Bayangkan sebuah malam sunyi anda sendirian, dan otak bertanya pada hati
dengan lirih: apakah kemalasanku itu dosa, atau sekadar gema dari takdir
yang sudah tertulis? Bisakah kita bertanya sedalam itu tanpa menuding siapa
pun?
Isi
Mari mundur sejenak ke sejarah gagasan: banyak tradisi religi—Yudaisme,
Kristen, Islam—telah lama bercumbu dengan pertanyaan ini: apakah hidup manusia
dikendalikan oleh takdir, atau kita dianugerahi kebebasan memilih?
Dalam tulisan Free Will and Predestination: An Overview, ketegangan ini
dijabarkan dengan lembut: predestinasi tak harus dipahami sebagai fatalisme,
sebab kebebasan, dalam arti tidak terkekang oleh paksaan, tetap bisa ada meski
dalam kerangka ketetapan ilahi .
Bayangkan sekolah Mu‘tazilah dalam Islam yang menolak gagasan kepastian
mutlak—mereka memprovokasi ide bahwa manusia memikul tanggung jawab moral atas
pilihan mereka. Seakan berkata kepada kita, “Kalau segalanya sudah ditetapkan,
mengapa ada hukuman atau pujian?”
Laluan sejarah menyalip ke era Reformasi di Barat: Luther dengan lugas
menyatakan bahwa kehendak manusia tertawan oleh dosa, tak punya kekuatan
menggapai Tuhan sendiri—hanya anugerah semata yang membebaskan.
Sementara itu, Erasmus menawarkan analogi astronom yang tahu gerhana akan
datang—pengetahuannya tidak menciptakan gerhana itu. Begitu pula menurut
Erasmus, takdir tidak mencabut ruang nalar dan moral dalam diri manusia.
Dalam lanskap era modern, kajian ilmiah turut terselip—sebuah preprint di
arXiv menantang kerangka klasik determinis dalam debat kehendak bebas.
Alih-alih terjebak dalam dikotomi “compatibilist vs incompatibilist”, penulis
mengusulkan pandangan indeterministik yang lebih beresonansi dengan gejolak
realitas fisika kontemporer.
Kebebasan, disarankan model itu, mungkin bukan ilusi—melainkan muncul sebagai
bentuk spontan dalam alam semesta yang tak sepenuhnya deterministik.
Kita, sibuk menuding malas sebagai cermin moral yang murahan—padahal bisa jadi
itu justru lukisan kita yang terkoyak oleh sejarah gagasan: kalau takdir
berkuasa, usaha pun terasa sia-sia. Malas pun bukan dosa—melainkan bisikan
halus dari hati yang sedang bertanya.
“apa artinya berlari, bila semua sudah ditetapkan?”
Jika agama memandang segala sesuatu sudah tertulis, dongeng ini bisa jadi alat
refleksi—bukan tameng bagi kelalaian, tapi kaca untuk menghadapkan kita pada
pertanyaan: “Apakah aku hanya boneka dalam lakon besar, atau bagian yang
bermakna dari cerita itu?”
Baca juga Apa itu keadilan
Penutup
Biarkan malam ini berpulang kepada kita: apakah malas itu dosa, atau hanya
bisik lembut takdir di telinga?
Tanpa menutup pintu harapan, marilah kita bertanya, bukan untuk menjatuhkan
kesimpulan, tapi untuk menyadari bahwa keraguan sering kali adalah ruang di
mana keinginan dan tanggung jawab berpadu seperti melodi dalam sunyi.
Referensi
Free Will and Predestination: An Overview. Encyclopedia of Religion. Memberi
gambaran lintas tradisi tentang hubungan antara predestinasi dan
kebebasan.
Artikel tentang Mu‘tazilah dan Qadariyah yang merespons dengan gagah: manusia
tidak sekadar boneka takdir.
Bahasan Luther dan Bahasan Erasmus—kontras yang menggugat secara historis
tentang takdir, kehendak bebas, dan moralitas manusia.
Luther
Kajian kontemporer dalam arXiv: mempertanyakan determinisme dan menata ulang
debat kehendak bebas dengan pendekatan ilmiah.
Puisi akhir bukan penghakiman, hanya gerbang ke emosi yang lebih dalam:
"Malas bukanlah api dosa, tapi bisikan teduh dari jiwa yang jenuh menari dalam
takdir—apakah kamu masih bernyawa, atau hanya bernafas dalam naskah?”
Semoga ini mengalir merasuk, membuka ruangan hati untuk berbicara lagi—tentang
usaha, kemunduran, harapan, dan tetap:
Rasa ingin tahu tentang apa yang sebenarnya ‘kita’ dalam cerita ini.
Komentar
Posting Komentar