Pernahkah kau bertanya pada dirimu sendiri: kapan terakhir kita meraung
bersama untuk perubahan yang nyata?
Bayangkan udara pagi tersibak oleh asa, kota berdebu menyimpan ambisi di tiap
deru kendaraan, hati siap berdenyut—revolusi bukan sekadar kata klise, tetapi
panggilan.
Humornya: revolusi kadang muncul bukan dengan tombak atau molotov, melainkan
lewat tweet yang viral—ya, senjata bisa bermuka maya.
Mari kita susuri, apa makna di balik tombol “revolusi” itu, dan kemana
tujuannya menuntun kita.
Isi
Revolusi: kata ini menggetarkan, mengguncang. Tapi apakah maknanya sama di
setiap zaman?
1. Makna revolusi lewat analogi
Bayangkan sebuah pohon besar yang sudah lapuk di dalam—akar kuat, batang
kokoh, tapi inti sudah rapuh oleh jamur.
Ketika badai datang, dahan pecah, daun gugur, akar bergeser. Revolusi itu
badai; ia mengoyak struktur lama, memberi peluang pada tunas baru.
Namun, badai tanpa kendali bisa menghancurkan anak-anaknya sendiri.
Revolusi bukan sekadar keributan untuk hancur, melainkan kesempatan agar akar
baru tumbuh lebih sehat.
Atau analogi musik: sebuah lagu lama yang telah dinyayikan
berulang-ulang—melodi sudah basi, lirik tak lagi mengena pada generasi kini.
Maka muncul band baru yang memainkan ulang dengan nada berbeda. Revolusi
adalah cover yang me Remix zaman.
2. Sejarah: peluang dan kegagalan
Revolusi Prancis (1789) menggulingkan kekuasaan absolut, memunculkan gagasan
kebebasan dan persamaan hak. Tapi siapa sangka, setelah teriakan “liberté,
égalité, fraternité” itu, gelombang teror muncul di tengah malam yang membara.
Revolusi Rusia (1917) mengakhiri rezim Tsar, tetapi membuahkan rezim baru yang
represif.
Revolusi Indonesia (1945) merebut merdeka dari penjajah; namun pergulatannya
masih terus hingga hari ini, dalam bentuk kemiskinan, korupsi, ketidakadilan
sosial.
Sejarah mengajarkan: tak semua yang jatuh adalah keburukan, tapi tidak semua
bangunan baru menjadi surga.
Siap revolusi harus juga siap soal perdebatan, baca juga tentang
managemen konflik
3. Sosial: revolusi sebagai dialog kolektif
Revolusi sejati terjadi ketika suara orang-orang biasa—petani, buruh, siswa,
istriku dan kamu—bergema dalam satu lagu yang sama.
Dalam tiap protes jalanan, ada puisi keluhan; dalam tiap grafiti, ada puisi
tak tersampaikan; dalam tiap sumbang suara media sosial, ada rindu perombakan.
Tapi revolusi bukanlah konferensi orang pintar. Ia adalah dialog antara sistem
dan rakyat, antara anatomi penguasa dan denyut pemilik negeri.
4. Tujuan: destruksi atau rekonstruksi?
Sering revolusi dikira semata-mata menghancurkan, tapi makna sejatinya adalah
transformasi.
Tujuannya: agar struktur lama yang timpang roboh, agar keadilan menemukan
pijakan baru.
Tujuan bukan sekadar “ganti orang”, tapi “remodel sistem”.
Kadang tujuan tersembunyi: kesetaraan, kebebasan, solidaritas.
Tapi hati-hati: jika tujuan tidak dipikir, revolusi bisa menjadi monster yang
menelan anaknya sendiri.
5. Refleksi bersama
Apakah kita ingin revolusi kekerasan atau revolusi ide?
Apakah kita menginginkan perombakan mekanis, atau metamorfosis budaya?
Revolusi yang bertahan bukan yang cepat dan brutal, tapi yang halus dan
akarnya dalam.
Penutup
Saat malam merundung jendela dan pikiranmu menelisik sisa-sisa idealisme,
tanyakan: “Apa yang akan kumiliki setelah runtuhnya batu fondasi lama?”
Biarkan degup hati menjadi kompas, bukan dogma.
Revolusi bukan kata perpisahan, melainkan pembukaan: pembukaan pintu menuju
kemungkinan.
Kita bukan penonton sejarah, kita penyair yang menulis bab baru—dengan tinta
keberanian.
Referensi
Calnitsky, D. “The revolution next door”. Wiley Online Library.
Gottschalk, L. “Causes of Revolution”. American Journal of Sociology
(1944).
Age of Revolutions – jurnal peer-review, mengenai tema revolusi global.
Interface: A Journal for and About Social Movements, tentang gerakan sosial
& revolusi.
Socius: Sociological Research for a Dynamic World.
Komentar
Posting Komentar