Mengapa Sang Raja Murka? Sebuah Renungan Saat Rakyat Hilang Arah

Pembukaan:

Apakah murka seorang raja selalu berarti kekejaman? Ataukah kadang itu hanya jeritan sunyi dari seorang pemimpin yang dikhianati oleh harapan yang ia titipkan kepada rakyatnya?

Dalam peradaban yang jauh sebelum kita, kisah-kisah raja yang murka bukanlah sekadar catatan kemarahan. Mereka adalah gambaran getir tentang janji yang dilanggar, kepercayaan yang runtuh, dan harapan yang dibakar oleh kelalaian rakyatnya sendiri. Kini, ketika sejarah hanya menjadi bisikan dalam ruang modern, kita dihadapkan pada pertanyaan: ketika rakyat berbuat salah, apakah amarah pemimpin adalah keadilan atau keputusasaan?

Isi:

Kemarahan Raja dalam Catatan Klasik

Di masa lampau, raja bukan hanya pemimpin politik, tetapi simbol moral dan penjaga kehormatan bangsa. Raja-raja seperti Hammurabi, Salomo, hingga Hayam Wuruk, memerintah bukan sekadar dengan pedang, tetapi juga dengan harapan.

Namun ketika rakyat melanggar tatanan, ketika pasar penuh kebohongan, ketika hukum dipermainkan oleh rakyatnya sendiri, raja bukan hanya kehilangan wibawa—ia merasa dikhianati.

Dalam manuskrip kuno, tercatat bagaimana Raja Hammurabi murka ketika rakyatnya mulai memalsukan timbangan. Bukan karena kerugian ekonomi semata, tapi karena tatanan nilai yang selama ini ia rawat mulai runtuh. Ia merasa bukan sedang memimpin rakyat, tapi menghukum anak-anak yang menyia-nyiakan didikan.

Kemarahan Sebagai Alarm Batin

Dalam sistem monarki, amarah raja adalah batas akhir dari kesabaran negara. Ia bukan kemewahan yang mudah dipertontonkan. Justru sebaliknya, ia adalah penderitaan batin seorang pemimpin. Saat raja marah, itu artinya ia sudah kehilangan banyak malam tidur, mencoba memahami—namun tak bisa lagi bersabar.

Amarah raja kadang lahir dari cinta. Ia murka karena ia terlalu berharap. Ia kecewa karena ia terlalu percaya.

Mari kita ambil analogi sederhana: seorang ayah yang melihat anaknya mencuri. Ia bisa memukul, bisa membentak, tapi sesungguhnya hatinya remuk. Murka itu bukan benci, tapi luka.

Rakyat yang Melupakan Akar

Salah satu kesalahan terbesar rakyat adalah melupakan asal mereka. Ketika kesejahteraan mulai dirasakan, ketika hasil panen melimpah, ketika jalan mulai beraspal dan pasar ramai pembeli—beberapa rakyat terlena.

Mereka mulai bermain api di balik hukum, menyuap, menipu, dan menindas sesama. Mereka melupakan bahwa kekuasaan yang tenang bukanlah undangan untuk curang, tapi panggilan untuk makin menjaga diri.

Seorang raja yang baik tak akan serta merta murka jika satu orang berbuat salah. Tapi jika diamnya rakyat terhadap kesalahan menjadi budaya, maka itu adalah pengkhianatan terhadap kerajaan itu sendiri.

Tanggung Jawab Pemimpin dan Ujian Kepercayaan

Namun tentu, tidak semua kesalahan rakyat murni lahir dari kehendak mereka. Terkadang, sistem yang pincang, kebijakan yang tak membumi, dan pembiaran elit turut melahirkan kesalahan massal.

Maka kemarahan raja yang bijak bukan sekadar untuk menghukum, tapi untuk membangunkan.

Ia mungkin akan menutup pasar selama tiga hari, mencabut tunjangan sementara, atau menyampaikan pidato murka di pelataran istana. Tapi semua itu bukan karena ia membenci rakyatnya, melainkan ingin menyentakkan kesadaran mereka.

Ia tahu, jika kesalahan rakyat tak dihadapi dengan keras, maka bangsa itu hanya akan tenggelam dalam kehancuran perlahan.

Refleksi Sosial dalam Era Modern

Kini, kita tak lagi hidup di bawah mahkota raja. Namun pemimpin tetaplah ada. Presiden, gubernur, walikota, adalah raja-raja zaman kini. Rakyat pun tetaplah rakyat.

Pertanyaannya tetap sama: jika pemimpin marah, apakah rakyat akan mendengar?

Di era digital, “kemarahan” bisa hadir dalam bentuk revisi kebijakan, pemutusan bantuan, atau pidato tegas di televisi. Tapi sayangnya, kadang rakyat tak lagi mendengar, sibuk membalas dengan meme dan lelucon. Kritik dianggap lucu, bukan sebagai alarm.

Kita seolah lupa, bahwa pemimpin juga manusia. Ketika ia kecewa, bukan berarti ia berubah jahat. Mungkin ia hanya terlalu sering percaya namun tak dibalas dengan tanggung jawab.

Penutup:

Jadi, ketika raja marah, jangan buru-buru menuding bahwa ia kejam. Mungkin yang perlu kita tanya adalah: apa yang telah kita lakukan hingga kepercayaan itu berubah menjadi kekecewaan?

Dalam kerajaan mana pun—baik yang masih bertiang istana atau hanya berwujud kursi pemerintahan—murka pemimpin adalah pertanda. Ia bisa menjadi akhir, tapi juga bisa menjadi awal perubahan.

Maka jika hari ini pemimpin marah, dengarlah baik-baik. Mungkin yang berteriak bukan mulutnya, melainkan hatinya yang patah melihat rakyat yang ia cintai justru berbuat keliru.

Kadang, cinta itu menegur. Kadang, sayang itu bersuara lantang.
Karena pemimpin sejati bukan ingin dipuja, tapi ingin bangsanya tak tenggelam oleh kesalahan yang berulang.

Referensi



Komentar