Kenapa Matematika Sering Dibenci, Sementara Kita Justru Membutuhkannya?


Pernah merasa matematika seperti tamu dingin—tak diundang, menyulut rasa sebel, tapi anehnya kita juga diam-diam membutuhkan peluknya?

Saat ujian menghantam dengan soal-soal susah, hati mungkin menjerit:
“Kenapa kau datang lagi?”

Sambil bersuara lirih, matematika tiba, membawa keruwetan yang membuat kita ingin tertawa getir. Seperti lelucon setengah serius di kelas pagi yang sepi: menyakitkan tapi juga memaksa kita berpikir.

Adakah, di balik rasa jengkel itu, kesempatan untuk menemukan alasan kenapa kita sebenarnya butuh matematika?

Isi

Matematika itu seperti ujung dari kayu serut: tajam, menyakitkan jika kena tangan langsung, tapi saat digunakan dengan benar, ia memahat bentuk kehidupan.

Ingat zaman dulu? Peradaban Mesir dan Babilonia menggantung masa depan mereka pada irisan‐irisan kalkulasi dan astronomi. Dari menghitung musim tanam hingga merancang monumen megah—semua itu adalah lekukan matematika dalam kehidupan manusia .

Dalam dunia modern, matematika bersembunyi di balik layar—dalam algoritma Google, simulasi cuaca, asuransi, bahkan kecerdasan buatan. Ia seperti tukang sulap di balik tirai: jarang kita lihat triknya, tapi jika dia menghilang, segala sesak ini bakal ambles .

Secara pendidikan, banyak anak merasa matematika itu membosankan—segi kotak, aturan monoton, tanpa napas manusia—namun jika guru memasukkan kisah tentang asal-usul angka atau kenapa zero itu istimewa, tiba-tiba matematika menjadi hidup, lucu, membebaskan pikir.

Analoginya, matematika seperti alat musik tua—jika dimainkan dengan hati, melantun lembut; kalau dipukul kasar, suara itu bisa menusuk telinga.

Sejarah adala cerita romantis antara manusia dan matematika. Pythagoras meraba relung alam lewat bunyi. Newton jatuh dari pohon, lalu dunia terbentuk hukum-hukum gravitasinya. Einstein mendapat ide “apa jadinya jika aku mengejar cahaya”—menghasilkan teori relativitas. Di balik setiap rumus ada mata manusia yang mendesah kegelisahan, rasa ingin tahu, dan juga keputusasaan.

Itu juga yang membuat kita kadang mencibir matematika—karena ia menuntut kita bertanding dengan kecerdikan sendiri.

Tapi tanpa matematika, kapal kita hanyalah papan yang mengapung tanpa arah. Ia mengajari kita logika, pola, struktur, dan kadang juga seni—meski logika itu nampak dingin, ia adalah kerangka yang membuat kreativitas tak merambat tanpa tujuan.

Sebagai fondasi teknologi dan sains, matematika menjadi teman yang kita perlukan—walau kadang kita cemburui karena menuntut kerja keras dan kesabaran.


Penutup

Matematika memang bisa seperti teman yang menyebalkan: terlalu mensyaratkan, terlalu menuntut.

Tapi jika tak ada ia, kita seperti terombang-ambing dalam kegelapan tak berbentuk. Bukankah hidup ini pada akhirnya soal mencari pola di antara kekacauan, merangkai logika dalam ketidakpastian?

Biarlah matematika tetap teramat dibenci. Tapi biarkan ia juga diam-diam membantu kita membaca dunia, memintal mimpi menjadi desain.

Di ujungnya, rasa janggalkan ini justru bisa jadi pertanda betapa kita amat butuh matematika—meski kadang kita menutup muka saat ia mendekat.


Referensi


1. Bütüner, S. Ö., & Baki, A. (2020). The Use of History of Mathematics in the Mathematics Classroom: An Action Study. International Journal of Education in Mathematics, Science and Technology, 8(2), 92–117. 


2. De Vittori, T. (2021). On the Role of Imagination in the Use of History in Mathematics Education. International Electronic Journal of Mathematics Education, 16(3), em0660.  


3. Research article: Mathematics education research must be useful for the classroom. (2025, August 20). ArXiv.  



Komentar

  1. Dulu benci banget sama matematika, sekarang nyesel… ternyata hidup isinya hitung-hitungan semua

    BalasHapus
  2. Jang jadi masalah itu kaya semua hal di matematik diajarin tapi cuma sedikit yang dipake

    BalasHapus

Posting Komentar