Standar Moral Sudah Berubah?




Pernahkah kita bertanya, di manakah batas antara baik dan buruk itu berdiri?

Apakah ia kokoh seperti tembok batu, ataukah hanyalah garis pasir yang mudah dihapus ombak zaman?


Di abad ke-18, orang-orang berbicara tentang kehormatan, kesopanan, dan rasa malu seperti berbicara tentang udara kokoh, mutlak dan tak tergoyahkan. Tetapi kini, kita di abad ke-21, kita menyaksikan dunia yang terasa jauh berbeda. Standar moral seolah menari di atas panggung global, berganti kostum mengikuti nada perubahan.

Apakah ini kemajuan atau sekadar penyamaran?

Isi

1. Abad ke-18: Moralitas yang Dipahat dalam Batu

Abad Pencerahan melahirkan filsuf-filsuf seperti Immanuel Kant dan Jean-Jacques Rousseau. Di masa itu, moralitas mulai dipisahkan dari dominasi gereja, tetapi tetap berpijak pada gagasan universal: kejujuran, kewajiban, dan kehormatan. Kant memperkenalkan categorical imperative — ajakan untuk bertindak seolah prinsip kita dapat menjadi hukum umum bagi seluruh manusia.


Nilai moral waktu itu seperti kontrak sosial yang jelas: siapa melanggarnya akan kehilangan kehormatan. Mengingkari janji bukan sekadar salah secara pribadi, tetapi juga menghancurkan reputasi keluarga. Dalam masyarakat yang lebih kecil dan saling terhubung, sanksi sosial menjadi alat penegak moral yang sangat efektif.

2. Abad ke-19: Moralitas di Tengah Revolusi Industri

Ketika mesin-mesin mulai merangsek masuk di Eropa dan Amerika, nilai moral juga mulai diuji. Urbanisasi membawa orang ke kota, jauh dari komunitas kecil yang dulu mengawasi perilaku mereka. Keterikatan sosial melemah, dan moralitas perlahan menjadi lebih personal.

Tetapi, moral publik tetap kental: etos kerja keras, kesopanan dalam berpakaian, dan kontrol diri masih dianggap sebagai ukuran kehormatan. Namun di balik itu, muncul kritik terhadap kemunafikan — banyak yang memegang teguh moral di depan umum, tapi melanggarnya di balik pintu tertutup.

3. Abad ke-20: Guncangan dan Perubahan Cepat

Perang Dunia, gerakan hak sipil, dan kebangkitan feminisme mengubah wajah moralitas. Di satu sisi, nilai-nilai tradisional seperti loyalitas terhadap negara dan keluarga masih dihargai. Di sisi lain, muncul gelombang relativisme moral: yaitu pikiran apa yang benar bagi satu budaya belum tentu benar bagi yang lain.

Teknologi media massa mulai membentuk persepsi moral kolektif. Skandal yang dulu tersembunyi kini menjadi berita nasional. Dan untuk pertama kalinya, generasi muda berani mempertanyakan moralitas orang tua mereka secara terbuka.

4. Abad ke-21: Moralitas di Era Digital

Kini, moralitas bergerak di kecepatan internet. Media sosial menciptakan “moralitas real-time” — setiap tindakan bisa dinilai, diabadikan, dan dihakimi oleh jutaan orang dalam hitungan detik.
Fenomena ini menciptakan paradoks: kita lebih sensitif terhadap isu keadilan sosial, diskriminasi, dan hak individu, tetapi juga lebih cepat menghakimi tanpa konteks.

World Values Survey menunjukkan tren global bergerak dari nilai tradisional menuju nilai sekuler dan self-expression. Penghormatan terhadap otoritas menurun, digantikan oleh penekanan pada kebebasan personal dan otonomi individu.

5. Perubahan yang Nyata atau Sekadar Ilusi?

Studi longitudinal dari Proceedings of the National Academy of Sciences (2023) menemukan bahwa meskipun banyak orang yang merasa moralitas merosot, mereka tetap merasa perilaku moral sehari-hari seperti menolong orang asing — relatif stabil selama puluhan tahun.

Perasaan “kemerosotan moral” seringkali lahir karena kita membandingkan masa kini dengan versi masa lalu yang sudah tersaring oleh nostalgia.

6. Tantangan Moralitas Modern

Di tahun 2025, kita menghadapi dilema baru:

AI yang bisa membuat keputusan moral tanpa empati manusia.

Budaya cancel yang menegakkan keadilan sekaligus menghapus kesempatan kedua.

Individualisme yang memberi kebebasan namun juga menciptakan keterasingan.


Penutup

Moralitas, ternyata, bukan batu karang yang kaku. Ia lebih mirip sungai — mengalir, membentuk aliran air yang baru, namun tetap membawa air dari mata air yang sama. Dari abad ke-18 hingga hari ini, yang berubah bukan hanya aturan, tetapi juga cara kita memaknainya.

Mungkin pertanyaannya bukan lagi “apakah standar moral sudah berubah?” tetapi “apakah kita siap menjadi penjaga moral di zaman yang terus berubah ini?” Karena di setiap era, garis di pasir itu akan selalu tergambar ulang… dan tugas kitalah untuk memastikan ia tetap mengarah pada kemanusiaan.


Referensi Jurnal & Sumber Ilmiah








Komentar

  1. Dulu dosa disembunyikan, sekarang dipamerkan sambil minta like

    BalasHapus

Posting Komentar