Jadi Serakah Apakah Enak?



Di antara kebutuhan dan kerakusan, di manakah batas yang masuk akal? Pernahkah kita menatap rak lemari yang sudah penuh, keranjang belanja yang tak lagi muat, atau target bisnis yang terus dinaikkan, lalu hati kecil bertanya: untuk siapa semua ini? Bagi sebagian orang, tambahan kecil terasa seperti dorongan sehat untuk maju.

Bagi yang lain, tambahan kecil adalah pintu masuk menuju spiral tanpa ujung—keinginan yang selalu meminta “sedikit lagi”.

Pertanyaan tentang cukup bukan sekadar moralitas; ini juga soal strategi hidup.

Di era yang memuja pertumbuhan dan kecepatan, kita didorong untuk mengakumulasi: uang, aset, pengikut, gelar, bahkan pengalaman. Tetapi ada momen ketika akumulasi berubah arah—bukan lagi untuk menambah kualitas hidup, justru membebani kapasitas mental, relasi, dan lingkungan.

Di titik inilah kebijaksanaan tentang “cukup” menjadi kompetensi inti, bukan sekadar nasihat bijak di dinding ruang tamu.


Isi


Saat Serakah Menjadi Norma, Bukan Lagi Dosa

Dulu, banyak budaya menempatkan keserakahan sebagai aib: kisah Raja Midas, ajaran sufistik tentang zuhud, hingga petuah Jawa tentang prasaja. Serakah dianggap pengganggu harmoni. Kini, semantik bergeser.

Serakah berganti pakaian: disebut ambisi, rebranding menjadi “agresivitas target”, dikemas sebagai budaya high performance. Perusahaan merayakan grafik yang menanjak, investor menghitung compound growth, individu memamerkan pencapaian di lini masa. Kita hidup dalam pameran angka.


Perubahan semantik ini berbahaya ketika kita tidak lagi punya alat ukur selain kuantitas. Keberhasilan disederhanakan menjadi ukuran tunggal: lebih. Padahal “lebih” kadang berarti “lebih rapuh”.

Lebih kerja lembur bisa berarti lebih lelah; lebih perangkat baru berarti lebih limbah; lebih utang berarti lebih cemas. Narasi “kalau tidak mengejar, kita tertinggal” terdengar visioner, tetapi sering mengabaikan biaya tersembunyi—burnout, relasi yang menipis, dan kualitas keputusan yang menurun.


Trade-off yang Tak Terucap

Beneath the surface, ada biaya peluang dari setiap “tambahan”. Jam tambahan untuk mengejar komisi bisa berarti jam yang hilang untuk tidur dan olahraga. Kapasitas mental yang habis untuk membandingkan diri bisa menggerus kreativitas.

Organisasi yang menekan target tanpa jeda akan mendapatkan angka jangka pendek, tetapi kehilangan kepercayaan jangka panjang—sebuah aset tak berwujud yang paling mahal.


Dalam tata kelola, serakah yang muncul sebagai bias akumulasi: menunda berbagi laba demi ekspansi, menekan pemasok demi margin, mengabaikan indikator lingkungan karena dianggap tidak material.

Namun governance yang matang justru menyeimbangkan tiga horizon: likuiditas hari ini, ketahanan esok hari, dan legitimasi jangka panjang di mata pemangku kepentingan. Tanpa keseimbangan, pertumbuhan berubah menjadi inflasi ego—mengembang cepat, tapi kosong di dalam.


Skala Mikro: Cermin yang Tidak Nyaman


Serakah tidak selalu berwujud konglomerat dan monopoli. Ia sering hadir di keputusan kecil: memesan makanan berlebih karena diskon, menyimpan barang “jaga-jaga” yang tak pernah dipakai, membeli gawai baru demi gengsi, atau menutup mata saat ada yang lebih membutuhkan. 

Kita tahu rasanya—dorongan kecil yang rasional di kepala, tetapi meninggalkan rasa sesak di dada. Pertanyaannya bukan “apakah kita bersalah”, melainkan “apakah pola ini melayani hidup yang kita inginkan?”.


Psikologi Ketidakcukupan


Di tingkat psikologis, keserakahan menempel pada dua ketakutan: takut kekurangan dan takut kalah. Takut kekurangan mendorong penimbunan; takut kalah mendorong kompetisi yang berlebihan.

Keduanya membuat kita berlari lebih cepat ketika seharusnya berhenti dan mengevaluasi. Kita memperlakukan hidup seperti lomba sprint tanpa garis akhir.

