Madilog: Saat Logika Menantang Mistik di Tengah Bangsa yang Bingung


Pernahkah kamu membaca sebuah buku yang membuatmu berhenti sejenak, lalu bertanya: “Kenapa cara berpikir kita selama ini terasa kabur, tapi tetap kita pertahankan?” Begitulah kira-kira kesan pertama ketika membuka Madilog karya Tan Malaka.

Buku ini bukan sekadar bacaan sejarah atau filsafat. Ia adalah semacam tamparan lembut—atau justru keras—kepada masyarakat yang masih terjebak dalam pola pikir lama. Madilog, singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika, ditulis bukan untuk membuat pembaca pusing dengan istilah filsafat, tetapi lebih kepada mengguncang kesadaran.

Kenapa Madilog Muncul?

Tan Malaka mulai menulis buku ini di tengah kondisi bangsa Indonesia yang masih dipengaruhi kuat oleh takhayul, mistik, dan pola pikir tradisional yang kadang membuat masyarakat sulit maju. Kita bisa membayangkan, pada masa itu (awal abad ke-20), ilmu pengetahuan modern belum sepenuhnya akrab bagi orang Indonesia. Sementara bangsa sedang berjuang keluar dari penjajahan, cara berpikir rasional dan ilmiah justru masih dianggap asing.

Madilog hadir seperti “obat keras” bagi penyakit itu. Tan Malaka ingin masyarakat melepaskan diri dari belenggu mistik yang membatasi daya pikir. Ia menekankan pentingnya logika dan sains dalam membangun bangsa.

Isi yang Berat tapi Menggugah

Jujur saja, membaca Madilog tidak bisa sekali duduk. Kalimat-kalimatnya padat, banyak istilah filsafat, dan kadang memerlukan waktu untuk mencerna. Tapi di situlah letak keistimewaannya. Setiap halaman seakan memaksa kita berpikir: “Apakah aku benar-benar sudah logis dalam menilai sesuatu?”

Tan Malaka mengupas tiga hal utama:

1. Materialisme – bahwa realitas bisa dijelaskan melalui hal-hal nyata, bukan sekadar mitos atau dogma.


2. Dialektika – cara berpikir dinamis, melihat segala sesuatu sebagai proses yang selalu bergerak, berubah, dan berhubungan.


3. Logika – kemampuan bernalar secara runtut, tidak asal percaya hanya karena “katanya”.



Dengan tiga alat ini, Tan Malaka ingin membangun pola pikir masyarakat yang bebas dari kabut mistik. Ia tidak sedang menolak agama, tapi menolak cara berpikir yang membuat manusia berhenti kritis.

Relevansi Madilog Sekarang

Mungkin ada yang bertanya: “Apakah Madilog masih relevan di zaman internet dan AI sekarang?” Jawabannya: justru lebih relevan.

Hari ini, kita masih sering saja melihat berita bohong (hoaks) menyebar dengan cepat, teori konspirasi dipercaya banyak oleh orang, bahkan tak jarang keputusan hidup ditentukan oleh ramalan atau kata orang pintar. Bukankah itu bentuk mistik modern?

Madilog seakan berkata: “Gunakan logikamu, jangan asal telan mentah-mentah.” Pesan ini terasa sangat dekat dengan kondisi kita saat ini, ketika banjir informasi bisa membuat orang kebingungan membedakan fakta dan opini.

Gaya Menulis Tan Malaka

Meski cukup berat, sebenarnya Tan Malaka berusaha menulis dengan contoh-contoh konkret. Ia tidak hanya mencomot teori Barat, tapi juga mengaitkannya dengan kondisi masyarakat Indonesia. Itulah mengapa buku ini terasa lebih “lokal” dan membumi dibandingkan teks filsafat lainnya.

Kadang, ada bagian yang terasa emosional, seperti ia benar-benar sedang berbicara langsung kepada pembaca. Seolah Tan Malaka ingin meyakinkan kita: “Bangkitlah, berpikirlah, jangan lagi terjebak dalam belenggu mistik.”

Apa yang Bisa Dipetik dari Madilog?

Bagi pembaca masa kini, Madilog bisa menjadi semacam kompas berpikir. Tidak semua bagian harus disetujui, karena tentu konteks zaman Tan Malaka berbeda dengan sekarang. Tapi ada beberapa hal penting yang tetap bisa kita bawa pulang:

Berani berpikir kritis. Jangan langsung puas hanya dengan jawaban instan atau kepercayaan turun-temurun.

Mengedepankan ilmu pengetahuan. Bangsa tidak akan maju jika masyarakatnya masih lebih percaya pada rumor daripada riset.

Membaca ulang tradisi. Bukan berarti menolak tradisi, tapi menempatkannya dalam kerangka logis yang sehat.


Madilog sebagai “Obor Kecil”

Mungkin benar, Madilog tidak sering dibicarakan di ruang publik, apalagi dibandingkan novel populer. Namun, pengaruhnya diam-diam besar. Banyak aktivis, pemikir, bahkan mahasiswa yang menjadikan buku ini sebagai titik tolak untuk belajar berpikir lebih rasional.

Buku ini seperti sebuah obor kecil di tengah gelap gulita, yang tidak hanya menerangi jalan, tetapi juga menunjukkan betapa bahayanya kalau kita terus berjalan tanpa cahaya.


Penutup

Membaca Madilog memang membutuhkan kesabaran, tapi ia memberikan hadiah besar: kemampuan untuk melihat dunia dengan lebih jernih. Tan Malaka, melalui karyanya, seolah mengajak kita berdialog: “Apakah kamu mau terus hidup dalam kabut mistik, atau maukah melangkah dengan logika dan ilmu?”

Buku ini bukan sekadar teks filsafat, melainkan sebuah ajakan untuk berani berpikir. Dan mungkin, di tengah zaman yang semakin penuh kebisingan, pesan sederhana itu justru semakin penting.


Detail Buku

Penerbit Narasi

Tanggal Terbit 6 Mar 2014

ISBN 9786025792403

Halaman 560

Bahasa Indonesia

Komentar

  1. "Berat sih kayaknya baca madilog, tapi kalau bisa bikin cara pikir lebih jernih, worth it banget.”

    BalasHapus

Posting Komentar