Apakah Musik Harus Menghentak hingga Menyakiti?

Ketika lantunan keras menenggelamkan suara nurani lingkungan.

Pembukaan

Apakah syahdu hanya untuk telinga kita sendiri, ataukah mestinya menyatu dengan kenyamanan orang lain?
Di jalan-jalan kampung, di gang sempit perumahan padat, dentuman musik menggelegar. Ada yang menyebutnya hiburan rakyat. Ada pula yang menyebutnya penyiksaan berjamaah.
Namun siapa yang mendengar jeritan sunyi dari lansia yang tak bisa tidur? Atau anak kecil yang terkejut menangis?

Apakah suara keras itu menjadi lambang kebahagiaan, atau justru isyarat dari luka kolektif yang terabaikan?

Isi

1. Ketika Musik Melewati Batas Sosial

Budaya sound horeg kini merajalela. Musik keras, speaker besar, bahkan kadang disertai alkohol dan joget massal, bukan hanya meresahkan, tetapi menciptakan polusi suara akut di tengah pemukiman.
Dalam jurnal “Environmental Noise Pollution in the United States” (Hammer et al., 2014), disebutkan bahwa polusi suara berdampak langsung terhadap stres, tekanan darah tinggi, dan gangguan tidur. Itu terjadi di negara maju dengan regulasi. Bagaimana di tempat kita yang regulasinya sering diabaikan?

Tidak ada larangan untuk menikmati musik. Tapi pertanyaannya, kenapa harus dengan cara yang mengganggu?

“Telinga manusia memang terbatas, tapi empati seharusnya tidak.”
– Kutipan dari warga saat dimintai pendapat dalam riset lokal.


2. Suara yang Mengikis Kesehatan

Dalam jurnal dari DOAJ berjudul “Noise and Air Pollution Related to Health in Urban Environments” (2023), dipaparkan bahwa polusi suara berdampak jangka panjang terhadap kesehatan mental dan emosional masyarakat kota.
Paparan berulang terhadap suara keras terbukti:

Mengganggu ritme jantung
Memicu kecemasan

Merusak kualitas tidur
Terlebih, anak-anak dan lansia adalah kelompok paling rentan.

Jadi siapa yang paling terancam saat musik dilantunkan terlalu keras? Bukan penyanyi, bukan pendengar pertama, tapi justru tetangga yang tak meminta.

3. Hiburan atau Pemaksaan?

Apakah segala hal yang bersifat "hiburan" harus ditoleransi?
Apakah demokrasi itu berarti semua orang boleh sesuka hati, walau menyakiti lingkungan sekitarnya?
Fenomena sound horeg yang kadang difasilitasi tanpa izin lingkungan atau bahkan diabaikan oleh aparat, mengindikasikan masalah lebih besar: pembiaran sosial atas bentuk-bentuk gangguan kolektif.

Apakah kita harus diam hanya karena takut disebut tidak asyik?

4. Jejak Kerusakan Tak Terlihat

Polusi suara tidak seperti banjir yang merendam rumah. Ia tidak menenggelamkan fisik, tapi menenggelamkan kenyamanan batin.
Ia tidak menyulut api, tapi membuat syaraf terus-menerus tertekan.
Dan lambat laun, masyarakat menjadi lelah dalam diam.

Apakah ini bentuk baru penjajahan dalam kemasan “hura-hura”?

Penutup

Suara memang bebas mengalun. Tapi kebebasan tanpa kesadaran adalah kebisingan.
Musik seharusnya mengangkat jiwa, bukan menekan. Seharusnya menghibur, bukan menyiksa.
Jika suara keras membuat orang lain harus menutup jendela hati dan telinga mereka, mungkin kita bukan sedang menikmati lagu—tapi sedang mengabaikan rasa.

Maka, pantaskah kita menyebutnya budaya jika ia melukai tanpa sadar?
Ataukah sebenarnya, kita sedang melantunkan kemunafikan yang berdentum dalam bentuk hiburan?


Komentar