Murah di Mata Atasan: Ketika Tenaga Kerja Tak Lebih dari Angka


Pembukaan

Apakah manusia masih dihargai karena jerih payahnya? Ataukah kini tenaga kerja hanya dilihat sebagai angka, sebagai biaya yang bisa ditekan demi laporan laba yang menggembirakan? Di zaman ketika efisiensi menjadi mantra utama, harga sebuah keringat tak lagi ditentukan oleh ketulusan bekerja, melainkan oleh seberapa murah ia bisa dibayar. Inikah wajah dunia kerja kita hari ini?

Isi

Perusahaan-perusahaan modern, tak jarang, menjadikan penghematan sebagai alasan utama mempekerjakan tenaga kerja kontrak atau outsourcing. Dalam laporan Frontiers in Public Health (2021), dijelaskan bahwa pola kerja tidak tetap dan bergaji rendah telah menjadi faktor utama yang meningkatkan stres dan ketidakpastian hidup pekerja. Mereka yang terjebak dalam sistem kerja ini merasa tak pernah punya pijakan yang aman.

Tidak sedikit dari mereka adalah kepala keluarga, tulang punggung ekonomi rumah tangga. Namun perusahaan menutup mata. Mereka menyebutnya "efisiensi SDM." Di balik istilah itu, tersembunyi beban psikologis yang menggerogoti kesehatan mental para pekerja. Jurnal Job Insecurity and Well-Being in Rich Democracies (PMC, 2019) menunjukkan bahwa pekerja dengan status kontrak atau upah murah mengalami penurunan tajam dalam kesejahteraan dan kualitas hidup, bahkan di negara-negara maju.

Salah satu fenomena yang mencolok adalah normalisasi pekerjaan dengan penghasilan minim namun beban besar. Dalam sektor pendidikan tinggi, misalnya, jurnal Experiences of precarious work within higher education institutions (Frontiers, 2023) merekam bagaimana dosen kontrak diperlakukan layaknya operator. Mereka berpindah-pindah kelas tanpa kejelasan nasib, tanpa fasilitas layak, dan dengan rasa cemas apakah bulan depan mereka masih akan bekerja.

Fenomena ini bukan sekadar tentang perusahaan besar, tapi juga menyusup ke perusahaan kecil dan menengah. Kecenderungan memperkerjakan staf magang, freelance, atau kontrak dalam jangka panjang memperlihatkan pola pikir yang menganggap manusia hanya sebagai bagian dari logistik perusahaan, bukan bagian dari keluarga besar yang harus dijaga kesejahteraannya.

Apakah ini berarti dunia kerja sudah kehilangan nilai-nilai manusiawinya? Mungkin tidak sepenuhnya, tapi ke arah sanalah ia bergerak. Logika kapitalisme ekstrem menempatkan manusia sebagai komoditas yang bisa ditukar, diganti, bahkan dibuang jika dianggap tidak cukup efisien.

Namun, mungkinkah para pekerja bersuara? Dalam banyak kasus, suara itu justru dibungkam oleh kontrak sepihak, oleh tekanan sosial, atau oleh rasa takut kehilangan satu-satunya sumber penghasilan. Inilah realita yang tak banyak ditampilkan dalam brosur perusahaan: bahwa karyawan yang tampak tersenyum di luar, sering menyembunyikan kelelahan dan ketidakpastian di dalam.

Ironisnya, produktivitas justru menurun ketika tekanan psikologis meningkat. Studi-studi psikologi organisasi menyimpulkan bahwa perusahaan yang terlalu hemat pada tenaga kerja justru merugi secara jangka panjang. Turnover tinggi, motivasi rendah, dan inovasi yang mandek menjadi konsekuensi yang mahal. Tapi itu semua sering tak terlihat dalam laporan keuangan triwulan.

Lebih menyedihkan lagi, budaya kerja seperti ini mulai dianggap normal. Ketika seseorang mendapatkan pekerjaan tetap dengan gaji layak, itu dianggap sebagai “privilege”, bukan sebagai hak dasar. Padahal, bekerja dengan upah layak bukanlah hadiah, melainkan hasil dari kerja keras yang selayaknya dihargai.

Penutup

Jika perusahaan hanya mau pegawai murah, lantas apa yang tersisa dari nilai kemanusiaan di tempat kerja? Apakah dunia kerja kini tak lebih dari mesin besar yang hanya mengenal efisiensi dan target, melupakan nilai empati dan rasa syukur?

Mungkin sudah saatnya kita bertanya ulang, bukan hanya tentang apa yang kita kerjakan, tapi tentang bagaimana kita dihargai. Apakah kita masih dianggap manusia, atau hanya angka dalam spreadsheet?

Referensi Jurnal






Komentar

  1. Emang udah aneh sekarang gaji kecil giliran syarat kerja aja gak ngotak

    BalasHapus

Posting Komentar