Sebuah Renungan yang Lupa Kita Hargai
Di pagi yang cerah, kita mulai hari dengan kebiasaan yang mungkin sepele: membaca berita, membuat kopi, atau menyapa keluarga lewat pesan instan.
Namun, kapan terakhir kali kita menyisipkan doa untuk kebaikan sang pemimpin—raja atau presiden—dan sesama rakyat, tanpa motif, hanya atas dasar kebaikan hati?
Doa, dalam banyak tradisi, bukanlah sarana manipulasi atau pinggiran bonus spiritual—ia menjadi napas dari rasa bersyukur dan harapan.
Ketika kita menjaga hati untuk mendoakan pemimpin yang memimpin dengan adil, atau rakyat yang berjuang dalam keseharian tanpa sorotan—ada kesadaran spiritual yang mengingatkan: kita bersaudara dalam harapan dan kemanusiaan.
Menghadap Sang Pemimpin dengan Doa, Bukan Sifat Jauh
Bagi sebagian besar kita, pemimpin terasa jauh—baik sang raja mahkota ataupun pejabat tinggi. Media kadang membenturkan kita dengan kekuasaan dan jarak itu. Padahal, secara spiritual, mendoakan pemimpin bukan berarti tunduk secara politik. Ia adalah ungkapan tanggung jawab moral: semoga mereka mampu memimpin bijaksana, melindungi rakyat, dan menjaga keadilan.
Menjalankan doa ini adalah tanda bahwa kita memahami keterkaitan sosial: pemimpin dan rakyat saling melengkapi dalam roda bangsa. Ketika kita ikhlas menginginkan yang terbaik bagi mereka—bukan sebagai strategi politik—itulah titik lahir kebaikan yang luas.
Empati kepada Sesama Lewat Doa
Di tengah terpaan kehidupan yang cepat, kita kadang lupa bahwa orang-orang di sekitar kita—penjual sayur di pasar, guru honorer, atau petugas kebersihan—juga membawa perjuangan. Doa untuk saudara sebangsa ini bukan sekadar “semoga maju”, melainkan pengakuan bahwa mereka juga manusia, punya mimpi dan beban.
Sebuah praktik sederhana, misalnya saat menunggu lampu lalu lintas, menarik napas, dan mengirim doa singkat: “Semoga bapak petugas kebersihan juga diberi kemudahan hari ini.” Ini membangun koneksi tanpa perlu datang ke masjid atau gereja—hanya hati yang peduli.
Menariknya, ada riset yang menjelaskan bagaimana rasa syukur terhadap orang lain—walau tidak disebut secara langsung seperti sang pemimpin—membangun ikatan sosial dan meningkatkan kesejahteraan.
Jurnal open access yang relevan adalah:
Desteno et al. — "Gratitude as moral sentiment: Emotion-guided cooperation in economic exchange." Riset ini menemukan bahwa rasa syukur mampu mendorong kemurahan hati dan kerjasama sosial—bahkan terhadap orang asing—dalam konteks permainan ekonomi.
Jadi, ketika kita mendoakan atau bersyukur atas orang lain, kita sebenarnya memperkuat kepercayaan dan ikatan sosial dalam komunitas .
Nilai sederhana: ungkapan syukur atau doa bukan hanya ritual—ia memperkokoh komitmen moral antar manusia.
Praktik Doa untuk Pemimpin dan Rakyat di Zaman Modern
1. Doa Singkat di Awal Hari
Misal: "Ya Tuhan, beri hikmat bagi pemimpin negeriku. Jadikan aku juga sumber damai bagi mereka yang hidup dalam kesulitan."
2. Doa saat Berpikir Positif
Ketimbang mengeluh soal pajak atau macet, ubah arah doa menjadi: “Semoga mereka yang merancang kebijakan bisa didengar rakyat lebih jernih.”
3. Berdoa Saat Melihat Kepedulian Sosial
Saat melihat wajah lelah guru, atau anak mengamen di lampu merah, doakan: “Semoga mereka mendapatkan berkah hari ini.”
Tentu saja praktik ini akan disesuaikan dengan kepercayaan masing masing
Doa Tak Hanya untuk Jiwa, tapi Juga Kebersamaan
Menurut kajian psikologi positif, praktik bersyukur bukan hanya menguntungkan individu, tapi juga memperkuat ikatan sosial. Rasa syukur menurunkan isolasi emosional, meningkatkan empati, dan membangun rasa saling memiliki .
Ketika kita mendoakan baik pemimpin maupun rakyat, kita sejatinya memilih menjadi bagian dari kebersamaan—bukan sekadar penonton dalam sejarah, tetapi pelaku spiritual yang merawat benih solidaritas.
Penutup
Kebaikan Dimulai dari Langit dan Langsung ke Hati
Kapan terakhir kali kita mendoakan kebaikan untuk raja—atau pemimpin—dan orang-orang di sekitar kita? Doa dengan hati yang tulus adalah gerakan kecil yang bisa menumbuhkan ketulusan dan kedamaian sosial.
Lewat doa, kita bukan hanya meminta berkah, tetapi juga memperluas ruang empati. Dari doa itu terbentuk koneksi spiritual, dan dari koneksi itu lahir kebersamaan. Doa kita—senyata apa pun itu—adalah jembatan antara langit dan hati, antara pemimpin dan rakyat, antara kita dan mereka.
Referensi:
Doain raja biar sehat, kalau rakyat biar kuat… kuat bayar pajak 😅
BalasHapus