Pembukaan
Di zaman ini, kekuasaan bukan hanya tentang aturan. Ia juga tentang algoritma. Tak sedikit pemimpin yang lebih sering muncul di linimasa TikTok dan Instagram ketimbang di gang sempit warganya.
Mereka bicara soal pembangunan, bercanda dengan rakyat, bahkan makan pecel di pinggir jalan—di depan kamera. Tapi, kita bertanya: apakah itu tanda kehadiran, atau sekadar tontonan?
Gubernur viral, katanya, adalah pemimpin milenial. Tapi benarkah ia dekat dengan rakyat, atau hanya pintar membangun citra?
Isi
Fenomena Gubernur Viral
Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan kemunculan figur-figur pemimpin daerah yang jadi selebriti digital. Salah satunya: Gubernur Jawa Barat, yang semasa menjabat menjadi pionir komunikasi publik lewat media sosial.
Ia membuat konten, menjawab komentar netizen, bahkan menari mengikuti tren. Rakyat menyukai itu. Mereka merasa gubernurnya "beda", "gaul", "tidak kaku".
Namun, dalam keramaian komentar yang menyebut “keren banget pak gubernur!”, tersembunyi pertanyaan sunyi: apakah semua itu benar-benar merakyat? Atau hanya strategi branding di tengah kekosongan empati?
Dunia maya adalah panggung, dan banyak pejabat memainkannya dengan baik. Tapi bagaimana kita menilai: antara pencitraan dan kenyataan?
Merakyat di Medsos vs Merakyat di Kehidupan
Ada dua bentuk “merakyat”:
1. Merakyat digital: ketika pemimpin menampilkan kehidupan sederhana, makan bareng warga, membuat vlog, dan aktif membalas komentar.
2. Merakyat nyata: ketika pemimpin hadir dalam musibah tanpa kamera, duduk di antara rakyat tanpa protokoler, mengerti penderitaan tanpa harus viral.
Gubernur viral kerap dinilai dari nomor satu. Ia mencitrakan kesederhanaan, tapi masih menyetujui anggaran ratusan juta untuk perjalanan dinas. Ia bisa berswafoto dengan pedagang kecil, tapi membiarkan harga bahan pokok naik tanpa solusi.
Apakah kamera bisa menggantikan kehadiran? Apakah viral bisa menggantikan keadilan?
Digitalisasi dan Harapan Rakyat
Rakyat sebenarnya tak salah bila senang punya gubernur yang humble dan nyambung. Setelah sekian lama dijejali birokrat kaku dan berjarak, pemimpin yang bisa bercanda dan tersenyum terasa menyegarkan.
Namun, di balik rasa suka itu, rakyat tetap menuntut kebijakan nyata. Harga terjangkau, pelayanan publik efisien, lapangan kerja luas, dan pendidikan terjangkau—itulah indikator keberhasilan, bukan jumlah likes.
Sayangnya, algoritma medsos sering menutupi hal-hal mendasar. Ketika pemimpin lebih fokus membuat konten daripada memeriksa dampak kebijakan, maka yang viral adalah personanya, bukan kerjanya.
Dalam jurnal “Social Media and Political Communication in Indonesia” oleh Tapsell (2018), disebutkan bahwa media sosial telah mengubah cara pemimpin berinteraksi dengan publik. Namun, komunikasi ini kadang lebih bersifat simbolik ketimbang substantif. Ia menciptakan kesan kedekatan, tapi belum tentu menghasilkan kebijakan partisipatif yang sesungguhnya.
Sebagian gubernur menyadari ini. Mereka mulai mengonversi popularitas menjadi partisipasi: membuka forum daring, menyapa warga melalui live streaming, menjadikan media sosial sebagai alat kontrol sosial. Tapi seberapa jauh itu efektif?
Simbol dan Citra dalam Sejarah Kepemimpinan
Jika kita mundur ke masa lalu, pemimpin besar selalu hadir bukan karena kata-kata manis, tapi karena pengorbanan nyata. Raja-raja bijak di masa klasik turun ke rakyat bukan untuk pencitraan, tapi karena rasa tanggung jawab.
Zaman telah berubah, tapi esensinya tetap: pemimpin bukan bintang film, melainkan penuntun jalan.
Medsos memang bisa menjadikan seorang gubernur tampak hangat. Tapi hanya pelayanan yang adil yang bisa membuat rakyat merasa dihormati.
Dalam jurnal “Political Branding and Image Management in a Digital Era” (Firmansyah & Febrianti, 2021), dijelaskan bahwa banyak pejabat kini membangun persona digital untuk memperoleh simpati. Sayangnya, jika tidak dibarengi dengan kehadiran di lapangan dan kebijakan nyata, branding itu justru bisa memperlebar jarak antara citra dan kenyataan.
Tantangan Jadi Gubernur Medsos
Popularitas bisa menjadi pisau bermata dua. Gubernur viral rentan dicap “terlalu santai”, “lebih sibuk bikin konten daripada bekerja”. Jika ia tak mampu menyeimbangkan performa media dengan kebijakan publik, maka rakyat akan kehilangan kepercayaan.
Gubernur viral juga dituntut transparan. Rakyat tahu mana yang asli, mana yang disusun tim kreatif. Ketika ada bencana, dan pemimpin tak datang tapi kontennya tetap tayang, maka kepercayaan pun luruh.
Sementara itu, pemimpin yang tenang dan tak viral pun belum tentu buruk. Karena di antara mereka ada yang bekerja dalam senyap, membangun sistem, dan memperbaiki birokrasi secara perlahan.
Maka kita bertanya lagi: apakah seorang gubernur harus viral untuk dianggap bekerja?
Refleksi: Antara Rakyat dan Layar
Dalam beberapa kasus, gubernur viral berhasil mendorong keterbukaan. Ia menjadikan sosial media sebagai kanal pengaduan cepat. Ia juga bisa menumbuhkan rasa percaya, terutama di kalangan anak muda.
Namun, jika semua kebijakan hanya dinarasikan dalam bentuk konten estetis, dan tak mampu menyentuh persoalan struktural, maka kita sedang menciptakan era pemimpin selebritas, bukan negarawan.
Negara butuh keduanya: kedekatan dan ketegasan. Keterjangkauan dan kebijakan. Bukan hanya story Instagram, tapi juga keberpihakan kepada rakyat kecil.
Penutup
Kini kita hidup dalam masa di mana pemimpin lebih mudah ditonton ketimbang didekati. Kamera bisa memperdekat jarak, tapi juga bisa menyamarkan realita.
Gubernur yang viral bisa jadi menyenangkan, menghibur, bahkan membangun harapan. Tapi jika itu hanya berhenti di tampilan, maka rakyat akan kembali kecewa.
Karena sejatinya, rakyat tak menuntut pemimpin yang terlihat baik, tapi yang benar-benar berbuat baik—meski tanpa konten.
Maka, jika engkau seorang gubernur, ingatlah: popularitas mungkin bisa dibeli, tapi kepercayaan rakyat harus dibangun dengan tulus dan terus-menerus.
REFERENSI JURNAL:
Komentar
Posting Komentar