Pernahkah kita coba merenung: mengapa di dinding pabrik, kantor, atau proyek pembangunan selalu terpampang poster besar bertuliskan “Safety First”?
Namun, di baliknya, pekerja tetap pulang dengan luka, kelelahan, bahkan ada yang tidak pernah kembali. Mengapa jargon keselamatan terdengar begitu lantang, namun praktiknya begitu rapuh—seperti cat tipis yang mudah luntur tertelan hujan?
Keselamatan yang Dipajang, Namun Tak Dijalankan
Banyak perusahaan gemar memamerkan simbol-simbol keselamatan: helm bersinar di kepala direksi saat inspeksi, spanduk “Zero Accident”, foto bekerja di laporan tahunan. Tapi begitu kamera padam, kenyataan bisa berbeda. Prosedur keselamatan seolah menjadi drama: panggung ada, naskah sudah disiapkan, namun pemainnya dibiarkan tanpa perlindungan nyata.
Sebuah riset tentang Safety, menyoroti bahwa budaya keselamatan dibentuk melalui praktik sehari-hari—di mana niat baik bertemu realita produksi—serta peran penting struktur organisasi dan kepemimpinan dalam memengaruhi budaya ini. Artinya, keselamatan tidak lahir dari simbol, tetapi dari tindakan nyata .
Standar Setengah Hati—Antara Praktik dan Formalitas
Ada ironi. Perusahaan ingin sekali terlihat patuh pada aturan, tapi enggan menyediakan sumber daya memadai. APD mungkin dibagikan, tapi kualitasnya tipis dan cepat sekali rusak; pelatihan diadakan, tapi hanya sekali-dua kali, sekadar memenuhi audit.
Penelitian di MDPI juga menunjukkan hal sama bahwa kompetensi manajer memainkan peran vital: kemampuan mereka dalam menerapkan budaya keselamatan dan mengurangi tekanan pekerjaan fisik sangat memengaruhi perilaku aman pekerja.
Produk evaluasi semacam ini jarang muncul di poster besar atau slogan tebal—justru ditemukan dalam tindakan sehari-hari yang konsisten.
Keselamatan: Retorika atau Realitas?
Apakah perusahaan itu benar-benar berkata, “Kami peduli pada keselamatan kalian”? Atau cuma untuk melindungi citra? Ketika pekerja berjalan di atas tali rapuh, dan tepuk tangan tentang “komitmen keselamatan” hanya bergema di ruang rapat ber-AC, manusia sekadar dipakai sebagai angka dalam grafik.
Faktanya, studi tentang budaya dan iklim keselamatan menyoroti bahwa meski aturan dan prosedur disampaikan, sering kali aturan sulit diaplikasikan. Bahkan di sektor konstruksi Indonesia, pekerja merasa tidak memiliki kekuatan untuk melaporkan situasi berbahaya karena struktur budaya dan hierarki .
Bayangan di Balik Spanduk
Poster “Utamakan Keselamatan” bisa jadi hanya bayangan tipis. Bayangan yang menutup kenyataan pahit:
Pekerja lembur tanpa istirahat cukup, alat pengaman dibeli murah, dan laporan kecelakaan dimanipulasi agar grafik terlihat bagus.
Setiap luka, keringat, dan nyawa bukan sekadar angka—itu adalah cerita manusia yang dikorbankan demi efisiensi.
Ajakan Halus untuk Merenung
Pertanyaannya bukan lagi
“Apakah keselamatan diterapkan?”,
tapi
"Apakah kita menempatkan manusia sebagai pusat?”
Karena keselamatan tidak lahir dari spanduk atau rapat protokoler, melainkan dari kesediaan menempatkan martabat manusia di atas keuntungan sesaat.
Suatu hari jika spanduk itu memudar, semoga kepedulian kita tak ikut memudar. Sebab tidak ada jargon lebih mulia daripada melindungi kehidupan manusia.
Referensi
memang seringya begini maunya aman tapi tidak dimodali ketika ada ide hanya dianggap tidak penting jadilah keselamatan kerja cuma omong kosong
BalasHapusKeselamatan kerja itu nyata kok… nyatanya cuma ada di banner depan kantor 🤭🤭🤭🤭🤭🤭🤭
BalasHapusSelamat kerja sih iya, selamat pulang belum tentu.
BalasHapus