Pernahkah kita bertanya-tanya, mengapa seseorang yang dulu sederhana dan penuh
perhatian tiba-tiba berubah setelah berada di puncak kuasa? Seperti pohon yang
semakin tinggi dan daunnya tak lagi menyentuh tanah
Kekuasaan sering membuat manusia lupa pada akar tempatnya bertumbuh. Aneh
ya—kita sering merasa cukup bijak saat mengkritik dari luar, tapi begitu
sedikit saja merasakan rasa “berkuasa”, lidah bisa jadi tajam dan mata mudah
memalingkan pandangan.
Lucunya, bahkan di lingkup sekecil grup WhatsApp keluarga, admin saja kadang
sudah merasa seperti presiden.
Baca juga
Isi
Kekuasaan itu seperti api: ia bisa memberi cahaya dan kehangatan, tapi juga
mampu membakar bila tak dijaga. Banyak pemimpin dalam sejarah lahir dengan
janji-janji indah, tapi akhirnya terjerat dalam jebakan ilusi.
Napoleon
yang dulu mengangkat semangat republik, akhirnya menobatkan diri sebagai
kaisar. Di Nusantara, kita melihat figur-figur politik yang dulu dielu-elukan
karena sederhana, namun ketika kursi empuk dan lampu sorot menyinari, sikapnya
berubah menjadi jauh dari rakyat.
Sosiolog kerap menyebut fenomena ini sebagai hubris syndrome—yakni perubahan
psikologis saat seseorang memperoleh kekuasaan, sehingga ia mulai percaya
dirinya lebih tahu segalanya. Seperti cermin yang terlalu lama dipandangi,
akhirnya bayangan diri dianggap lebih nyata daripada wajah asli.
Namun kekuasaan tak hanya soal presiden, raja, atau pejabat tinggi. Dalam
kehidupan sehari-hari, kita pun sering mengalaminya.
Seorang atasan kantor yang dulu humble, bisa saja berubah jadi tiran kecil
setelah dipromosikan. Bahkan anak kecil yang diberi hak memegang remote TV
sering lupa bahwa ia tak sendirian di ruang keluarga.
Jadi, mungkin bukan kekuasaan yang jahat—tetapi cara manusia menanggungnya
yang membuat lupa.
Kekuasaan membuat orang lupa karena ia menawarkan rasa kendali, dan kendali
itu memabukkan. Ada sensasi “aku bisa” yang membuat hati meninggalkan “aku
harus”.
Padahal, sejarah juga mencatat bahwa mereka yang mampu tetap rendah hati di
tengah kuasa justru dikenang lebih panjang. Lihat saja sosok Khalifah Umar bin
Khattab yang memilih tidur di bawah pohon tanpa pengawal, atau Nelson Mandela
yang setelah berkuasa masih tetap sederhana dalam keseharian.
Pertanyaannya: mengapa sebagian bisa tetap waras, sebagian lagi terseret lupa?
Mungkin jawabannya ada pada kesadaran bahwa kekuasaan hanyalah titipan, bukan
milik. Sama seperti hujan, ia turun sementara lalu pergi. Bila kita terlalu
percaya itu abadi, kita akan lupa bahwa langit punya giliran mendung dan
terang.
Baca juga
Penutup
Jadi, ketika kita melihat kekuasaan membuat manusia lupa, jangan buru-buru
menunjuk orang lain.
Lihat dulu ke diri: adakah saat kita juga lupa pada akar hanya karena memegang
sedikit kuasa?
Kekuasaan bisa jadi pengingat, bisa pula jadi penghapus. Dan mungkin,
satu-satunya cara agar tidak benar-benar lupa adalah terus menunduk, meski
berada di puncak.
Karena pada akhirnya, pohon yang menjulang tinggi pun tetap membutuhkan akar
di tanah.
Referensi:
Begitu duduk di kursi, langsung lupa pernah antre beras
BalasHapusBiasalah, udah dapet kuasa pikirannya ke rekening sendiri
BalasHapus