Hujan Bom Iran-Israel, Tapi Untuk Apa?


Langit gelap tak hanya karena malam. Kadang karena hujan yang bukan air tapi bom. Dan ketika api jatuh dari langit, siapa yang menangis lebih dulu: yang menyerang, atau yang diserang?"

PEMBUKAAN

Untuk Apa Kita Menonton Langit Terbakar?

Apakah kita masih bisa berkata bahwa perang adalah tentang kehormatan dan harga diri? Apakah kita masih bisa percaya bahwa serangan demi serangan adalah bentuk keadilan, bukan sekadar balas dendam yang dibiarkan tumbuh dalam bentuk bom? Ketika Iran dan Israel saling melempar rudal, yang hancur bukan hanya infrastruktur, melainkan hati manusia yang terselubung trauma.

Lalu, apakah rakyat yang di tanahnya tidak pernah memegang senjata juga harus memikul luka akibat keputusan para pemimpin?


ISI

Perang, Kepentingan, dan Luka Tak Terlihat

Di balik layar diplomasi dan strategi militer, terdapat cerita tentang ego, dendam, dan sisa sejarah yang tak pernah selesai. Konflik Iran-Israel bukan hanya terjadi pada tahun ini. Ia adalah akumulasi dari puluhan tahun saling curiga, saling provokasi, dan saling menganggap diri paling benar.

Konflik ini bukanlah sekadar aksi spontan. Ini adalah hasil dari politik luar negeri yang dikalkulasi, disulut oleh berbagai kepentingan: ekonomi, ideologi, bahkan identitas bangsa.

Dalam artikel berjudul “The Roots of War: Understanding the Causes of Modern Conflicts” yang diterbitkan oleh Journal of Peace Research (2020), disebutkan bahwa penyebab utama konflik modern lebih sering berasal dari persepsi ancaman, rasa takut akan kehilangan pengaruh regional, dan pertarungan narasi sejarah. Iran dan Israel terjebak dalam semua itu.

 “Modern wars are rarely started by surprise; they are often the product of decades of political mistrust and ideological rivalry.”
— Journal of Peace Research, Vol. 57, 2020.



Sementara itu, rakyat hanya bisa bersembunyi. Anak-anak bertanya kenapa suara langit berbeda. Para ibu hanya mampu memeluk anak mereka, berharap rumah yang mereka tinggali masih ada ketika fajar datang.

Dan yang menyedihkan, sering kali perang ini dibingkai dengan istilah “pembalasan”. Sebuah kata yang justru melanggengkan kekerasan sebagai solusi.

Perspektif : Raja, Menteri, dan Rakyat

Mari kita tarik ke analogi klasik: seorang raja tersinggung oleh ucapan raja lain. Lalu ia memerintahkan menteri perang untuk menyiapkan pasukan. Tetapi yang disuruh maju bukan sang menteri, bukan pula sang raja. Yang dikorbankan adalah rakyat jelata.

Mereka yang tidak pernah hadir dalam perundingan. Mereka yang tidak tahu-menahu soal ambisi politik. Mereka adalah korban nyata dari keputusan-keputusan abstrak di ruang tertutup.

Dalam jurnal berjudul “Human Cost of Warfare: Psychological and Socioeconomic Impacts” yang diterbitkan oleh Global Conflict Studies Journal (2021), dijelaskan bahwa korban perang bukan hanya yang terbunuh. Mereka yang hidup pun luka: secara psikologis, ekonomi, dan relasi sosial.

 "The legacy of modern warfare is not only measured in body counts, but in generations crippled by trauma, distrust, and broken communities.”
Global Conflict Studies, Vol. 12, 2021.

PENUTUP

Lalu Untuk Apa?
Kita patut bertanya, dan harus terus bertanya: untuk apa semua ini? Untuk siapa bom-bom itu dijatuhkan? Apakah hanya demi menunjukkan siapa yang lebih kuat? Apakah rakyat harus menanggung semua ini hanya karena pemimpinnya ingin menegakkan ‘harga diri’ nasional?

Hujan bom tidak pernah membawa damai. Yang dibawanya adalah reruntuhan, ketakutan, dan barangkali, dendam yang akan diwariskan lagi ke generasi selanjutnya.

Jika kita masih menyebut itu sebagai kemenangan, maka barangkali kita lupa apa itu manusia.

Referensi





Komentar

  1. Tujuan merekatuh cuma mau pamer siapa kuat ya gasih

    BalasHapus

Posting Komentar