Pembukaan
Bayangkan sebuah pelabuhan ramai abad ke‑17. Peti-peti lada, sutra, dan cengkeh diturunkan dari kapal. Peluh mengalir di dahi para kuli, pelaut, dan juru muat. Tapi saat kantong emas dibagikan oleh saudagar besar, suara berbisik terdengar:
"Mengapa yang duduk nyaman di balai dagang mendapat lebih banyak dari mereka yang memanggul dunia?”
Apakah ini wajah dari keadilan, atau hanya sistem yang sudah terlalu lama diam di tengah ketimpangan?
Isi
1. Ketika Emas Tak Mengikuti Keringat
Saudagar kaya dalam sejarah sering kali bukan mereka yang paling letih, tetapi paling dekat dengan kekuasaan dan perhitungan. Dalam dunia perdagangan klasik, distribusi bayaran sangat ditentukan oleh:
Posisi sosial,
Kedekatan dengan pemimpin serikat dagang,
Dan keberanian untuk bersuara, bukan hanya bekerja.
Tak heran, mereka yang bekerja paling keras justru sering menjadi yang terakhir dibayar, atau bahkan dilupakan.
2. Jejak Ilmiah Ketidakadilan Upah
Sebuah jurnal dari SSRN berjudul “Beyond Conventional Wage Discrimination Analysis” (Budig & Misra, 2015) menyatakan:
“Distribusi bayaran sering tak sebanding dengan waktu dan tenaga yang dikeluarkan, tapi dipengaruhi oleh struktur kekuasaan dan persepsi nilai kerja.”
https://papers.ssrn.com/abstract=2698624
Penelitian ini membuktikan bahwa bahkan di sistem kerja modern, upah lebih sering dikaitkan dengan posisi dan status, bukan kontribusi nyata.
Demikian pula jurnal “The Unequal Work Day” (Wolff, 1998) menyebut:
"Selama ratusan tahun, mereka yang berada di lapisan bawah sistem kerja terus menanggung jam kerja lebih lama, namun mendapat imbalan yang tak sepadan.”
https://papers.ssrn.com/abstract=226167
Ini menandakan, bahwa praktik “upah tidak setimpal” bukanlah isu baru, melainkan warisan panjang dari sistem yang tak pernah benar-benar dibenahi.
3. Diamnya Pihak yang Diuntungkan
Ketika ketimpangan ini berlangsung terus, yang terjadi bukan hanya kesenjangan ekonomi, tapi juga keretakan moral.
Mereka yang dibayar tinggi mulai merasa berhak,
Mereka yang dibayar rendah mulai meragukan sistem,
Dan pemimpin serikat dagang mulai tak lagi didengar.
Ini bukan hanya tentang uang. Ini tentang nilai manusia yang dikerdilkan oleh ketidakadilan.
4. Akhirnya, Para Pekerja Menunduk atau Melawan?
Dalam sejarah serikat dagang, pernah terjadi saat di mana para kuli pelabuhan menolak bekerja karena gaji tak kunjung dinaikkan.
Tapi sering pula mereka hanya menunduk, berharap angin sejarah akan berganti.
Pertanyaannya bukan hanya siapa yang salah,
Tapi siapa yang diam saat yang lain dirugikan?
Penutup
Sebuah sistem tidak jatuh karena kerasnya tekanan luar. Ia runtuh karena diamnya hati mereka yang tahu ada ketimpangan, tapi membiarkannya.
Mungkin dalam dunia dagang, emas memang berbicara lebih nyaring. Tapi ketika emas dibagikan tak setara, kepercayaan pun perlahan sirna.
Jadi, adakah saudagar yang akan menimbang kembali,
bahwa tangan yang kotor oleh kerja mungkin lebih layak dihormati,
daripada jubah bersih yang tak pernah bersentuh pelabuhan?
Referensi
Komentar
Posting Komentar