Viral Food apakah baik?


Pernahkah kita bertanya dalam hati masing masing: mengapa sebuah makanan sederhana bisa berubah menjadi ikon hanya karena kamera menyorotinya? Mengapa sebuah hidangan yang mungkin tak lebih istimewa dari lauk harian mendadak menjadi rebutan, antrean panjang, bahkan bahan pembicaraan di seluruh negeri? Apakah karena rasa? Atau justru karena mata kita lebih lapar daripada lidah kita?


Di era digital, makanan tidak lagi sekadar pemenuhan gizi. Ia menjelma menjadi tontonan, simbol status, bahkan sebuah tren yang menentukan siapa yang “kekinian” dan siapa yang “tertinggal”. Namun, di balik semua keriuhan itu, ada pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan: apakah fenomena viral food benar-benar membawa kebaikan bagi kita, atau justru menyisakan dampak yang perlahan menggerus?


Makanan yang viral sering kali lahir dari satu unggahan sederhana—sebuah video singkat, sebuah ulasan penuh ekspresi, atau sekadar foto berfilter indah. Dari sana, jutaan pasang mata terpikat, jutaan perut tergoda. Lalu, dalam hitungan hari, toko atau restoran kecil yang sebelumnya sepi berubah menjadi lautan antrean. Seolah-olah dunia memberi hadiah instan bagi mereka yang berhasil menembus algoritma.


Namun, apakah hadiah itu sungguh sebuah anugerah? Atau hanya fatamorgana yang cepat memudar?


Kita tahu, makanan viral sering kali tinggi gula, asin, atau berlemak. Jarang sekali kita melihat sayuran rebus, ikan kukus, atau nasi merah menjadi pusat perhatian warganet. Mengapa? Karena kamera lebih mencintai yang mewah, yang meleleh, yang memicu sensasi. Lidah manusia pun lebih mudah jatuh cinta pada yang manis dan gurih ketimbang yang hambar meski sehat. Akhirnya, yang viral bukanlah apa yang menyehatkan, melainkan apa yang memuaskan sesaat.


Bayangkan seorang anak muda yang setiap hari terpapar konten makanan viral di media sosial. Ia mungkin tergoda mencoba satu demi satu tren baru, bukan karena lapar, tetapi karena ingin menjadi bagian dari percakapan. Akhirnya, makan bukan lagi tentang kebutuhan, melainkan tentang eksistensi. Di situlah kita mulai kehilangan arah.



Mari kita melihatnya dari sisi sosial. Fenomena viral food bisa mengangkat ekonomi lokal. Pedagang kecil bisa mendadak naik kelas, mendapatkan omzet berlipat, bahkan membuka cabang baru. Banyak yang berdoa agar dagangannya suatu saat ikut viral. Tidak bisa kita pungkiri: kekuatan media sosial memberi peluang yang dulu mustahil terbayangkan.


Tetapi setiap peluang membawa konsekuensi. Ketika hype mereda, pedagang yang sebelumnya dielu-elukan bisa kembali sunyi. Ada yang bertahan, ada yang tenggelam. Bahkan lebih sering, viral food menciptakan siklus cepat: naik, puncak, lalu hilang, digantikan tren berikutnya. Lalu kita pun bertanya: apakah ini pembangunan ekonomi, atau sekadar permainan ilusi yang membuat semua berlari tanpa tujuan?



Lebih jauh lagi, dampak psikologisnya juga tak bisa diabaikan. Media sosial membuat kita membandingkan apa yang kita makan dengan apa yang dimakan orang lain. Seolah piring sederhana di rumah tak lagi cukup, seolah nasi dan lauk harian kalah pamor dibanding makanan viral yang penuh bumbu visual. Dari sinilah lahir rasa cemas, rasa kurang, bahkan obsesi untuk selalu mencoba hal baru meski dompet tidak mendukung.


Apakah itu yang kita sebut sebagai kemajuan? Ataukah kita sedang menjadi tawanan algoritma yang tahu persis bagaimana memancing rasa lapar kita, bukan pada makanan, melainkan pada sensasi?


Namun, kita juga bisa mengambil sisi terang. Viral food dapat menjadi jembatan budaya. Makanan tradisional yang hampir dilupakan bisa kembali bersinar berkat satu video pendek. Resep nenek bisa dikenal oleh generasi muda yang sebelumnya asing. Dalam hal ini, viral food berfungsi sebagai pengingat bahwa makanan bukan hanya soal rasa, tetapi juga identitas.


Mungkin yang kita butuhkan bukanlah menolak fenomena ini, melainkan menyikapinya dengan bijak. Kita bisa menikmati sesekali tanpa harus larut dalam arus. Kita bisa menjadikan viral food sebagai hiburan, bukan pedoman hidup. Kita bisa tetap setia pada makanan sederhana, sembari sesekali mencicipi tren yang datang silih berganti.


Lalu, kembali ke pertanyaan awal: apakah viral food baik? Jawabannya mungkin tidak pernah hitam putih. Ia bisa menjadi berkah bagi pedagang, tetapi juga risiko bagi kesehatan masyarakat. Ia bisa menjadi pengingat budaya, tetapi juga sumber kecemasan sosial. Pada akhirnya, yang menentukan bukanlah makanan itu sendiri, melainkan bagaimana kita menatapnya.


Apakah kita sekadar menjadi konsumen yang lapar sensasi? Ataukah kita sanggup mengendalikan diri, menjadikan viral food hanya sekadar bumbu dalam perjalanan panjang hidup kita yang sederhana?


Mungkin jawaban itu ada pada setiap suapan yang kita ambil.


Referensi




Komentar

  1. Gue pernah coba makanan viral, rasanya biasa, harganya luar biasa.

    BalasHapus
  2. Yang viral biasanya enak di kamera, biasa aja di lidah. Tapi tetep aja ngantri panjang, heran

    BalasHapus
  3. Makanan viral itu baik? Iya, baik buat klik, buruk buat perut

    BalasHapus

Posting Komentar