Pernahkah kita merenung, bagaimana mungkin sebuah perusahaan besar yang
pernah begitu jaya, akhirnya tumbang juga? Seperti kapal megah yang karam di
lautan tenang, kebangkrutan Sritex mengingatkan kita bahwa tak ada
kejayaan yang kebal terhadap gelombang zaman.
Pertanyaan pun muncul: apakah kita hanya sekadar penonton, atau ada
pelajaran yang bisa kita ambil dari reruntuhan ini?
Bukankah menarik, ketika kita melihat sebuah cerita ekonomi terasa seperti
drama kehidupan?
Kadang ia memukau, kadang ironis, kadang juga membuat kita tersenyum
pahit.
Seperti baju seragam sekolah yang setiap hari kita pakai, ternyata
benangnya pun punya cerita panjang—dan kini benang itu putus di tengah
jalan.
Dari Puncak Kejayaan ke Jurang Bangkrut
PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) bukan sekadar pabrik tekstil biasa. Ia
adalah simbol kebanggaan industri tekstil Indonesia, dikenal sampai ke
kancah internasional. Seragam militer berbagai negara pernah dijahit di
Solo, kain-kainnya dikirim hingga ke Eropa. Sritex pernah jadi
legenda.
Namun sejarah sering mengajarkan kita bahwa tidak ada kejayaan yang abadi.
Krisis likuiditas, beban utang yang membengkak, dan perubahan pola konsumsi
global menjadi badai yang tak bisa dihindari.
Saat pandemi melanda, permintaan seragam dan tekstil menurun drastis,
sementara mesin-mesin produksi tetap berputar menelan biaya. Bagaikan
seorang pelari maraton yang kehabisan napas, perusahaan ini akhirnya jatuh
terhuyung-huyung.
Jika dilihat secara sosial, bangkrutnya Sritex bukan hanya urusan keuangan.
Ia juga membawa gelombang PHK, keresahan di kalangan pekerja, dan luka di
hati sebuah kota yang identitasnya melekat pada industri tekstil. Layaknya
kain yang robek, masyarakat pun ikut merasakan sobekannya.
Analogi: Kain, Benang, dan Kesabaran
Kehidupan perusahaan mirip kain yang ditenun dari ribuan benang. Setiap
keputusan, setiap strategi bisnis, ibarat benang yang ditarik untuk
membentuk pola. Sritex pernah menenun kain kejayaan dengan motif indah:
ekspansi global, pabrik raksasa, dan reputasi internasional.
Namun ketika benang utang ditarik terlalu kencang, pola kain menjadi rapuh.
Ketika benang inovasi dibiarkan longgar, kain pun berlubang.
Bukankah sama seperti hidup kita? Jika kita terlalu serakah mengambil
beban, atau malas memperbarui diri, maka tenunan itu cepat atau lambat akan
rusak.
Sejarah ekonomi dunia juga penuh kisah serupa. Dari perusahaan baja di
Amerika hingga raksasa teknologi di Asia, banyak yang akhirnya jatuh karena
gagal beradaptasi. Mereka seperti kapal yang enggan memperbaiki layar,
padahal angin zaman selalu berubah.
Pelajaran untuk Kita
Dari Sritex, kita bisa memetik beberapa hikmah.
Pertama, kejayaan bukanlah jaminan untuk bertahan. Justru ketika berada di
puncak, kewaspadaan harus lebih tinggi.
Kedua, utang memang bisa menjadi bahan bakar pertumbuhan, tetapi juga bisa
menjadi bara yang membakar.
Ketiga, inovasi adalah nafas—tanpa itu, perusahaan akan kehabisan
oksigen.
Dan yang paling penting, perusahaan bukanlah sekadar angka dalam laporan
keuangan.
Ia adalah jantung dari ribuan pekerja dan keluarganya. Saat jantung itu
berhenti, kehidupan mereka ikut terguncang.
Apakah ini berarti kita harus takut pada perubahan? Tidak. Justru inilah
kesempatan untuk merenung. Bagaimana kita, sebagai individu maupun bangsa,
bisa belajar menenun ulang kain kehidupan dengan lebih hati-hati.
Penutup: Renungan di Balik Reruntuhan
Sritex mungkin tumbang, tapi kisahnya masih hidup dalam benang-benang
pelajaran. Kita bisa memilih untuk sekadar menatap puing, atau menjadikannya
cermin bagi perjalanan kita sendiri.
Mungkin, dalam diamnya mesin-mesin pabrik yang berhenti berputar itu, ada
bisikan halus:
Jangan pernah lupa bahwa kain kehidupan harus terus ditenun, dengan
kesabaran, kewaspadaan, dan keberanian untuk beradaptasi.
Dan bukankah hidup ini, pada akhirnya, hanyalah soal menenun benang-benang
kecil menjadi kain yang lebih kuat?
Referensi
Banyak yang bilang karena miss managemen tapi menurut gua yang salah itu managemen nya korup banyak buktinya kok
BalasHapus