Dalam medan seperti ini, rasa cukup adalah akal sehat yang sulit, tetapi bisa dilatih—melalui definisi ulang metrik sukses pribadi: bukan hanya pendapatan, tetapi juga ritme tidur, waktu bersama keluarga, dan kejernihan batin.


Dimensi Sosial: Ketika Tambahan Kita Menjadi Kekurangan Orang Lain


Sering kali, “sedikit tambahan” di satu tempat berarti “sedikit kekurangan” di tempat lain. Lahan tambahan untuk proyek bisa berarti ruang hidup warga berkurang. Promo beli-tiga-bayar-dua mendorong konsumsi yang berlebihan dan mempercepat sampah.

Di tingkat kebijakan, penumpukan subsidi pada sektor tertentu bisa mengorbankan layanan publik yang lebih vital. Keadilan bukan sekadar narasi; ia hadir ketika kita sadar akan keseimbangan timbal balik di ekosistem sosial dan ekologis.




Pasar modern mengoptimalkan keinginan, bukan kebutuhan. Algoritme belajar dari perilaku kita, mempersonalisasi iklan, dan mengisi jeda dengan godaan. Akibatnya, kita tidak pernah benar-benar “sendiri” dengan keinginan kita; ia selalu dijagitasi dari luar.

Menilai cukup di tengah orkestrasi ini membutuhkan disiplin: membedakan desire yang diinduksi dari luar dan need yang datang dari dalam. Latihannya praktis: tunda pembelian 48 jam, buat daftar “yang benar-benar dipakai”, dan hitung jam kerja yang dikonversi menjadi barang tersebut. Sering kali, angka-angka itu menenangkan ambisi yang tak perlu.


Apa Kata Riset Terbuka


Literatur open-access menunjukkan bahwa dorongan serakah berkelindan dengan pola keputusan yang merusak kolaborasi. Seuntjens, Zeelenberg, van de Ven, dan Breugelmans (2015) mengonseptualisasikan “dispositional greed” sebagai kecenderungan untuk selalu menginginkan lebih dan sulit merasa puas.

Dalam temuan mereka, disposisional serakah berkorelasi dengan materialisme, hasrat akumulasi, dan orientasi kepentingan diri.

Pesannya bukan mengutuk ambisi, melainkan memperjelas batas: sistem dan budaya kerja dapat “mendidik” rasa cukup lewat desain insentif dan framing tujuan. Bukti itu konsisten lintas sampel dan relevan bagi organisasi modern.


Kerangka Praktis untuk Menyusun Batas Cukup


Pertama, definisikan ambang manfaat menurun. Tanyakan: pada tingkat berapa tambahan pendapatan tidak lagi menambah kualitas hidup, malah menambah kompleksitas?

Kedua, pakai matriks nilai: dampak pada kesehatan, relasi, lingkungan, dan makna kerja.

Ketiga, desain guardrail—batas operasional—misalnya jam maksimum lembur per minggu, persentase tabungan minimal, atau jumlah barang yang masuk mesti setara dengan barang yang keluar.

Keempat, institusikan jeda: cooling-off period sebelum belanja besar, dan rapat refleksi untuk tim setelah sprint proyek.


Organisasi juga bisa menetapkan indikator “cukup” berbasis kesejahteraan: tingkat pergantian karyawan, skor keterlibatan, beban kerja rata-rata, emisi per unit pendapatan. Ketika indikator ini memburuk, kita tahu pertumbuhan yang dikejar tak lagi sehat. Inilah balanced scorecard yang benar-benar seimbang—menggabungkan finansial dan kemanusiaan.


Paradoks Ambisi yang Sehat


Apakah berarti ambisi itu buruk? Tidak.
Ambisi adalah tenaga pendorong, tetapi perlu tujuan yang proporsional. Ambisi yang sehat berfokus pada kompetensi, craftsmanship, dan kontribusi; bukan pada dominasi, penumpukan, dan validasi sosial.

Ambisi yang sehat bertanya “bagaimana saya bisa memperbaiki proses dan memperluas manfaat?” bukan “bagaimana saya terlihat lebih unggul?”. Perbedaan kecil di motivasi menghasilkan perbedaan besar di jejak yang ditinggalkan.


Kecukupan sebagai Strategi Keberlanjutan

Dalam horizon panjang, rasa cukup adalah strategi daya tahan. Individu yang tahu kapan berhenti cenderung menjaga energi kreatif, mengurangi utang, dan punya ruang untuk belajar. Organisasi yang menetapkan batas tumbuh akan lebih adaptif: mereka tidak meletihkan sistem dengan over-commitment, tidak mematikan mitra dengan tawar-menawar predator, dan tidak merusak reputasi dengan janji berlebihan.

