Pernikahan Raja: Mewah, Tapi Untuk Apa?


Pembukaan

Apakah semua yang mewah selalu benar-benar perlu?
Ketika undangan dicetak emas, iring-iringan panjang seperti parade kemenangan, dan pesta berlangsung berhari-hari, benarkah semua itu untuk merayakan cinta… atau hanya pertunjukan kekuasaan?

Kita sering terpesona oleh kemegahan pernikahan bangsawan, acara megah para penguasa, pesta sakral yang berubah menjadi tayangan akbar. Tapi pernahkah kita bertanya—untuk apa semua ini? Apakah pernikahan yang seharusnya sakral berubah menjadi simbol keagungan yang ingin ditonton seluruh dunia? Atau ada sesuatu yang lebih dalam di balik kemilau gemerlapnya?

Isi

Pernikahan para penguasa sejak zaman dahulu tak pernah sederhana. Ia bukan sekadar menyatukan dua hati, melainkan dua kekuasaan, dua kerajaan, dua warisan, dan dua kepentingan politik. Maka wajar bila kemegahannya kerap melebihi batas akal.

Lihatlah catatan sejarah:
Raja Louis XVI menikah dengan Marie Antoinette dalam upacara yang memakan dana luar biasa. Raja-raja dari Timur Tengah hingga Asia menggelar pesta pernikahan selama berminggu-minggu. Rakyat berdiri menyaksikan, mengagumi, memuja… atau hanya menunggu sisa makanan pesta untuk dibawa pulang.

Tapi apakah pesta sebesar itu memang untuk rakyat? Ataukah itu hanya simbol supremasi, pesan diam kepada kerajaan tetangga dan generasi mendatang?

Bahkan dalam dunia modern, para pemimpin negara, keluarga kerajaan, hingga pejabat tinggi sering menggelar pernikahan mewah yang menyaingi film drama istana. Disiarkan langsung di televisi, diperbincangkan di media sosial, dirayakan seolah sejarah baru sedang ditulis.

Namun, pertanyaannya tetap: apakah pesta itu sungguh perlu?

Rakyat menyaksikan. Ada yang kagum, ada yang cemburu, ada pula yang diam-diam mengernyit. Karena di balik kue pengantin berlapis emas, masih ada dapur rakyat yang kosong. Di balik tarian istana yang megah, masih ada anak-anak yang menari di jalan demi uang receh.

Tapi kita pun sadar, tak semua kemewahan lahir dari kesombongan. Kadang raja hanya ingin mengikuti adat, atau merasa bahwa rakyat menantikan kemegahan itu. Kadang, pesta justru menjadi cara penguasa menunjukkan bahwa mereka masih “kuat”, “mampu”, dan “tak tertandingi”.

Namun… di mana letak makna?

Jika sebuah pernikahan hanya menjadi panggung untuk dipuji, apakah cinta di dalamnya masih terasa jujur? Jika pesta dilangsungkan agar rakyat terpesona, apakah rakyat benar-benar merasa menjadi bagian dari kebahagiaan itu?

Mari bayangkan sejenak. Jika seorang raja menikah diam-diam, dengan upacara kecil, tanpa gegap gempita, tanpa kamera, dan hanya ditemani orang terdekat—apakah itu akan dianggap sebagai kelemahan… atau keberanian?

Mungkin dunia akan menganggapnya aneh. Mungkin rakyat akan kecewa karena tak diundang ke “pesta kebesaran”. Tapi mungkin… justru di situlah kehangatan sebuah pernikahan bisa dirasakan.

Kemewahan seringkali mengaburkan kesederhanaan yang justru membawa makna.

Kita tak menolak kemegahan, tapi tak semua yang besar berarti benar. Tak semua yang gemerlap berarti bahagia. Pernikahan bukan soal seberapa luas istana yang disewa, tapi seberapa dalam komitmen yang dijaga.

Namun, kita juga perlu jujur. Banyak dari kita yang masih mengukur cinta dari ukuran pesta. Kita terpesona oleh gaun pengantin kerajaan, bukannya bertanya tentang isi hati mereka. Kita lebih hafal jumlah lilin dan tamu VIP, daripada tanya bagaimana mereka saling mengenal dan menguatkan.

Kemewahan memang menggoda. Tapi pertanyaannya, apakah kita sedang menikah… atau sedang memamerkan?

Penutup

Jadi, pernikahan raja itu mewah. Tapi… untuk apa?
Apakah demi cinta yang tulus, atau demi sorak tepuk tangan? Apakah demi sejarah yang dikenang, atau demi gengsi yang dibungkus janji?

Barangkali tak ada yang benar-benar tahu jawabannya. Tapi pertanyaan itu patut kita simpan, sebab suatu hari nanti—kita pun bisa menjadi raja atas hidup kita sendiri.

Dan ketika saat itu tiba, akankah kita memilih merayakan cinta… atau menampilkan kehebatan?

Sebab mungkin yang paling mewah dari sebuah pernikahan… adalah kesederhanaan yang diselimuti ketulusan.

Komentar