Pernahkah kita merasa hidup ini seperti permainan yang tidak pernah
adil—keinginan yang tak habis, kebahagiaan yang hanya mampir sebentar, lalu
pergi begitu saja?
Di saat banyak orang berbicara tentang harapan dan kemenangan, ada satu tokoh
filsuf yang berani berkata sebaliknya: hidup adalah penderitaan. Namanya
Arthur Schopenhauer.
Mari kita duduk sejenak, tenangkan pikiran, dan berbincang dengannya di ruang
imajiner ini. Siapa tahu, dari pesimismenya, justru kita menemukan kejernihan.
Isi
1. Konteks Tokoh
Arthur Schopenhauer lahir pada tahun 1788 di Danzig (kini GdaĆsk, Polandia)
dan wafat pada 1860 di Jerman. Ia hidup di masa ketika Eropa sedang diramaikan
oleh pemikiran besar—Revolusi Prancis, filsafat idealisme Jerman, serta gairah
kemajuan sains.
Namun, berbeda dari arus besar optimisme itu, Schopenhauer menempatkan dirinya
sebagai “pembisik gelap” yang menolak ilusi manis. Sementara Hegel
dielu-elukan di aula universitas, Schopenhauer berbicara pada ruang-ruang
kecil, bahkan sering diabaikan. Baru setelah ia meninggal, dunia menyadari
betapa tajam warisan pikirannya.
2. Pikiran & Arah Hidup
Inti filsafat Schopenhauer adalah konsep “kehendak” (der Wille). Bagi dia, di
balik semua fenomena hidup ada dorongan buta, liar, dan tak pernah puas yang
menguasai manusia dan alam.
Kita bekerja keras, jatuh cinta, marah, berambisi—semua karena didorong oleh
kehendak itu. Hasilnya? Penderitaan, sebab setiap keinginan yang terpenuhi
hanya melahirkan keinginan baru.
Baca juga apakah umat islam lupa pada tujuan agamanya
selengkapnya
Schopenhauer sendiri hidup sederhana, sering menyendiri bersama buku, musik,
dan anjing pudelnya yang setia. Ia percaya bahwa seni—terutama musik—bisa
menjadi jalan singkat untuk membebaskan manusia dari tirani kehendak. Dalam
musik, katanya, kita bisa merasakan dunia tanpa harus terus-menerus dikejar
hasrat.
Namun ada juga kontradiksi: ia seorang pesimis yang keras, tapi pada saat yang
sama mengagumi keindahan seni dan bahkan filsafat Timur—terutama Upanishad dan
Buddhisme—yang mengajarkan pelepasan diri.
3. Karya & Relevansi
Karya besarnya, Die Welt als Wille und Vorstellung (Dunia sebagai Kehendak dan
Representasi), menjadi batu loncatan penting bagi pemikir setelahnya.
Nietzsche, Freud, Tolstoy, hingga musisi Wagner tak bisa lepas dari
pengaruhnya.
Bagi kita hari ini, Schopenhauer mungkin terdengar terlalu gelap. Namun justru
di situlah relevansinya: ia mengingatkan bahwa tidak semua harus dilihat
dengan kacamata positif semu.
Kadang kita perlu berani mengakui getirnya hidup agar bisa lebih jujur dengan
diri sendiri. Dari pesimisme Schopenhauer, kita bisa belajar untuk mencari
ruang hening, seni, dan kebijaksanaan dalam menerima keterbatasan.
Hidup memang tidak adil, baca juga
Penutup
Apakah benar hidup hanyalah penderitaan seperti kata Schopenhauer? Atau justru
penderitaan itu yang membuat kita menemukan makna?
Pertanyaan itu tidak butuh jawaban cepat. Biarlah ia menggantung di dalam
diri, seperti gema musik yang tak pernah habis.
Referensi:
Schopenhauer, A. (1969). The World as Will and Representation. Dover
Publications.
Janaway, C. (2002). Schopenhauer: A Very Short Introduction. Oxford University
Press.
Young, J. (1987). Will and World: A Schopenhauerian Vision. Routledge.
Komentar
Posting Komentar