Benar Karena Tua, atau Tua Karena Merasa Benar?

Pembukaan


Apakah usia menjamin kebijaksanaan?
Mengapa kadang yang paling lantang bukan yang paling mendalam?
Di ruang-ruang kerja, dalam perkumpulan adat, bahkan di meja makan keluarga—selalu ada sosok yang tak bisa dibantah.
Ia tua. Ia senior. Maka, ia merasa paling benar.

Namun...
Apakah kebenaran selalu berpihak pada usia?

Isi

Dalam hirarki sosial, senioritas kerap dibingkai sebagai lambang kebijaksanaan. Tapi tidak jarang, posisi itu melahirkan kekakuan. Pendapat orang muda ditanggapi dengan sinis. Gagasan baru dianggap durhaka. Kritik dibaca sebagai pembangkangan.

Jurnal Frontiers in Psychology (2021) menyoroti fenomena ini dengan tajam. Ketika seseorang dibesarkan atau dibentuk oleh sistem yang memuja kekuasaan dan dominasi, ia bisa mengembangkan ciri-ciri authoritarian personality. Mereka tidak sekadar percaya diri, tapi merasa hanya mereka yang benar. Terbiasa dihormati, lama-lama lupa cara menghormati.

Ini bukan soal jahat atau tidak. Ini tentang psikologis—tentang bagaimana rasa “diakui” menjelma menjadi kekakuan berpikir.

Tak berhenti di situ, jurnal BMC Geriatrics (2024) menggambarkan betapa nilai filial piety—kesalehan pada yang lebih tua—justru bisa menjadi bumerang. Lansia yang dibesarkan dalam nilai otoriter akan menganggap segala hal yang menentangnya sebagai bentuk pembangkangan. Mereka menjadi keras hati bukan karena jahat, tapi karena takut kehilangan wibawa.

Namun di sinilah tantangannya:
Bagaimana jika wibawa yang dipertahankan justru mematikan ruang diskusi?
Bagaimana jika pengalaman tak lagi mengasah empati, tapi menajamkan ketakutan akan tergantikan?

Kita mulai melihat dampaknya dalam keluarga, dalam organisasi, bahkan dalam pemerintahan. Ketika generasi lama enggan mendengar, generasi muda terpaksa diam. Lalu dunia berjalan, bukan karena kesepakatan, tapi karena keterpaksaan.

Apakah kita masih bisa menyebut ini “penghormatan”, jika yang muda tak bisa bernapas?

Di titik ini, benih konflik mulai tumbuh. Bukan karena siapa yang lebih pintar, tapi karena siapa yang tak mau turun dari singgasananya.

Senioritas tanpa refleksi hanyalah keras kepala yang mendapat legitimasi.
Ia bisa menghancurkan organisasi, memutus rantai regenerasi, bahkan membentuk lingkungan yang stagnan.

Penutup

Lalu kita bertanya,
Apakah menjadi tua berarti menutup telinga?
Apakah menjadi senior berarti menolak berubah?

Mungkin bukan usianya yang salah, tapi cara kita memaknai kuasa yang melekat di balik angka itu.
Sebab bukan pengalaman yang membuat kita bijak, tapi kemauan untuk tetap belajar dari siapa pun.

Karena di dunia yang terus bergerak, yang keras hati hanya akan tertinggal,
sementara yang mau mendengar—tetap menjadi pemimpin, meski tak punya gelar senior.

Referensi:

 

Komentar