Merenungi rasa kehilangan harapan di balik impian akan tanah dan rumah.
Pembukaan
Apakah tanah kini hanya untuk mereka yang telah lama tinggal di atasnya?
Ketika harga lahan melambung, anak-anak muda berdiri di tepi mimpi mereka sendiri.
Dulu mereka berkata: kerja keras akan membawa rumah dan kebun. Kini, bahkan sekadar petak kontrakan pun terasa seperti kemewahan yang ditunda.
Dan kita bertanya — apakah ini soal malas bekerja, atau memang dunia yang tak memberi ruang lagi?
Isi
1. Rumah yang Jauh dari Genggaman
Sebagian besar anak muda di kota besar menyadari satu hal pahit: membeli rumah adalah impian yang nyaris utopis.
Jurnal Housing unaffordability and mental health (2022) menyebutkan bahwa kenaikan harga rumah yang tak sebanding dengan pertumbuhan gaji telah menyebabkan depresi terselubung di kalangan muda.
“Bahkan mereka yang bergaji tetap, merasa seperti sedang mengejar angin.”
Tak jarang, kalimat “aku tidak akan pernah punya rumah” menjadi lelucon getir dalam percakapan santai. Sebuah canda yang lahir dari keputusasaan kolektif.
2. Bukan Hanya Soal Uang, Tapi Identitas
Rumah adalah simbol pencapaian.
Bagi generasi sebelumnya, memiliki tanah atau rumah adalah tanda keberhasilan, stabilitas, dan harga diri.
Namun sekarang, anak muda justru merasa tertahan dalam ketidakjelasan. Jurnal dari International Journal of Environmental Research and Public Health (2021) menyatakan bahwa tekanan ini membuat banyak anak muda mengalami perasaan tak berdaya dan kehilangan arah hidup.
Tak sedikit yang memilih untuk tinggal lebih lama dengan orang tua. Bukan karena nyaman, tapi karena tak punya pilihan.
Ketika ruang menjadi terbatas, emosi pun meledak diam-diam.
3. Tekanan Sosial dan Kesehatan Mental
Hidup di kota besar bukan sekadar bersaing dalam pekerjaan, tapi juga dalam gaya hidup.
Ketika teman-teman memamerkan apartemen, motor baru, atau sekadar kos mewah di Instagram, rasa malu pun muncul di dada mereka yang masih menghuni kamar sempit bersama saudara.
Rasa minder bukan karena ingin pamer, tapi karena merasa ketinggalan dari standar sosial.
Jurnal-jurnal tadi menunjukkan bahwa tekanan harga hunian dan tekanan gaya hidup sosial saling memperkuat — membentuk lingkaran frustrasi yang menggerus semangat generasi muda.
4. Kenyataan yang Tak Semua Dengar
Kebijakan tentang hunian sering kali hanya menyentuh permukaan. Kredit rumah subsidi? DP nol persen?
Semua itu terdengar indah… bagi mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetap, SK pengangkatan, dan nama baik di bank.
Bagi pekerja lepas, pekerja kreatif, atau mereka yang bergaji harian—semuanya hanyalah ilusi kebaikan sistem.
Anak-anak muda tak meminta keajaiban.
Mereka hanya ingin tahu: masih adakah celah untuk bermimpi wajar di atas tanah sendiri?
5. Yang Kaya Bertambah, Yang Muda Bertahan
Mereka yang memiliki tanah sejak dahulu kini tinggal memetik hasilnya. Sementara anak-anak muda harus membayar harga berkali lipat untuk tempat hidup yang sama.
Apakah ini keadilan? Atau hanya warisan dunia yang telah lama dibangun oleh segelintir elit?
Yang menyedihkan adalah ketika suara anak muda dianggap cengeng, padahal mereka hanya sedang menggambarkan kenyataan yang terlalu berat untuk disebutkan terus terang.
Penutup
Kita tak sedang berbicara tentang kemewahan.
Kita sedang bicara tentang hak dasar: tempat berlindung, tempat pulang, tempat tumbuh.
Dan ketika tanah menjadi terlalu mahal, generasi muda pun mulai kehilangan pijakan—bukan hanya secara fisik, tapi juga secara psikologis dan sosial.
Mereka bukan malas, bukan manja. Mereka hanya hidup di zaman yang membuat kepemilikan rumah menjadi mitos.
Maka pertanyaan kembali muncul dalam diam:
Apakah ke depan, memiliki tanah akan menjadi impian yang hanya bisa diwariskan, bukan diperjuangkan?
Referensi Jurnal
Komentar
Posting Komentar