Menyelami kelelahan jiwa akibat tekanan ekonomi yang berlarut-larut.
Pembukaan
Apakah kita hanya lelah bekerja, atau sebenarnya kita lelah bertahan?
Di sudut kota dan perkampungan, wajah-wajah itu tak lagi segar. Yang ada hanya kekhawatiran tentang tagihan, harga sembako yang naik, dan pekerjaan yang tak kunjung datang.
Kita bertanya—bukan pada pemerintah, bukan pada pemilik modal—tetapi pada diri sendiri: sampai kapan bisa bertahan dengan sisa harapan yang mulai pudar?
Apakah ekonomi sedang menekan… atau kita hanya terlalu diam hingga tak sadar bahwa kita telah remuk?
Isi
1. Amarah yang Tumbuh dari Perut Kosong
Dalam jurnal “Problematic anger and economic difficulties” (Hammer et al., 2018), dijelaskan bahwa tekanan ekonomi berkepanjangan dapat menimbulkan kemarahan kronis.
Tak sedikit orang kehilangan kendali emosi bukan karena sifat bawaan, tapi karena hidup terlalu lama dalam tekanan finansial yang tak kunjung reda.
“Orang lapar mudah marah, tapi orang yang terus-menerus dihimpit utang bisa kehilangan arah.”
Fenomena ini terlihat nyata: maraknya kekerasan rumah tangga, konflik sosial, hingga perasaan gagal sebagai manusia—semuanya berakar dari frustrasi ekonomi.
2. Pengangguran dan Rasa Tidak Berguna
Bukan hanya soal uang yang tak cukup. Menurut jurnal “Unemployment’s Long Shadow” (Dietrich et al., 2024), pengangguran jangka panjang bisa mengikis identitas sosial seseorang.
Orang yang lama tidak bekerja sering merasa tidak berguna, kehilangan rasa percaya diri, bahkan menjauh dari pergaulan.
Di banyak tempat, pengangguran bukan sekadar statistik. Ia menjadi aib keluarga. Seorang pria dewasa tanpa pekerjaan dipandang sebagai beban, bukan sebagai korban sistem.
Dan dari situ, frustasi tumbuh menjadi apatis.
3. Frustasi yang Menular dalam Diam
Frustasi bukan hanya penyakit personal. Ia menular.
Seorang ayah yang pulang dengan tangan kosong bisa menjadi kasar pada anaknya. Seorang ibu yang pusing mengatur uang dapur bisa kehilangan kasihnya.
Dan satu keluarga yang lelah, bisa menciptakan lingkungan yang pahit.
Dalam masyarakat yang tak lagi mampu berbagi peluang, frustasi berubah menjadi budaya. Budaya diam. Budaya saling tuding. Budaya saling sikut.
4. Solusi yang Tak Dirasakan sebagai Solusi
Program bantuan memang ada. BLT, sembako murah, subsidi.
Tapi banyak warga merasa bantuan itu sekadar penenang sesaat, bukan solusi jangka panjang.
Lapangan kerja tetap minim. Upah stagnan. Sementara harga terus naik.
Maka, muncullah pertanyaan:
Apakah negara hadir sebagai penolong, atau hanya muncul ketika masa kampanye?
5. Antara Bertahan atau Menyerah
Sebagian tetap berusaha, bekerja apapun asal halal.
Sebagian mulai menyimpang: mencuri, menipu, berjudi.
Sebagian lagi hanya… menyerah. Duduk termenung, berharap keajaiban.
Frustasi ekonomi bukan soal miskin atau kaya. Ini soal rasa kehilangan kendali atas hidup sendiri.
Dan ketika itu terjadi, rasa putus asa bisa menjadi satu-satunya yang tersisa.
Penutup
Frustasi ekonomi tidak selalu terlihat. Ia menyamar sebagai senyum, tawa basa-basi, dan doa pelan di malam hari.
Tapi ia ada, menyelusup di sela-sela keheningan orang-orang yang malu meminta tolong.
Apakah negara mendengar? Apakah masyarakat peduli?
Atau kita semua sudah terlalu sibuk bertahan dalam ketakutan masing-masing?
Mungkin, hari ini bukan tentang bangkit.
Tapi tentang tidak menyerah.
Tentang satu langkah kecil dari ribuan kesulitan yang tak kita pilih, tapi harus kita hadapi.
Referensi Jurnal
Komentar
Posting Komentar