Mengapa Mereka Terdiam Saat Rakyat digilas?





Pernahkah kau menyaksikan suatu adegan yang bagi beberapa orang hanya sekadar berita cepat—lalu hilang—tetapi buat yang lain menjadi luka yang tak kunjung kering?

Kita tertawa kecil melihat meme, lalu menutup layar; dan di saat yang sama ada tubuh manusia yang tergilas, keluarga yang menangis, dan pertanyaan yang tetap menggantung:

Bagaimana mungkin teriakan itu tak sampai ke telinga yang berkuasa? Sedikit humor pahit: mungkin perut kenyang memang bisa mematikan telinga—tapi apakah itu cukup alasan?


Isi

Ada kalimat purba yang sering disalah artikan: pemimpin yang bijak membuat rakyat cukup kenyang sehingga mereka tak mengamuk.

Gagasan ini mengingatkan kita pada logika Machiavelli—bahwa menjaga stabilitas kerap melibatkan manuver agar publik tetap tenang.

Namun kenyataan terkadang lebih kejam: ketika rakyat tak lagi hanya diam karena kenyang, melainkan karena tak dipercaya ada keadilan, teriakan mereka bukan hanya tidak menggoyang istana—tetapi bahkan tak mendapat jawaban empati.

Ide ini bukan sekadar tafsir; ia masuk ranah moral-politik sejak abad-abad lalu. 

Terjadi sebuah insiden tragis yang memantik kemarahan publik: seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas setelah dilindas kendaraan taktis Brimob saat aksi di sekitar gedung DPR.

Video dan laporan media membuat sejenak hening yang berubah menjadi gelombang protes di banyak kota. Kasus ini menjadi simbol; bukan hanya tentang satu nyawa, tetapi tentang rasa — apakah nyawa rakyat punya bobot yang sama dengan kenyamanan birokrasi? 

Publik bereaksi bukan hanya karena kematian itu — melainkan karena persepsi: lembaga yang mestinya menjaga justru menjadi pemicu; penguasa yang mestinya memberi sinyal keprihatinan terlihat lamban atau memilih bahasa ‘menenangkan’ ketimbang pengakuan dan tindakan transparan.

Pemerintah menyatakan akan mengusut dan menindak, memanggil aparat terkait, dan menyerukan ketenangan — tetapi kata-kata itu seringkali tak cukup menghapus bekas darah di ban dan di jalan, atau rasa duka keluarga yang ditinggalkan.

Dalam politik modern, respons simbolik tanpa akuntabilitas nyata mudah sekali berubah menjadi sumber api baru. 

Dari sisi sosiologi dan studi politik, ada mekanisme yang menjelaskan mengapa suara rakyat bisa tenggelam:

Selain tenaga represif, ada juga masalah representasi dan ketidakpercayaan. Ketika institusi publik dianggap tak responsif, warga memilih berbagai cara untuk didengar—dari unjuk rasa di jalan sampai viral di dunia maya.

Ada juga teori tentang “spiral of silence” yang menjelaskan bagaimana tekanan sosial dan rasa takut isolasi membuat sebagian orang memilih bungkam, sementara suara paling keras lah yang tampak mewakili.

Ketika platform publik—media, lembaga pengawas, maupun peradilan—tidak bekerja secara kredibel, jurang antara suara dan respons semakin melebar. 

Kita bisa menengok sejarah: banyak rezim yang bertahan lama bukan hanya karena memberi makan, tetapi karena berhasil mengalihkan perhatian, membentuk narasi, atau menumpas pembangkangan sebelum berkembang menjadi ancaman struktural.

Tetapi ada juga pemimpin yang dipandang berjasa karena kemampuan mereka mendengar dan memperbaiki — bukti bahwa pilihan etika masih mungkin di antara strategi kekuasaan.

Pilihan itu menentukan apakah bangsa membangun kembali kepercayaan, atau terus menumpuk amarah yang suatu saat akan meledak.



Penutup

Jadi, ketika kita melihat mereka teriak namun tak didengar — itu bukan hanya soal volume.

Ia soal struktur: siapa yang memutus jalur suara, siapa yang menyingkap atau menutup fakta, dan siapa yang berpaling meski ada darah di jalan.

Kritik ini bukan sekadar tudingan; ini ajakan agar kita semua—warga, pers, dan lembaga—tidak membiarkan suara ini menjadi abu.

Mungkin tak ada jawaban final. Namun ada tugas yang sederhana dan abadi: menuntut transparansi, menegakkan akuntabilitas, dan memastikan bahwa ketika ada yang tergilas, negara tidak hanya mengucap duka tetapi menunjukkan kerja—nyata, terbuka, dan adil.

Biarkan gema itu terus bergaung sampai akar permasalahan dibersihkan, bukan disapu di bawah karpet.


Referensi dan berita penting.

Laporan berita dan liputan insiden: Detik — Sosok Affan Kurniawan, Driver Ojol yang Tewas Dilindas Rantis Brimob.

Liputan internasional / konteks protes: Associated Press — Tensions soar across Indonesia as protests against police erupt.

Laporan terkait respons resmi dan investigasi: Financial Times — Indonesia's president calls for calm as protests mount. 

Studi tentang polisi sebagai alat struktural dan kekecewaan publik : Wendel, M. L. (2022). “Their help is not helping”: Policing as a Tool of Structural. 

Kajian teoretis tentang spiral of silence dan efeknya pada ekspresi publik (open access): Vasist, P. N., et al. (2023). The Polarizing Impact of Political Disinformation and Hate. 

Komentar

  1. Polisi bukan pelindung, malah jadi pelindas.

    BalasHapus
  2. Mereka yang digaji rakyat, justru injak rakyat.”

    BalasHapus
  3. Kasian jadi rakyat enakan jadi pejabat selalu benar

    BalasHapus

Posting Komentar