Di masa lalu, tetesnya adalah doa yang terkabul, panen yang terjamin, dan keteduhan jiwa. Namun kini, di era beton, banjir, dan notifikasi digital, hujan sering kali hanya diingat sebagai bencana.
Apakah kita yang berubah, ataukah hujan yang kehilangan suci maknanya?
Hujan di Masa Silam: Simbol Kehidupan
Bagi peradaban kuno, hujan adalah sumber kehidupan. Bangsa Mesopotamia menyanjung Dewa Adad sebagai pemberi hujan; bangsa Jawa menunggu bulan Sapar dan Mulud sebagai penanda musim tanam. Hujan hadir sebagai jawaban dari langit—ketika tanah retak, sawah kering, dan doa-doa terangkat.
Tidak heran, setiap tetes hujan dipandang sebagai tanda kasih sayang Tuhan. Dalam masyarakat agraris, hujan adalah modal hidup, bukan sekadar fenomena alam. Ia menghadirkan kepastian bahwa esok masih ada nasi di meja, dan kehidupan bisa berlanjut dengan damai.
Baca juga
Hujan di Masa Modern: Bencana atau Berkah?
Kini, di tengah gedung pencakar langit dan aspal yang menutup tanah, hujan berubah menjadi problem. Setiap curahan deras sering diikuti notifikasi: banjir di mana-mana. Aliran air yang dulu diserap tanah kini memantul kembali, menghantam pemukiman padat, dan merendam ruang hidup manusia.
Bagi sebagian orang kota, hujan berarti macet berjam-jam, kerja yang terhambat, bahkan kerugian ekonomi. Dalam narasi publik, hujan perlahan digeser dari “berkah” menjadi “musibah.”
Namun, apakah hujan yang bersalah? Atau justru manusialah yang salah dalam mengatur ruang dan aliran hidupnya?
Hujan dan Psikologi Manusia
Menariknya, hujan tidak hanya menyentuh tanah, tetapi juga hati manusia. Banyak penelitian menunjukkan bahwa hujan memengaruhi suasana jiwa. Beberapa orang merasa tenang, teduh, dan reflektif ketika hujan turun. Namun sebagian lain merasa murung, tertekan, bahkan kehilangan semangat.
Kita bisa bertanya: mungkinkah hujan menjadi cermin, yang memantulkan keadaan batin kita sendiri?
Sebuah studi dalam Journal of Environmental Psychology menunjukkan bahwa paparan suara hujan dapat menurunkan tingkat stres dan kecemasan, terutama di lingkungan perkotaan yang penuh kebisingan (Van Praag et al., 2020). Hujan, dalam konteks ini, masih bisa menjadi healing, meski tubuh kita sudah jauh dari ladang dan sawah.
Teknologi dan Romantika Hujan
Di masa modern, hujan tidak lagi hanya dipandang secara agraris. Ia memasuki ruang seni, musik, dan digital. Lagu-lagu romantis menulis hujan sebagai metafora cinta; film menggambarkannya sebagai latar dramatis antara pertemuan dan perpisahan. Bahkan di media sosial, video sederhana tetesan hujan sering mendapat jutaan penonton—sebuah bukti bahwa manusia tetap haus akan keteduhan simbolis yang dibawanya.
Namun ironinya, di balik layar smartphone yang menayangkan hujan dengan indah, kita bisa lupa bahwa hujan nyata di luar sana sedang merendam rumah orang lain. Di sinilah paradoks modernitas: hujan bisa dinikmati sebagai estetika digital, sekaligus dibenci sebagai realitas sehari-hari.
Hujan, Lingkungan, dan Peradaban
Satu hal yang tak boleh dilupakan: hujan adalah bagian dari siklus alam yang tak pernah berubah. Manusialah yang mengubah kontur tanah, menebang hutan, menutup resapan, dan membiarkan air kehilangan jalan pulangnya.
Studi dalam Nature Climate Change mencatat bahwa urbanisasi dan perubahan iklim meningkatkan intensitas curah hujan ekstrem, memperbesar risiko banjir di kota-kota besar (Westra et al., 2014). Dengan kata lain, hujan bukan lagi sekadar “air dari langit,” melainkan indikator bagaimana manusia memperlakukan bumi.
Jika dulu hujan disambut dengan doa, mungkin kini ia datang membawa peringatan: bahwa bumi sedang menagih tanggung jawab kita.
Kembali Membaca Tetes Hujan
Pertanyaan yang tersisa adalah: apakah kita masih bisa menyebut hujan sebagai berkah?
Jawabannya mungkin ada di cara kita memperlakukan dunia.
Jika hujan jatuh di sawah, ia tetap menjadi berkah. Jika hujan jatuh di hutan, ia tetap menyuburkan kehidupan. Tapi ketika hujan jatuh di kota yang lupa menyisakan ruang hijau, ia berubah menjadi ancaman.
Artinya, bukan hujan yang kehilangan kesuciannya, melainkan kita yang kehilangan kebijaksanaan dalam membaca dan menyambutnya.
Penutup
Hujan tidak pernah berubah. Ia selalu datang sebagai bagian dari janji langit yang datang untuk memberi kehidupan. Yang berubah adalah cara kita menafsirkannya: dari doa menjadi keluhan, dari syukur menjadi cemas.
Mungkin sudah saatnya kita belajar kembali melihat hujan dengan hati, bukan hanya dengan kalkulasi kerugian. Karena di balik derasnya air, selalu ada pesan tersembunyi: bahwa kehidupan terus bergerak, dan kita diajak untuk menyesuaikan diri, bukan menyalahkan langit.
Apakah hujan masih berkah di masa modern? Jawabannya ada pada kita—pada pilihan apakah ingin menjadikannya musuh, atau kembali menerimanya sebagai sahabat lama yang datang dengan kasih sayang.
Referensi Jurnal
Kita orang modern lupa hujan itu penting karena ada keran air yang tinggal dibuka
BalasHapus