Pernahkah kita bertanya diam-diam:
“Apakah korupsi itu hanya milik para pejabat?”
Ataukah sebenarnya, kecenderungan melakukan itu tertanam dalam diri siapa
saja… hanya menunggu kesempatannya, ketika tiba masanya maka dilakukanlah
tindakan korupsi yang terkadang merugikan banyak pihak.
Di tengah kehidupan yang semakin cepat, licik, dan penuh jebakan manfaat
pribadi, garis atau perbedaan antara hak dan rakus sering kabur. Maka
pertanyaannya pun berubah: bukan lagi siapa yang korup — tetapi siapa yang
masih sadar untuk menolak mencuri ketika mereka bisa.
Isi
Korupsi bukan hanya tentang angka miliaran di kantor tinggi.
Bukan pula sekadar proyek fiktif yang katanya membangun atau anggaran siluman
yang dihabiskan untuk jalan jalan ke luar negeri. Ia bisa sesederhana seperti
mencuri waktu kerja, memanfaatkan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi,
atau bahkan menutup mata terhadap ketidakadilan — asalkan kita ikut
diuntungkan karenanya.
Lalu kita berkata, “Itu hal kecil.”
Tapi bukankah segala yang besar selalu lahir dari hal yang kecil?
Di masyarakat yang terbiasa untuk mengeksploitasi celah, godaan untuk “ambil
sedikit saja” terasa wajar— bahkan jadi norma diam-diam yang disukai dan
dimaklumi.
Mereka mencuri waktu, data, dan juga kesempatan… dan semua dianggap tak
seberapa selama tidak ketahuan.
Maka akal pun mahir meracik pembenaran:
“Aku juga butuh.”
“Yang lain juga begitu.”
“Kalau aku tidak ambil, aku yang rugi.”
Tapi benarkah itu kebutuhan… atau hanya nafsu yang diberi baju logika?
Banyak dari kita muak melihat korupsi di atas, namun lupa mencermati bentuknya
yang halus dalam kehidupan sehari-hari — menyalahkan pemimpin, tapi berkhianat
dalam tim kecil; mencaci aparat, tapi curang dalam antrean.
Apakah kita benar-benar membenci korupsi, atau hanya iri belum punya kuasanya?
Ada sebuah ungkapan tua:
“Korupsi bukan dimulai dari niat jahat, tapi dari kebaikan yang gagal dijaga.”
Memang, manusia bukan sepenuhnya jahat. Tapi kita bisa tersesat dalam
kebiasaan buruk.
Kita terperangkap dalam budaya meniru:
“Kalau dia saja ambil, kenapa aku tidak?”
Padahal, semakin banyak yang mencuri, bukan berarti mencuri jadi benar. Itu
hanya menunjukkan bahwa kebenaran telah ditinggalkan bersama.
Korupsi adalah penyakit sosial — namun bukan hanya penyakit seseorang.
Ia adalah epidemi nilai, menular dari ruang kerja ke rumah, dari layar kaca ke
hati, dari tawa ke rasa muak yang dalam.
Namun bukan berarti semua suka korupsi. Kita mungkin hanya terlalu lama diam
melihatnya.
Dan kadang — kelelahan menghadapi ketidakadilan membuat kita bertanya:
"Untuk apa jujur sendiri, ketika sistemnya sudah busuk?"
Tapi bukankah justru dalam sistem yang kotor, kejujuran paling terasa artinya?
Cahaya hanya berguna ketika malam telah datang.
Ada yang mengatakan, “Semua orang akan korup jika diberi kuasa.”
Tapi barangkali yang lebih tepat: “Semua orang diuji oleh kuasa, dan hanya
yang teguh yang tidak tenggelam.”
Penutup
Pertanyaannya kini bukan lagi:
“Apakah semua suka korupsi?”
Ini menjadi:
“Apakah kita masih berjuang untuk tidak menyukainya?”
Karena mungkin, godaan akan selalu datang. Namun kekuatan manusia adalah dalam
pilihan—tetap bersih ketika kotor menjadi biasa.
Kita mungkin bukan pahlawan besar. Cukup menolak bohong, menolak mencuri, dan
tidak menjadi bagian dari sistem yang menutup kebenaran.
Itu saja, di zaman ini, sudah sebuah keberanian.
Ketika banyak orang mencari alasan, kita bisa memilih untuk tetap benar.
Dan dari pilihan kecil itulah, lahirlah masa depan yang lebih bersih — atau
semakin gelap.
Referensi
1. Groenendijk et al. (2005) – Behavioral strategies for reducing
corruption: from regulation to choice architecture (Behavioural Public
Policy).
2. Wedell-Wedellsborg (2023) – Context Matters Less Than Leadership in
Preventing Unethical Behaviour in International Business (Journal of
Business Ethics).
sampai jumpa di opini lainnya dari
waduhmas
Korupsi itu udah kayak budaya. Yang enggak ikut, malah dianggap aneh. Miris banget.
BalasHapusEnggak semua suka korupsi, ada yang bilang itu cuma ‘tanda terima kasih’.
BalasHapusKayaknya kalau korupsi udah jadi hobi nasional, tinggal nunggu lombanya aja
BalasHapus