"Adakah nyala yang lebih diam-diam dari kenangan? Ia tak bersuara, namun membakar. Ia tak menyapa, tapi mengendap dalam dada.”
Pembukaan
Pernahkah engkau berjalan di jalanan sepi, dan tiba-tiba teringat suara seseorang yang kini entah di mana? Atau mencium aroma tanah basah, dan seketika terseret kembali ke masa kecil yang sudah lama lewat?
Kenangan tak pernah mati. Ia hanya memilih diam.
Namun di kediamannya itu, kenangan menyimpan bara — tak terlihat, tak terasa panas dari luar, tapi mampu menghanguskan perasaan dari dalam. Apakah kenangan adalah berkah atau kutukan? Dan jika ia membara, bisakah ia menjadi cahaya untuk jalan yang baru?
Raja dan Kenangan: Mahkota yang Tak Menyelamatkan Diri dari Masa Lalu
Di balik singgasana, seorang raja tua duduk menatap cermin. Di balik kerutan wajahnya, ada gambaran masa silam yang masih hidup: wajah mendiang permaisuri, tawa anak sulungnya yang gugur dalam perang, dan rakyat yang dulu menyambutnya dengan sukacita sebelum badai politik memecah segalanya.
Mahkota di kepalanya tak mampu meredakan gemuruh kenangan.
Setiap malam, ia berjalan menyusuri lorong sunyi istana, berharap kenangan itu memudar. Tapi justru yang terjadi adalah sebaliknya: semakin ia berlari dari masa lalu, semakin ia tenggelam dalam hangusnya.
Namun suatu malam, ia duduk dan menghadapinya. Ia menulis surat kepada putranya yang telah tiada, ia ziarah ke makam permaisurinya, ia menyapa rakyat yang masih mengingat senyum lamanya. Dan saat itu, kenangan tak lagi membara — ia berubah menjadi lentera kecil di dalam dada.
Menteri dan Luka yang Tak Pernah Sembuh
Seorang menteri muda, yang kini telah menua dalam diam, masih menyimpan potret demonstrasi mahasiswa dari dua puluh tahun silam. Ia dulu bagian dari barisan itu — penuh idealisme, suara lantang, dan harapan akan dunia yang lebih adil.
Kini ia duduk di ruang rapat yang dingin, menyetujui anggaran yang dulu pernah ia kritik. Setiap ketukan palu, seolah memanggil kembali suara masa mudanya yang membakar.
Apakah ia telah mengkhianati kenangannya?
Atau justru kenangan itu yang menjadi bara kecil, menjaga hatinya tetap waras di tengah sistem yang mengikis nurani?
Menurut jurnal dari Conway & Pleydell-Pearce (2000), kenangan masa lalu yang emosional tinggi bisa menjadi pusat narasi identitas diri seseorang. Dengan kata lain, kenangan membara bukan sekadar luka, tapi juga pengingat tentang siapa kita dulu, dan siapa yang ingin kita perjuangkan.
Rakyat dan Ingatan yang Menolak Padam
Tak ada yang lebih setia dari rakyat kepada kenangannya.
Seorang ibu yang kehilangan anak dalam demonstrasi masih menyimpan baju terakhir yang dikenakan putranya. Seorang petani masih menyanyikan lagu lama tentang musim panen saat tanah belum dijual pada investor. Seorang pemuda yang bekerja di kota besar masih mendengar suara ayahnya setiap kali ia melewati warung kecil tempat dulu mereka duduk bersama.
Kenangan membara bukan karena mereka ingin tersiksa, tapi karena di situlah harapan pernah lahir.
Dalam jurnal Neimeyer (2001) tentang terapi naratif, disebutkan bahwa orang sering membentuk makna dari luka batin melalui pengingatan dan rekonstruksi kenangan. Artinya, kenangan yang membara bisa jadi awal dari penyembuhan, bukan akhir dari penderitaan.
Refleksi
Haruskah Kita Memadamkan Kenangan?
Ada orang yang berkata: “Lupakan saja. Jalan terus.” Tapi mereka lupa, manusia bukan mesin. Kita berjalan justru karena kenangan. Kita berubah justru karena ingatan.
Bayangkan api kecil di tengah malam. Ia memberi cahaya, tapi jika dibiarkan, ia bisa membakar. Begitu juga kenangan. Jangan dipadamkan seluruhnya. Tapi juga jangan biarkan ia menghanguskan masa kini.
Peluklah kenanganmu. Bukan untuk terjebak di masa lalu, tapi agar kau tahu: betapa jauhnya kau telah melangkah, dan apa yang ingin kau tuju selanjutnya.
Penutup
Bara yang Menuntun, Bukan Membakar
Wahai manusia yang menyimpan ingatan,
Jika hatimu masih terbakar karena kenangan yang belum reda, jangan takut. Itu bukan kelemahan. Itu adalah bukti bahwa engkau hidup — bahwa engkau pernah merasa, pernah mencinta, pernah terluka, dan pernah punya harapan.
Gunakan bara itu sebagai pelita. Jadikan ia alasan untuk tidak mengulang kesalahan. Jadikan ia kekuatan untuk berkata, “Aku pernah rapuh, dan kini aku belajar untuk kuat.”
“Karena yang membara tak selalu membakar. Ia bisa jadi cahaya, jika engkau tahu cara menatapnya.”
Referensi Jurnal:
Komentar
Posting Komentar