Ketika Rakyat Menolak Sesamanya

Bagaimana rasanya ketika sebuah kelompok rakyat justru tak dipercaya oleh bangsanya sendiri, namun disambut tangan terbuka oleh orang-orang dari luar?


Apakah itu berarti pengkhianatan? Atau justru itulah bentuk lain dari harapan yang sempat ditolak di tanah sendiri?


Pertanyaan ini, meski sederhana, telah menjadi bayang-bayang di balik sejarah umat manusia. Bangsa-bangsa pernah melakukannya.


Kerajaan-kerajaan pernah mengulanginya, bahkan masyarakat modern pun masih saja terjebak dalam pola yang sama: menolak suara yang lahir dari dalam, lalu terkejut ketika dunia luar justru menyambutnya.



Wajah Sejarah yang Penuh Luka dan Pintu Baru


Sejarah penuh dengan kisah rakyat yang tersingkir oleh bangsanya sendiri, namun justru diselamatkan—atau bahkan dimuliakan—oleh dunia luar. Fenomena ini bukan sekadar diplomasi atau pengasingan, tapi tentang wajah asli manusia dan sistem sosial yang kadang terbalik arah.


Mari kita tengok kembali fragmen-fragmen sejarah, dari masa raja-raja hingga era modern. Seorang pemimpin muda yang lantang bicara keadilan bisa jadi dianggap mengganggu oleh bangsanya sendiri. Ia dicemooh, disudutkan, bahkan didepak dari tanah air. Tapi di negeri seberang, ia dihormati sebagai pejuang, diberi tempat untuk bersuara, bahkan panggung untuk menginspirasi dunia.


Kita bisa mengingat Galileo Galilei, yang dipenjara oleh lembaga keagamaan di Italia karena pandangannya tentang matahari. Di masa itu, bangsanya sendiri memandangnya sebagai ancaman. Namun dunia luar kemudian mengenangnya sebagai “bapak sains modern.” Begitu pula José Rizal, pahlawan Filipina, yang lebih dulu didengar dan diapresiasi oleh orang-orang Spanyol liberal dibanding bangsanya yang masih terpecah.


Lalu kita bertanya: siapa sebenarnya yang keliru? Apakah rakyat yang menolak, ataukah dunia luar yang menerima?


Pengasingan yang Membentuk Jalan Baru


Pengasingan, secara historis, bisa menjadi alat penghancur atau pembentuk. Bung Hatta dan Bung Karno, misalnya, mengalami pembuangan oleh penjajah, namun dari sana pula lahir gagasan besar tentang Indonesia merdeka. Pembuangan yang niatnya menghancurkan, justru menjadi laboratorium pemikiran yang melahirkan mimpi kebangsaan.


Namun berbeda dari mereka, ada tokoh yang justru dikucilkan oleh rakyatnya sendiri—oleh sesama yang seharusnya menjadi saudara. Karena pandangan politik, perbedaan budaya, atau bahkan karena ketakutan massal akan perubahan.


Contohnya Ibnu Khaldun, sejarawan besar dari dunia Islam abad pertengahan. Ia pernah diasingkan karena intrik politik di negerinya, tapi justru dari pengasingan itulah ia menulis Muqaddimah, salah satu karya terbesar dalam sejarah peradaban. Seolah, ketika gerbang bangsanya tertutup, pintu peradaban dunia justru terbuka lebih lebar.


Di sinilah muncul luka baru: saat rakyat menolak rakyatnya sendiri, tanpa sempat mendengar sepenuhnya isi hatinya.



Psikologi Massa: Mengapa Anak Sendiri Sering Ditolak?


Fenomena ini bukan sekadar politik, melainkan juga psikologi sosial. Sebuah bangsa sering kali terjebak dalam “bias kedekatan”—semakin dekat seseorang, semakin jelas kekurangannya terlihat. Akibatnya, tokoh dalam negeri dipandang biasa saja, bahkan dianggap membahayakan, sementara di luar negeri ia tampak lebih jernih, lebih berharga.


Itulah sebabnya pepatah “nabi tidak dihargai di tanah kelahirannya” selalu relevan. Ada semacam kebutaan kolektif: suara perubahan dianggap ancaman, bukan peluang. Sementara dunia luar, yang tak terbebani sejarah emosional dengan tokoh itu, justru bisa melihat nilainya dengan lebih obyektif.



Media Sosial: Antara Bencana dan Berkah


Zaman kini menyuguhkan panggung baru—media sosial. Ironisnya, seorang aktivis, seniman, atau penulis yang tak dikenal di negeri sendiri, justru viral secara internasional. Orang luar memahaminya, menerjemahkan karyanya, dan bahkan mengundangnya berbicara di forum-forum dunia. Sementara bangsanya sendiri sibuk menghujat, menyindir, atau pura-pura tak mengenal.


