Apakah Teknologi di Tangan Membawa Kemajuan Intrapersonal?


Pernahkah kita bertanya…

Di tengah layar yang tak pernah padam, notifikasi yang bersahutan seperti detak waktu baru, dan jari-jari yang lincah menjelajah dunia — apakah hati kita juga ikut bergerak ke dalam?
Atau justru semakin diam, menyendiri, perlahan hilang?

Di era ketika semua informasi tersedia dalam sekejap, ketika satu sentuhan jari bisa menghubungkan kita ke berbagai belahan dunia… apakah kita semakin mengenal dunia dalam diri kita sendiri?

Teknologi adalah anugerah.

Ia memendekkan jarak, mempercepat waktu, dan mempermudah kerja. Dalam sekejap, kita bisa belajar banyak hal, mengenal budaya lain, membangun usaha, atau memperjuangkan suara yang selama ini tak terdengar.

Teknologi digital—gadget, internet, media sosial—adalah bagian dari kemajuan manusia yang tak bisa dibantah.

Namun, pertanyaan penting yang mulai timbul di sela-sela kesibukan digital adalah:
Apakah semua ini juga membawa kita pada kemajuan batin?

Apakah teknologi di tangan membuat kita semakin cerdas dalam mengenali diri, atau justru semakin jauh dari makna hidup yang sejati?


Isi

Apa Kata Ilmu Tentang Diri dan Layar?

Sebuah riset dari Journal of Personality and Individual Differences (2021) menyebutkan bahwa penggunaan media sosial secara berlebihan berkorelasi negatif dengan kesadaran diri.

Mereka yang menghabiskan waktu terlalu lama di dunia digital cenderung mengalami penurunan kapasitas refleksi, kesulitan mengolah emosi, dan sering kehilangan arah nilai dalam hidupnya.

Dalam kata lain: semakin banyak dunia luar yang kita akses, semakin sulit kita menelisik dunia dalam.
Karena kita sibuk melihat kehidupan orang lain — dan lupa menengok isi hati sendiri.

Namun, riset lain dari jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking (2020) memberi pandangan yang berbeda.

Teknologi digital juga bisa menjadi alat pengembangan diri, jika digunakan dengan sadar dan terarah. Aplikasi journaling, meditasi, podcast reflektif, atau komunitas daring yang sehat secara psikologis terbukti membantu pengguna memperkuat keterampilan intrapersonal mereka.


Lalu, Apa yang Salah? Teknologinya, atau Cara Kita Menggunakannya?

Kita tak bisa menyalahkan teknologi sepenuhnya. Sama seperti pisau, teknologi adalah alat — bisa digunakan untuk memotong roti atau melukai. Pilihan itu ada di tangan pemiliknya.

Maka tanya berikutnya:
Apakah kita menggenggam teknologi dengan kesadaran, atau hanya sebagai pelarian dari kesepian yang tak ingin diakui?

Banyak dari kita yang tanpa sadar menjadi hamba dari notifikasi, terus menggeser layar bukan karena butuh, tapi karena takut diam. Kita lebih cepat membuka aplikasi sosial daripada membuka percakapan batin. Kita tahu trending topic hari ini, tapi tak tahu perasaan yang sedang kita rasakan.

Semua ini bukan soal moralitas.
Ini soal arah.

Apakah teknologi ini membawa kita semakin dekat pada utuhnya jiwa, atau hanya sibuk membangun citra tanpa sebuah makna?


Refleksi: Ketika Layar Jadi Cermin atau Topeng

Teknologi adalah cermin, tempat kita bercermin, menulis, merekam pikiran, belajar memahami diri, dan merawat kejujuran batin. Tapi ia juga bisa menjadi topeng, tempat kita menyembunyikan luka, menciptakan persona, dan menjauh dari ketelanjangan batin.

Pertanyaannya bukan pada berapa lama kita bisa online.
Pertanyaannya: apakah setiap jam itu mendekatkan kita pada diri sendiri?

Betapa banyak yang hari ini merasa asing di dalam dirinya. Ia bisa bicara panjang di ruang publik, tapi gugup ketika harus menulis satu kalimat jujur tentang dirinya.
Ia bisa menyampaikan opini lantang, tapi tak tahu alasan di balik kemarahan atau kesedihannya sendiri.

Teknologi yang kita pegang bisa membantu menyembuhkan — jika digunakan sebagai alat refleksi. Tapi bila hanya jadi tempat pelarian dari pertanyaan-pertanyaan penting, maka perlahan ia menjadi tembok, bukan jendela.


Apakah Kita Siap Menyalakan Cahaya ke Dalam?

Di dunia yang penuh pencitraan, suara hati jadi terasa asing.
Kita lebih sering mendengar suara dunia, suara algoritma, suara penilaian. Tapi suara paling jujur justru terpendam di ruang paling sepi: dalam diri kita sendiri.

Teknologi bukan lawan kesadaran.
Ia bisa menjadi jembatan, alat, sahabat — jika kita mau memperlakukannya seperti itu.
Ia bisa menjadi tempat menyusun ulang puing, menyelami luka, menuliskan puisi, atau mencatat renungan di ujung malam.

Namun semua itu kembali pada satu niat:
Apakah kita ingin benar-benar mengenal diri sendiri, atau hanya ingin dikenal oleh orang lain?



Penutup

Zaman tak bisa dihentikan. Teknologi akan terus berkembang.
Tapi kita punya pilihan:
Apakah kita ingin tumbuh hanya ke luar, atau juga ke dalam?
Apakah tangan kita menggenggam alat, atau sedang digenggam oleh alat?

Jika dunia luar sedang bising dan menuntut, mungkin inilah saatnya kita bertanya pada ruang yang paling sunyi:
"Apa kabar diriku yang sesungguhnya?"

Dan semoga, di tengah derasnya informasi dan cepatnya arus zaman, kita tak lupa memeluk satu cahaya kecil…
Yang hanya bisa dinyalakan dari dalam.


Referensi








Komentar