Dari Mana Cinta Berasal?



Pembukaan

Pernahkah kita duduk diam, menatap langit senja, lalu bertanya: dari mana cinta datang? Apakah ia muncul seperti hujan pertama yang membasahi tanah kering, atau ia sudah ada sejak awal, mengalir dalam darah dan nafas kita?


Kita sering kali merasakan kehadirannya, namun jarang bertanya tentang asalnya. Seolah cinta hanyalah sesuatu yang terjadi, bukan sesuatu yang berawal. Kita hanya merasakan degupnya, tanpa pernah benar-benar mencari akarnya. Padahal, mungkin pertanyaan sederhana ini bisa membuka cara pandang baru tentang manusia, bahkan tentang makna hidup itu sendiri.


Isi


Cinta adalah paradoks yang rumit. Ia bisa lahir dari tatapan singkat, bisa pula tumbuh dari tahun-tahun kebersamaan. Ia bisa muncul dari keberanian untuk mengenal, atau justru dari kerinduan yang tak pernah terpenuhi. Kadang ia secepat api yang menyala, kadang ia setenang embun yang jatuh pelan.


Jika kita menelusuri, ada yang percaya bahwa cinta berasal dari insting biologis. Dari perspektif ilmiah, tubuh kita melepaskan hormon seperti dopamin, oksitosin, dan serotonin saat merasakan kedekatan. Ada sensasi nyaman, ketagihan, bahkan kecanduan terhadap kehadiran seseorang. Penelitian oleh Fisher, Aron, & Brown (2005) menunjukkan bahwa aktivitas otak pada orang yang sedang jatuh cinta mirip dengan respons terhadap narkotika—menandakan bahwa cinta adalah kombinasi unik antara dorongan biologis dan keterikatan emosional. Seakan tubuh kita diciptakan untuk mencari dan mempertahankan keintiman.


Namun, di sisi lain, para filsuf memandang cinta sebagai produk jiwa. Plato, misalnya, melihat cinta sebagai kerinduan jiwa untuk menemukan kembali separuh dirinya yang hilang. Dalam karyanya Symposium, ia menggambarkan manusia sebagai makhluk yang sejak awal terbelah, lalu menghabiskan hidup untuk mencari bagian yang hilang itu. Dari sudut pandang ini, cinta bukanlah sekadar dorongan fisik, melainkan pencarian akan sesuatu yang lebih tinggi—sebuah kesempurnaan yang tak pernah kita miliki seutuhnya.


Dalam pengalaman sehari-hari, kita menyadari bahwa cinta sering muncul tanpa rencana. Kita tidak bisa mengatur kapan hati akan bergetar, sama seperti kita tidak bisa mengatur kapan hujan turun. Kadang ia datang dalam pertemuan singkat di kereta, kadang dalam percakapan larut malam yang awalnya hanya basa-basi. Bahkan, cinta bisa datang dari kesalahan kecil—tersesat bersama di jalan yang sama, atau menertawakan hal-hal sepele yang tidak pernah kita duga bisa menyatukan dua jiwa.


Ada pula cinta yang tumbuh pelan, seperti benih yang menembus tanah dengan sabar. Bukan karena ledakan emosi, tetapi karena kebiasaan saling ada. Dari sini kita melihat bahwa cinta tak selalu lahir dari momen besar; ia bisa datang dari hal kecil yang diulang setiap hari—secangkir kopi pagi, pesan singkat “hati-hati di jalan,” atau sekadar duduk bersebelahan dalam diam. Cinta jenis ini jarang tampak dramatis, tetapi justru memiliki akar yang lebih dalam.


Lalu, bagaimana dengan cinta yang lahir dari luka? Tidak jarang, hati yang pernah patah justru menjadi lahan subur bagi cinta baru. Luka membuka ruang kosong, dan di ruang itulah kehangatan baru bisa tumbuh. Penelitian Hatfield & Rapson (1993) bahkan mengungkap bahwa pengalaman kehilangan atau kesedihan dapat meningkatkan empati, yang menjadi salah satu fondasi kuat bagi terbentuknya ikatan emosional yang baru. Bukankah sering kali orang yang paling tulus mencintai adalah mereka yang tahu rasanya kehilangan?


Menariknya, cinta juga dapat berasal dari imajinasi. Kita bisa jatuh cinta pada sosok yang bahkan belum pernah kita temui secara nyata. Surat, cerita, atau bahkan gambaran dalam pikiran dapat memicu rasa yang begitu nyata. Lihatlah bagaimana orang bisa menunggu balasan surat berhari-hari di masa lalu, atau bagaimana seseorang kini bisa jatuh cinta hanya lewat pesan singkat dan panggilan video. Bukankah ini menunjukkan bahwa cinta juga dibentuk oleh harapan dan keyakinan, bukan hanya oleh keberadaan fisik seseorang?


Jika kita gabungkan semua ini, terlihat jelas bahwa cinta bukanlah satu sumber tunggal. Ia adalah pertemuan dari banyak sungai—biologis, emosional, spiritual, bahkan imajinatif. Setiap orang memiliki “peta asal” cintanya sendiri. Ada yang berangkat dari rasa kagum, ada yang lahir dari persahabatan panjang, ada yang muncul dari kerentanan, dan ada pula yang hanya bisa dijelaskan dengan kata: takdir.


Namun, ada satu benang merah: cinta selalu dimulai dari pertemuan. Pertemuan bukan hanya antara dua manusia, tetapi juga antara hati dan dirinya sendiri, antara jiwa dan makna, antara kerinduan dan keberanian. Pertemuan ini bisa terjadi kapan saja, di tempat mana saja, dengan cara yang sering kali tak terduga.


Mungkin yang membuat cinta begitu istimewa adalah karena ia tidak pernah bisa sepenuhnya direncanakan. Kita bisa mempersiapkan penampilan, mengatur pertemuan, atau memilih kata-kata, tapi detik ketika cinta benar-benar muncul—itu di luar kendali kita. Ada misteri di dalamnya, dan mungkin di situlah letak keindahannya.


Cinta, pada akhirnya, adalah tamu yang datang tanpa diundang namun membuat rumah kita terasa lengkap. Ia tidak bisa dipaksa, tidak bisa dikejar, tetapi ketika hadir, ia mengubah segalanya—cara kita memandang dunia, cara kita menanggung beban, bahkan cara kita memaknai diri sendiri.


Penutup


Jadi, dari mana cinta berasal? Dari tatapan pertama? Dari percakapan panjang? Dari hormon dalam tubuh? Dari kerinduan dalam jiwa? Mungkin jawabannya adalah: dari semua itu, dan lebih.


Cinta datang dari tempat yang tak bisa kita lihat, tapi bisa kita rasakan. Ia lahir dari keberanian untuk membuka hati, meski kita tahu hati itu rapuh. Dan ketika ia datang, kita hanya bisa menyambutnya dengan rasa syukur, karena di tengah dunia yang keras dan penuh kepastian semu, cinta adalah satu-satunya hal yang tetap terasa ajaib.


Bukankah indah, bahwa sesuatu yang tak bisa kita pastikan, justru menjadi alasan kita terus berharap?


Referensi


Fisher, H., Aron, A., & Brown, L. L. (2005). Romantic love: An fMRI study of a neural mechanism for mate choice. The Journal of Comparative Neurology, 493(1), 58–62.


Hatfield, E., & Rapson, R. L. (1993). Love, Sex, and Intimacy: Their Psychology, Biology, and History. HarperCollins.

Komentar