Contoh nyata bisa kita lihat pada para musisi indie atau penulis muda dari Asia Tenggara yang karyanya justru lebih dihargai di festival internasional ketimbang di negerinya sendiri. Bahkan ada yang mendapat penghargaan Nobel, sementara bangsanya menilai mereka hanya pembuat gaduh.


Bukankah ini ironi?


Namun mungkin, dalam diamnya negeri sendiri, rakyat yang terpinggirkan itu menemukan suara yang lebih jernih dari mereka yang jauh. Kadang, dukungan tak selalu datang dari darah yang sama, melainkan dari empati yang tulus.



Apakah Dukungan dari Luar adalah Pengkhianatan?


Pertanyaan ini tak bisa dijawab dengan "ya" atau "tidak."


Bagi sebagian kelompok, menerima simpati asing dianggap mencemarkan nama bangsa. Mereka melihatnya sebagai bentuk ketidaksetiaan, seakan-akan membuka rahasia rumah tangga sendiri kepada tetangga. Tapi bagi yang tersingkir, itu adalah satu-satunya tali harapan yang bisa digenggam.


Ketika negeri menutup mata dan telinga, maka suara dari luar bisa menjadi satu-satunya cermin kemanusiaan.


Bukan soal setia atau tidak. Tapi soal bertahan dalam gelap.

Baca juga



Ketika Raja Menutup Gerbang, Tapi Tetangga Membuka Pintu


Mari bayangkan kerajaan tua yang mengusir sekelompok rakyat karena berbeda keyakinan atau gagasan. Mereka berjalan jauh, menyeberangi perbatasan, dan disambut hangat oleh kerajaan lain. Raja di sana tak melihat mereka sebagai ancaman, tapi sebagai pelengkap cerita peradaban.


Sejarah umat Yahudi menyimpan banyak fragmen seperti ini. Di satu tanah mereka diusir, di tanah lain mereka diberi ruang untuk membangun. Begitu pula komunitas intelektual dari Andalusia yang, setelah ditolak oleh bangsanya, menyebarkan ilmu ke Eropa dan Timur Tengah.


Dari sinilah sering muncul pernyataan tajam: “Mereka bukan musuh, mereka hanya belum dipahami oleh tanah asalnya.”


Diaspora: Anak Bangsa yang Menjadi Milik Dunia


Fenomena penolakan dalam negeri dan penerimaan luar negeri ini juga melahirkan diaspora. Orang-orang yang dipaksa keluar dari tanah asalnya sering kali justru menjadi jembatan antara dua dunia. Mereka menulis, mengajar, mencipta, dan akhirnya menjadi milik peradaban global, bukan lagi milik bangsa sempit.


Lihatlah Malala Yousafzai. Ia ditolak oleh sebagian bangsanya sendiri karena dianggap “boneka Barat,” tapi dunia melihatnya sebagai simbol pendidikan dan keberanian. Atau Edward Said, intelektual Palestina, yang lebih dihormati di universitas-universitas Amerika ketimbang di tanah kelahirannya.


Dunia luar memang tidak selalu benar, tapi ia sering kali memberi ruang yang lebih luas daripada rumah sendiri.

Baca juga


Penutup


Apakah dukungan dari luar berarti pengkhianatan terhadap dalam negeri? Atau justru itulah bukti bahwa suara-suara yang tersisih tak pernah benar-benar sepi?


Mungkin bukan pengkhianatan yang terjadi. Mungkin, yang terjadi hanyalah satu kenyataan getir: bahwa bangsa ini terkadang terlalu cepat menutup telinga terhadap anak-anaknya sendiri, sementara dunia luar bersedia mendengar lebih lama dan lebih dalam.


Maka tak heran jika ada rakyat yang ditolak bangsanya sendiri, namun disambut sebagai pejuang di tanah asing. Karena di balik batas negara dan identitas, yang tetap bertahan adalah kemanusiaan.



Komentar

  1. Paling enak liat buzzer sama netizen adu argumen bela paslon padahal mah dibayar mereka sama paslon

    BalasHapus
  2. Wenn Menschen sich gegenseitig ablehnen, bleibt nur noch Heuchelei zum Zusammenhalten

    BalasHapus
  3. Memang sering kejadian kayak kita musuhin sebuah etnis eh etnisnya terkenal di luar padahal yamg kita musuhin ga ada masalah sama kita

    BalasHapus

Posting Komentar