Apakah rasa percaya masih relevan di dunia yang begitu mudah mencurigai? Apakah ia sekadar harapan, atau justru fondasi yang membangun manusia dan dunia di sekitarnya?
Dalam bisu dan gaduh, percaya tetap bicara
Di dunia yang berisik oleh hoaks, oleh pengkhianatan, oleh rasa lelah karena terlalu sering dikecewakan, rasa percaya kadang seperti barang langka. Tapi tetap ada—ia menunggu, tak berteriak, tak memaksa. Percaya seperti api kecil yang menyala dalam kegelapan panjang: tidak meledak, tapi cukup untuk memberi arah.
Percaya bukan soal kata-kata manis. Ia adalah keputusan yang sering kali diam-diam, namun mengguncang jiwa. Saat seseorang memutuskan untuk mempercayai orang lain, ia bukan sedang menyerah, melainkan sedang memberanikan diri. Karena tak ada yang lebih berani dari membuka diri dalam dunia yang mengajarkan kita untuk terus curiga.
Sejarah selalu dimulai dengan rasa percaya
Bangsa tidak dibangun dengan tangan yang saling mencurigai. Mereka dibangun oleh rakyat yang percaya kepada pemimpinnya, oleh pemimpin yang percaya pada janji-janji yang diikrarkan dalam sunyi. Bahkan di zaman raja dan menteri, ketika sistem belum seformal sekarang, kepercayaan menjadi alat diplomasi yang melebihi perang.
Begitu juga keluarga, persahabatan, hingga negara. Semua dimulai dari sebutir percaya yang tumbuh entah kepada satu ide, satu visi, satu harapan.
Ketika seorang raja turun dari tahtanya hanya karena tak ingin melukai rakyatnya, itu bukan semata kebaikan tapi karena ia percaya: cinta rakyat lebih kuat dari singgasana. Dan rakyat pun rela menjaga nama sang raja, karena percaya tak bisa dibeli oleh tahta.
Di balik setiap keputusan penting, ada percaya yang tersembunyi
Seorang rakyat kecil yang memilih untuk terus bekerja meski upahnya kecil, kadang bukan karena pasrah. Tapi karena percaya: satu hari, keadaan berubah. Seorang ibu yang terus menunggu anaknya pulang meski tak berkabar bertahun-tahun, itu bukan lemah—itu percaya.
Begitu pula kita. Dalam setiap pilihan yang tampaknya bodoh di mata orang lain, sering tersembunyi rasa percaya. Percaya bahwa kebaikan tak akan mati, bahwa janji Tuhan tidak pernah palsu, bahwa cinta sejati tidak akan mengkhianati.
Namun percaya juga bisa rapuh
Tapi jangan salah: percaya bukan makhluk suci. Ia bisa dikhianati. Ia bisa menjadi luka jika terlalu cepat diberikan pada orang yang salah. Dunia ini penuh kisah di mana kepercayaan dibalas dengan tipu daya, dengan penghisapan, dengan pengkhianatan yang menusuk jauh ke dalam hati.
Tapi bukan berarti kita harus berhenti percaya. Luka karena percaya bukan salah percaya—melainkan salah siapa yang dipercayai. Dan bukankah luka karena kepercayaan lebih mulia daripada hidup tanpa pernah mempercayai apa pun?
---
Jurnal pendukung: Psikologi dan kekuatan percaya
Dalam jurnal "Trust and Human Relationships" (Lewicki & Bunker, 1996), disebutkan bahwa kepercayaan adalah "faktor pemicu keterikatan emosional dalam hubungan sosial, politik, dan profesional." Tanpa rasa percaya, hubungan antar manusia cenderung memburuk dan rapuh, karena rasa saling curiga mengambil alih.
Jurnal lain, "The Neuroscience of Trust" oleh Paul Zak (2017) dalam Harvard Business Review, menjelaskan bahwa kepercayaan secara biologis merangsang pelepasan oksitosin dalam otak—zat yang memperkuat koneksi emosional dan produktivitas dalam komunitas maupun organisasi. Rasa percaya bukan hanya konsep moral, tapi realitas kimiawi dalam otak manusia.
Jika tak percaya, lalu apa yang tersisa?
Boleh saja kita mencurigai. Tapi hidup tanpa percaya seperti berjalan tanpa peta. Kita akan tersesat dalam semua kemungkinan buruk yang belum tentu terjadi. Dunia ini memang penuh risiko, dan percaya adalah risiko itu sendiri. Tapi bukankah semua hal baik dalam hidup lahir dari risiko?
Cinta adalah risiko. Persahabatan adalah risiko. Iman pun adalah risiko yang paling halus—karena kita mempercayai hal yang tak terlihat.
Membangun ulang percaya di zaman yang menertawakannya
Di era ini, kepercayaan seolah candaan. Kita ditertawakan jika mudah percaya. Tapi lucunya, orang yang paling berhasil justru mereka yang mampu menciptakan kepercayaan. Brand, pemimpin, hingga gerakan sosial—semua dibangun bukan hanya oleh uang, tapi oleh keyakinan dari orang-orang yang memilih untuk percaya.
Percaya bisa menjadi investasi yang nilainya tidak tampak hari ini, tapi berbuah di hari yang kita bahkan belum tahu kapan datangnya. Maka siapa pun yang belajar membangun dan menjaga kepercayaan, sejatinya sedang memelihara kekuatan yang lebih besar dari yang ia kira.
Baca juga
Penutup: Percaya bukan kelemahan
Apakah kamu masih percaya pada seseorang? Pada masa depan? Pada dirimu sendiri? Mungkin rasa percaya itu kini seperti ranting yang rapuh, nyaris patah. Tapi jangan buang. Rawatlah.
Karena percaya bukan kelemahan. Ia adalah akar dari kekuatan yang tidak selalu keras kepala, tapi selalu bertahan.
📚 Referensi Jurnal:
Komentar
Posting Komentar