Ketika ruang bicara berubah jadi ladang konflik, bukan tempat menyatu.
Pembukaan
Pernahkah kita menyadari, bahwa yang disebut "diskusi" hari ini tak selalu mengantar pada penyatuan?
Ada masa ketika duduk bersama untuk berbincang menjadi penawar luka perbedaan. Tapi hari ini, mengapa suara-suara justru terdengar seperti gemuruh senjata?
Apakah diskusi kini hanya menjadi ajang mengadu kebenaran versi masing-masing?
Apakah kita diam-diam telah mengganti dialog dengan debat, dan mengganti kebijaksanaan dengan ego berkedok argumen?
Mari kita renungi bersama, bukan untuk saling menyalahkan, tapi agar kita tahu: apakah diskusi memang masih alat kemajuan, atau malah jebakan diam-diam menuju kehancuran sosial?
Isi
1. Diskusi yang Tak Lagi Membuka, Tapi Menutup
Diskusi seharusnya membuka jendela. Tapi di banyak ruang hari ini, jendela itu justru ditutup rapat.
Saling serang menggantikan saling dengar. Argumen yang dibangun bukan untuk memahami, tapi untuk menang.
Dalam masyarakat yang mulai penat dengan ketidakadilan dan ketimpangan, diskusi kadang berubah menjadi suara-suara frustrasi yang memantul tanpa arah.
Dan celakanya, bukan menyelesaikan masalah, justru memperuncing perbedaan.
Seperti dalam jurnal arXiv (2018), disebutkan:
“Ketika ketimpangan ekonomi memburuk, diskusi publik menjadi ajang polarisasi—mereka memperkuat perbedaan, bukan menyembuhkan.”
Artinya, diskusi dalam situasi sosial yang tidak adil berisiko menjadi bahan bakar bagi perpecahan, bukan jembatan bagi pemahaman.
2. Diskusi yang Terjebak dalam Lingkaran Polarisasi
Apa jadinya jika semua orang merasa paling benar?
Jika ruang dialog hanya dipenuhi mereka yang bersikeras membawa kebenarannya tanpa ruang untuk mendengar?
Jurnal dari SSRN (2015) menjelaskan bahwa demokrasi modern tidak otomatis membawa keadilan. Ketika ketimpangan sosial meningkat, demokrasi justru memunculkan kelompok ekstrem yang menolak kompromi. Dan dalam kondisi itu, diskusi pun menjadi teater perlawanan, bukan lagi ruang solusi.
“Meningkatnya ketimpangan tidak dibarengi dengan moderasi politik. Justru memperkuat polarisasi opini, bahkan dalam diskusi sipil.”
Diskusi yang diharapkan sebagai wadah pertukaran ide malah menjadi ruang memperkuat benteng diri.
Setiap peserta bukan datang membawa niat mencari jalan tengah, tapi membawa panji masing-masing.
3. Media Sosial: Diskusi Tanpa Kesadaran Diri
Hari ini, diskusi tak hanya terjadi di ruang fisik. Ia terjadi di layar-layar kecil yang kita genggam sepanjang hari.
Namun sayangnya, diskusi digital cenderung mempercepat polarisasi, bukan memperdalam empati.
Dalam ruang virtual, algoritma mengarahkan kita pada gelembung informasi yang mengonfirmasi pandangan kita sendiri.
Akibatnya, kita semakin yakin bahwa kita benar, dan mereka yang berbeda pasti sesat.
Ketika kita berdiskusi, kita tak lagi mencari kebenaran. Kita hanya mencari pembenaran.
Dan masyarakat pun perlahan mundur.
Tak lagi satu bangsa, tapi menjadi pulau-pulau kecil dengan suara yang makin keras namun makin tak terdengar satu sama lain.
4. Ruang Diskusi yang Hilang Rohnya
Dulu, diskusi diawali dengan niat tulus. Sekarang, banyak yang dimulai dengan motif tersembunyi.
Mau terlihat pintar. Mau mempengaruhi. Mau menundukkan. Mau menang.
Masyarakat perlahan kehilangan budaya mendengar, yang digantikan oleh budaya menyerang dengan kata-kata.
Padahal kemajuan bukan dibangun dari adu argumen, tapi dari keberanian memahami, lalu bergerak bersama.
Diskusi yang bijak bukan tentang siapa yang menang,
tapi tentang siapa yang lebih dulu memahami bahwa semua bisa salah dan semua berhak didengar.
5. Saatnya Bertanya Ulang: Untuk Apa Kita Berdiskusi?
Apa gunanya bicara jika ujungnya perpecahan?
Apa manfaatnya forum, jika yang tersisa hanya dendam?
Pertanyaan-pertanyaan ini layak diajukan hari ini.
Apakah masyarakat perlu diskusi yang terus memperdalam luka, atau justru menata ulang cara kita berdiskusi?
Apakah kita butuh kembali ke akar diskusi: saling belajar, saling melepas ego, dan bersama mencari arah?
Penutup
Mungkin bukan diskusinya yang salah, tapi cara kita berdiskusi.
Mungkin bukan masyarakatnya yang mundur, tapi kita terlalu lama menikmati kemenangan semu dari adu kata.
Maka pertanyaannya:
Masihkah diskusi layak dipertahankan jika hanya menjadi topeng kemajuan yang penuh luka diam-diam?
Atau… sudah waktunya membangun ulang cara kita saling bicara?
Referensi
Komentar
Posting Komentar