Pembukaan
Ada masanya rakyat berdiri di barisan yang sama.
Saling menyapa di pagi hari, saling membantu saat musibah, dan bersatu saat panen datang. Tapi entah sejak kapan, suara mereka mulai berbeda, sorot mata mulai saling curiga, dan ruang bersama menjadi ajang saling tunjuk jari.
Apakah yang meretakkan semangat kebersamaan itu?
Apa hanya karena pilihan, atau ada yang lebih dalam dari sekadar perbedaan?
Isi
1. Retakan yang Tidak Disadari
Perpecahan tidak terjadi begitu saja. Ia muncul perlahan, seperti retakan pada tembok tua yang awalnya tak terlihat, namun lambat laun membuat dinding runtuh.
Di antara rakyat, perpecahan sering bermula dari:
Ketimpangan ekonomi yang membuat sebagian merasa tertinggal.
Narasi sosial yang mengkotak-kotakkan kelompok.
Kurangnya kepercayaan pada pemimpin yang dianggap tak mewakili semua suara.
Dan dalam ruang itulah, benih-benih prasangka mulai tumbuh — antara tetangga dengan latar belakang berbeda, antara desa yang satu dengan desa yang lain, antara kelas sosial.
2. Ketika Identitas Dijadikan Alat Pisah
Jurnal dari PubMed Central (PMC7732181) mengungkapkan bahwa polarisasi sosial tumbuh ketika kelompok-kelompok mulai memperkuat identitasnya dengan meniadakan identitas lain.
“Perbedaan identitas yang dikelola dengan buruk tidak memperkaya masyarakat, tapi justru menumbuhkan konflik horizontal.”
— PMC, 2020
Identitas seharusnya menjadi jembatan, bukan sekat. Tapi ketika perasaan eksklusif tumbuh, dan ditambah dengan ketidakadilan dalam distribusi kesejahteraan, maka identitas berubah menjadi alasan untuk membenci.
Dan saat suara dibingkai oleh rasa takut kehilangan posisi, maka pertikaian tidak lagi soal siapa benar dan salah, melainkan siapa yang lebih layak dianggap ‘kita’.
3. Ketimpangan dan Polarisasi Politik
Jurnal dari SSRN (abstract_id=2649215) secara tajam menghubungkan ketimpangan ekonomi dan polarisasi politik.
“Semakin tinggi ketimpangan pendapatan dalam suatu masyarakat, semakin besar kemungkinan polarisasi politik yang membelah masyarakat secara tajam.”
— SSRN, 2015
Dengan kata lain, ketika sebagian rakyat merasa tidak mendapat bagian yang adil dari kemakmuran, mereka lebih mudah dipengaruhi oleh ideologi ekstrem — baik kiri maupun kanan, baik populis maupun eksklusif.
Dalam sejarah, ini terjadi berulang:
Kaum tani yang merasa tertindas akhirnya melawan kaum borjuis.
Warga kota yang merasa diremehkan oleh pusat akhirnya membentuk narasi tandingan.
Dan ini terjadi bukan hanya di satu negara, tapi di banyak tempat — dari Asia hingga Eropa, dari abad kolonial hingga era digital.
4. Peran Media dan Suara yang Disusupi
Media sosial hari ini adalah pedang bermata dua.
Ia bisa menyatukan, tapi juga bisa menyebar luka.
Di ruang digital, algoritma mengarahkan kita pada kelompok yang sepikiran. Akibatnya, yang berbeda bukan dianggap teman berdialog, tapi ancaman.
Maka, ruang publik pun menjadi medan tempur identitas.
Dan siapa yang paling lantang, bukan yang paling benar, tapi yang paling banyak dilihat.
Itulah kenapa hari ini, bahkan perbedaan kecil bisa memicu kebencian besar. Karena bukan hanya ide yang dibenturkan, tapi juga ego dan luka yang belum sempat sembuh.
5. Di Mana Rakyat Bisa Bertaut Lagi?
Pertanyaannya, apakah rakyat bisa disatukan kembali?
Jawabannya tidak mudah. Tapi sejarah mencatat: rakyat bisa kembali bersatu jika:
Ada pemimpin yang adil dan mendengar semua suara.
Ada ruang bersama yang memberi rasa memiliki.
Ada pendidikan dan narasi yang menghapus prasangka, bukan menumbuhkannya.
Namun lebih dari itu, butuh kemauan dari rakyat sendiri untuk membuka mata dan hati.
Untuk tidak melihat yang berbeda sebagai musuh, tapi sebagai bagian dari rumah besar yang sama: negeri ini.
Penutup
Perpecahan di antara rakyat bukan soal politik semata, tapi tentang rasa yang terluka, suara yang tak didengar, dan perut yang tetap lapar meski janji sudah terlalu sering dibaca.
Mungkin sudah saatnya kita bertanya,
apakah kita marah pada sesama rakyat, atau justru sedang diarahkan untuk saling menjauh?
Dan bila rakyat yang satu tak lagi bisa menatap wajah rakyat yang lain dengan penuh percaya,
siapa yang diuntungkan dalam keretakan itu?
Referensi
Komentar
Posting Komentar