Pernahkah kau merasa surga disematkan harga? Pernahkah seorang yang berkopiah menyebut: “Semakin besar sedekahmu, semakin besar pula balasan surgamu”? Mungkinkah surga, yang katanya milik Tuhan, kini bisa dibeli lewat dompet?
Di banyak tempat ibadah, suara lembut penuh doa sering kali bersambung dengan kotak amal yang tak hanya sunyi—tapi penuh tuntutan. Pertanyaannya kini berubah: adakah ketulusan dalam memberi, jika surga menjadi iming-iming?
Imbalan Surgawi: Antara Janji dan Manipulasi
Dalam studi J.A. Doces (2021), ditemukan bahwa kepercayaan dan identitas keagamaan memainkan peran besar dalam donasi—seringkali bukan karena solidaritas sosial, tapi harapan imbalan spiritual. Artinya, orang banyak memberi bukan karena cinta kasih, melainkan karena rasa takut akan neraka dan harap akan surga.
Bukankah ini yang sering kita lihat? Pidato penuh air mata, lalu ajakan menyumbang demi “pahala tak terputus”. Seakan-akan, memberi bukan lagi bentuk empati, tetapi investasi akhirat. Ironisnya, sebagian pemuka agama justru menggunakan pola pikir bisnis—dengan promosi surga sebagai komoditas yang bisa dijual.
Kekuasaan Simbolik Pemuka Agama
Apa yang membuat ucapan pemuka agama sedemikian kuat? Ia tidak berbicara sebagai individu biasa. Ia berdiri mewakili yang tak kasat mata. Dalam teori Bourdieu, ini disebut “kekuasaan simbolik”—kemampuan memengaruhi orang lain hanya dengan wacana.
Bayangkan seorang ibu tua yang memberi uang terakhirnya karena takut tidak masuk surga. Atau pemuda miskin yang rela berutang demi membiayai “wakaf” yang dijanjikan balasan rumah mewah di akhirat. Tidakkah ini mencemaskan?
Dari Cinta Kasih Menjadi Transaksi
Keagamaan yang seharusnya menjadi ruang pembebasan, justru terjebak dalam logika dagang. Ibadah menjadi “perhitungan untung-rugi”: siapa yang memberi lebih, akan mendapat lebih. Tapi kepada siapa sebenarnya uang itu diberikan?
Apakah benar uangmu untuk sedekah? Ataukah untuk memperkaya struktur kekuasaan yang menyamar dalam jubah suci?
Di titik ini, banyak orang mulai kecewa. Mereka mencintai Tuhannya, tapi curiga pada utusannya di dunia. Mereka ingin percaya, tapi terlalu sering dikhianati oleh mereka yang menjual mimpi surga.
Membangun Kesadaran Baru
Artikel ini bukan seruan anti-sedekah. Ini adalah ajakan untuk membuka mata: bahwa memberi adalah pilihan cinta, bukan ketakutan. Bahwa kebaikan seharusnya tumbuh dari hati yang bebas, bukan dari ancaman dosa atau janji pahala.
Sudah waktunya masyarakat menuntut transparansi, bukan hanya pada negara—tetapi juga pada lembaga keagamaan. Jangan biarkan keimanan dijadikan alat manipulasi. Jangan biarkan yang sakral menjadi senjata untuk menjarah rasa percaya.
Penutup: Surga Tak Butuh Uangmu
Tuhan tidak kekurangan dana. Ia tidak menunggu isi dompetmu untuk membuka pintu surga. Tapi manusia—manusia berbaju suci—mungkin saja punya motif lain. Maka, sebelum kau memberi, tanyakan: kepada siapa, untuk apa, dan atas dasar apa?
Mungkin, justru ketika kita tak lagi berharap surga karena sedekah, kita sedang berjalan paling dekat ke arahnya.
Referensi Ilmiah
1. Doces, J.A. (2021). Religion and Charitable Donations: Experimental Evidence from Africa. Journal for the Scientific Study of Religion.
Beli tiket surga
BalasHapus