Di tingkat masyarakat, kebijakan yang menginternalisasi biaya lingkungan mendorong produksi dan konsumsi yang selaras daya dukung bumi. Cukup, dalam arti ini, bukan kemunduran—ini adalah optimasi multi-horizon.


Teknik Harian untuk Melatih Rasa Cukup


Cobalah dengan audit kecil: hitung beberapa barang yang paling jarang dipakai; jual, sumbangkan, atau sirkulasikan. Terapkan one-in-one-out untuk kategori yang rawan penumpukan. Ubah rapat status menjadi rapat pembelajaran agar ambisi diarahkan ke peningkatan kemampuan, bukan sekadar mengejar angka.

Pasang “anggaran atensi”: batasi aplikasi pemicu FOMO, dan jadwalkan jam tanpa notifikasi. Yang terakhir, biasakan membuat catatan syukur yang konkret—bukan klise—agar otak mengingat bukti bahwa kita telah memiliki banyak hal yang bernilai.


Refleksi: Mengganti Pertanyaan


Alih-alih bertanya “berapa lagi yang harus kumiliki?”, cobalah “berapa yang ingin kujaga?”. Alih-alih “bagaimana memperbanyak?”, cobalah “bagaimana memperdalam?”. Dengan cara ini, kita menggerakkan fokus dari inventori ke integritas, dari akumulasi ke arsitektur hidup yang selaras. Cukup tidak berarti kecil; cukup berarti selaras tujuan, tempo, dan tanggung jawab.


Catatan untuk Pemimpin dan Pembuat Kebijakan

Rasa cukup relevan pada level kepemimpinan. Pemimpin yang menolak “fetish pertumbuhan” menetapkan ritme organisasi berkelanjutan. Mereka menormalisasi prioritisasi: jika semua prioritas, tidak ada yang prioritas. Mereka melatih tim membaca sinyal kelelahan, dan berani mengatakan “cukup” pada proyek yang tak lagi menciptakan nilai bersih.

Di sektor publik, rasa cukup berarti mendahulukan pelayanan dasar—air, pendidikan, kesehatan—sebelum proyek mercusuar. Ini bukan anti-kemajuan, melainkan urutan yang benar.


Ada pula dimensi integritas. Keserakahan sering bersekongkol dengan rasionalisasi: “semua orang juga begitu”, “ini hanya sekali”, atau “demi target triwulan”. Pemimpin yang matang mengubah narasi: “apakah kita tetap bisa bangga pada proses ini jika dilihat terang-terangan?”.

Ketika pertanyaan itu dijadikan standar, organisasi belajar bahwa reputasi adalah mata uang jangka panjang yang nilainya tumbuh pelan namun runtuh cepat. Rasa cukup memagari kita dari kompromi yang mahal.


Cobalah Ritual Tujuh Hari untuk Menguji Rasa Cukup


Hari pertama, diam tiga menit sebelum berbelanja.

Hari kedua, bersihkan satu laci dan rasakan lega.

Hari ketiga, tulis tiga hal paling kamu hargai bulan ini. Hari keempat, hentikan satu komitmen yang tak relevan.

Hari kelima, makan berdua tanpa ponsel dan dengarkan.

Hari keenam, kurasi jejak digital—newsletter, grup, aplikasi.

Hari ketujuh, evaluasi keuangan sederhana: apa yang benar-benar memperbaiki hidup, dan apa yang cuma menjaga citra. Ulangi sebulan, lalu lihat “cukup” menjadi kebiasaan.


Penutup


Serakah bisa bekerja untuk sistem jangka pendek, tetapi tidak untuk kedamaian batin jangka panjang. Ia bisa melipatgandakan laba, namun jarang melipatgandakan makna.

Kita tak perlu menolak dunia; cukup menjadi arsitek yang menetapkan batas—agar rumah kehidupan tidak ambruk oleh barang, janji, dan ambisi yang berlebihan. Pada akhirnya, kecukupan adalah keputusan manajerial atas hidup kita sendiri: memilih apa yang masuk, apa yang tinggal, dan apa yang dengan sadar kita lepaskan.

Itulah kompas yang tenang.


Referensi Jurnal





Komentar

  1. Rasanya akan sangat enak karena kita dapat semua minusnya kita dijauhi

    BalasHapus

Posting Komentar