kegelapan yang menakutkan.
Penutup
Antara ejekan dan hinaan, memang hanya ada garis tipis—kadang setipis helai
rambut. Kita yang menempatkan maknanya, kita yang memutuskan apakah kata itu
akan menjadi jembatan keakraban atau jurang permusuhan.
Sebelum lidah bergetar, berhentilah sejenak. Dengarkan hati, lalu tanyakan:
apakah kata ini pantas menjadi teduh, atau justru gelap yang menyesakkan?
Karena sekali terucap, kata tak pernah benar-benar kembali. Ia menetap di hati
orang lain, entah sebagai bunga, atau sebagai duri.
Referensi
Dynel, M. (2021). Humour and (mock) aggression: Distinguishing cyberbullying
from roasting. Current Opinion in Psychology, 39, 67–71. Elsevier.
Dynel, M. (2021). Desperately seeking intentions: Genuine and jocular insults
on social media. Journal of Pragmatics, 171, 145–157. Elsevier.
Memang sekarang antara yang bercandanya berlebihan atau yang diajak bercanda gampang tersinggung, yang manapun bikin salah paham
BalasHapus