Pernahkah kita merenung, betapa sebuah gerakan kecil bisa berubah menjadi
badai besar?
Seperti kepakan sayap kupu-kupu yang konon mampu memicu angin topan di belahan
dunia lain. Begitu pula sebuah ucapan yang salah tempat, sebuah gestur yang
pongah, bisa menjadi percikan yang menyalakan api. Lucunya, kadang kita pikir
hal itu sepele—mirip saat tumpahan kopi mengenai meja, tak pernah kita
bayangkan bisa jadi awal pertengkaran panjang.
Dari Senyum Sinis ke Jalanan yang Membara
Agustus itu, udara seakan lebih panas dari biasanya. Bukan hanya karena terik
matahari, tapi juga karena kata-kata yang meluncur dari mulut anggota dewan.
Nada angkuh, senyum sinis saat wawancara, dan sikap yang terasa jauh dari
rakyat yang mereka wakili. Mungkin bagi mereka, itu hanya sekadar momen di
depan kamera. Tapi di hati banyak orang, itu menjadi simbol keserakahan yang
ditanggung terlalu lama.
Lalu ribuan kaki mulai melangkah ke jalan. Spanduk terbentang, suara lantang
menggema, dan langit Jakarta dipenuhi seruan protes. Sebuah kepakan sayap yang
sederhana berubah jadi badai: demo besar-besaran.
Tragedi di Tengah Lalu Lintas Kekuasaan
Di tengah riuh itu, sebuah peristiwa tragis terjadi. Seseorang meregang nyawa,
terlindas mobil aparat yang melaju dengan tergesa. Satu nyawa melayang, tapi
gemanya jauh lebih luas dari tubuh yang terbaring. Seperti batu kecil yang
dijatuhkan ke air, gelombangnya menjalar, membentur hati, menambah bara di
hati ribuan orang.
Kemarahan pun menjelma api. Gedung-gedung Dewan di beberapa daerah jadi
sasaran. Kantor polisi yang dulu berdiri gagah, kini jadi arang. Semua bermula
dari sesuatu yang dianggap remeh: bahasa tubuh, ketamakan, dan ketidakpekaan.
Butterfly Effect di Jalanan Negeri
Inilah butterfly effect versi kita. Lorenz pernah menulis, “Apakah kepakan
sayap kupu-kupu di Brasil bisa memicu tornado di Texas?” Di sini,
pertanyaannya berubah: “Apakah senyum angkuh seorang pejabat bisa memicu
pembakaran gedung di berbagai kota?” Jawabannya, sejarah baru saja
menuliskannya.
Demo bukan hanya tentang ketidakpuasan, tapi juga tentang perasaan kolektif
yang tersinggung. Bahwa masyarakat bisa menoleransi banyak hal—harga naik,
janji palsu, bahkan pajak yang mencekik—tapi ada titik di mana kesabaran
runtuh karena merasa dihina. Dan di titik itu, kupu-kupu sudah mengepakkan
sayapnya.
Merenung di Tengah Puing
Kini, setelah asap mereda, kita kembali bertanya: apakah semua ini harus
terjadi? Apakah jalan sejarah selalu ditentukan oleh kesalahan kecil yang
membesar tanpa kendali?
Atau justru di situlah keindahan rapuhnya hidup manusia—bahwa kita tak pernah
benar-benar tahu, kapan ombak akan datang dari percikan sekecil apapun.
Seperti puing yang berserakan di jalanan, pertanyaan itu masih tertinggal.
Kita hanya bisa merenung, bahwa kekuasaan tak selalu tumbang oleh peluru,
kadang cukup oleh satu senyum sinis di layar kaca.
Referensi
Lorenz, E. N. (1963). Deterministic Nonperiodic Flow. Tellus A: Dynamic
Meteorology and Oceanography, 17(2), 130–141.
Chandler, N. (2023). What Is the Butterfly Effect and How Do We Misunderstand
It? HowStuffWorks.
Britannica. Butterfly effect. Encyclopedia Britannica.
Komentar
Posting Komentar