Brahmagupta dan Al-Khawarizmi: Apakah Nol dan Algoritma Masih Bicara pada Kita?


Pernahkah kita berhenti sejenak, menatap angka di layar ponsel atau coretan di kertas, lalu bertanya: siapa yang pertama kali mengajarkan manusia menyebut “kosong” sebagai angka, atau menyusun aturan berhitung hingga bisa menjadi bahasa komputer?

Angka sering kita anggap benda mati—padahal di baliknya ada kisah manusia, pemikiran, bahkan keberanian melawan batas logika zamannya. Mari masuk ke ruang imajiner, duduk sejenak bersama dua tokoh besar: Brahmagupta dari India dan Al-Khawarizmi dari dunia Islam.


Konteks Tokoh

Brahmagupta lahir sekitar tahun 598 M di India, pada masa peradaban Hindu sedang berkembang dalam matematika dan astronomi.

Zaman itu angka sudah dipakai, tapi konsep nol masih samar: hanya sekadar ruang kosong. Ia hidup di tengah budaya yang menghargai ilmu pengetahuan, di mana perhitungan astronomi dipakai untuk kalender, ritual, dan navigasi. Di situlah Brahmagupta berani memberi bentuk pada sesuatu yang tak terlihat: kekosongan.

Sementara itu, tiga abad kemudian, di tepi dunia Islam, lahirlah Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi (sekitar 780–850 M). Ia hidup di Baghdad pada masa Dinasti Abbasiyah, ketika “Bayt al-Hikmah” (Rumah Kebijaksanaan) menjadi pusat penerjemahan ilmu dari Yunani, Persia, dan India.

Dalam atmosfer intelektual itu, Al-Khawarizmi muncul sebagai penyusun, perapih, sekaligus penemu bahasa baru dalam berhitung. Dari tangannya, dunia mengenal istilah al-jabr (aljabar) dan “algoritma”.


Pikiran & Arah Hidup

Brahmagupta berani memandang “nol” bukan sekadar ketiadaan. Ia menuliskan aturan: 0 + a = a, a – a = 0. Dengan begitu, nol berubah dari sekadar “kosong” menjadi bilangan penuh arti. Namun, dilema besar muncul: bagaimana dengan pembagian oleh nol? Ia masih bingung, menuliskan bahwa hasilnya “tak terhingga”, meski definisinya kabur. Di sinilah terlihat sisi manusiawi seorang ilmuwan: berani merumuskan, sekaligus jujur pada keterbatasannya.

Al-Khawarizmi, di sisi lain, lebih sibuk menata tatanan. Ia tidak menemukan nol, tetapi ia mengadopsi dan menyebarkannya. Karya-karyanya justru menempatkan angka ke dalam sistem.

Dalam bukunya Kitab al-Jabr wa al-Muqabala, ia menyusun metode menyelesaikan persamaan—fondasi aljabar modern. Pilihannya jelas: ia ingin matematika menjadi alat praktis, dipakai untuk warisan, perdagangan, pembagian tanah. Dari pragmatisme itu lahir revolusi logika.

Baca juga, pikiran kami mengenai

Kenapa Matematika Sering Dibenci, Sementara Kita Justru Membutuhkannya? Selengkapnya


Karya & Relevansi

Brahmagupta meninggalkan karya monumental Brahmasphutasiddhanta (628 M). Di dalamnya, nol resmi berdiri sejajar dengan angka lain, sekaligus membuka jalan bagi konsep negatif.

Dunia matematika tak akan sama lagi setelah itu. Tanpa nol, kita tak punya sistem desimal, tak bisa menulis 10, 100, 1000. Semua hanya kumpulan simbol kabur.

Al-Khawarizmi meninggalkan warisan berupa penyebaran sistem angka India-Arab ke dunia Islam, lalu Eropa. Dari namanya lahir kata “algoritma”, jantung dari semua komputer, smartphone, hingga kecerdasan buatan yang kita gunakan hari ini. Ironisnya, mungkin ia tidak pernah membayangkan bahwa ribuan tahun kemudian, rumusnya akan mengendalikan mesin pencari, media sosial, bahkan keputusan finansial global.

Bagi kita sekarang, warisan dua tokoh ini bukan sekadar angka dan rumus. Ia adalah pengingat bahwa pengetahuan yang tampak sederhana bisa mengubah arah sejarah. Dari satu simbol “0” dan satu konsep “algoritma”, lahirlah dunia digital.


Penutup

Lalu, apa yang bisa kita renungkan dari kisah ini? Mungkin sederhana: di balik setiap angka yang kita ketik, ada jejak manusia yang berani melawan keterbatasan berpikir.

Brahmagupta memberi kita keberanian memandang kekosongan sebagai sesuatu.

Al-Khawarizmi memberi kita cara menata kekacauan angka menjadi bahasa.

Hari ini, kita memakai nol untuk menghitung uang, algoritma untuk menonton video. Tapi pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: apakah kita masih mengingat siapa yang memberi kita alat itu? Ataukah kita sibuk mengejar hasil, sementara ruh pengetahuan mereka menghilang?

Nol dan algoritma masih berbisik. Pertanyaannya: apakah kita masih mau mendengar?

Referensi

Joseph, G.G. (2011). The Crest of the Peacock: Non-European Roots of Mathematics. Princeton University Press.

Rashed, R. (1994). The Development of Arabic Mathematics. Springer.

Keller, A. (2006). Mathematics in Ancient India. Journal of Indian Philosophy, 34(5–6), 559–590.

Berggren, J.L. (1986). Episodes in the Mathematics of Medieval Islam. Springer.

Komentar