Apa Artinya Keadilan, Jika Ranjang dan Gerobak Sama-Sama Disebut Tempat Tidur?



Pernahkah kita berhenti sejenak di tengah malam, lalu bertanya dalam hati: mengapa ada yang terlelap di kasur empuk, sementara yang lain berbaring di atas roda besi? Apakah tidur tetap disebut istirahat jika harus ditemani dingin trotoar dan bising jalanan? Pertanyaan sederhana ini kadang terasa seperti angin yang menyapa lembut, namun di baliknya ada kenyataan getir yang memaksa kita merenung: di manakah letak keadilan?


Sejarah manusia selalu diwarnai dengan kontras yang menyakitkan. Pada abad-abad silam, istana raja berdiri megah, sementara para petani menggigil di gubuk. Revolusi datang, kota-kota tumbuh, dan teknologi menjanjikan kemajuan. Namun, wajah malam tetap sama: ada ranjang yang penuh kemewahan, ada gerobak yang dipaksa menjadi ranjang darurat. Dunia modern hanya mengganti bentuk, bukan menghapus jurang.

Keadilan sering digambarkan sebagai timbangan yang seimbang. Namun kenyataannya, timbangan itu sering condong pada mereka yang punya emas dan perhiasan. Tidur pun akhirnya menjadi simbol: ranjang adalah tanda kuasa, gerobak adalah tanda bertahan hidup. Sama-sama menutup mata, tetapi dengan rasa yang berbeda.

Jika kita memandang lebih dalam, tidur bukan sekadar melepas lelah. Ia adalah cermin martabat manusia. Hak paling sederhana: beristirahat tanpa rasa takut, tanpa rasa terusir. Ketika ada orang yang hanya punya atap langit dan roda gerobak sebagai pelindung, maka keadilan belumlah tegak sepenuhnya.

Analogi ini bisa kita ibaratkan dengan lukisan. Seorang kaya memiliki kanvas besar, cat minyak mahal, dan ruang galeri untuk memajang karyanya. Sementara seorang miskin hanya punya arang dan dinding kusam. Keduanya melukis malam, tetapi dunia menghargai lukisan pertama lebih tinggi. Padahal esensi seni—seperti juga tidur—adalah kebutuhan jiwa, bukan soal harga bingkai.

Dalam sejarah, banyak filsuf mengingatkan kita. Rousseau, pada abad ke-18, menulis bahwa ketidakadilan lahir ketika segelintir orang memiliki terlalu banyak, sementara yang lain hampir tidak punya apa-apa. Pertanyaan yang ia lontarkan masih relevan hari ini: “Mengapa ada yang begitu kaya hingga bisa membeli orang lain, sementara yang lain begitu miskin hingga harus menjual dirinya?” Kini, “menjual diri” sering berarti menjual tenaga, waktu, bahkan mimpi—demi sekadar mendapat tempat untuk rebah.

Kesenjangan ini bukan hanya angka statistik. Ia adalah wajah nyata di jalanan: tukang becak yang tertidur di atas gerobak, anak kecil yang menyandarkan kepalanya pada bahu ibu di emper toko, pengamen yang akhirnya lelap di bawah jembatan. Mereka hidup di ruang yang sama dengan orang-orang yang tidur dalam apartemen mewah, hanya saja dipisahkan oleh tembok ketidakpedulian.

Apakah kita bisa menyebut dunia ini adil, ketika malam—yang seharusnya memeluk semua orang dengan damai—ternyata hanya lembut pada sebagian kecil manusia? Tidur seharusnya hak universal, tetapi diubah menjadi hak istimewa oleh struktur sosial dan ekonomi.


Pada akhirnya, kita mungkin tidak bisa langsung menghapus jurang itu. Namun, kita bisa mulai dengan bertanya pada hati sendiri: apakah kita masih peka melihat orang yang menjadikan gerobak sebagai ranjang? Apakah kita masih terganggu oleh fakta bahwa sebagian orang tidak pernah merasakan arti tidur yang benar-benar tenang?

Keadilan tidak hanya hidup di pengadilan, tetapi juga di bantal setiap orang. Jika malam terus menampilkan dua wajah—ranjang mewah dan roda besi—maka mungkin keadilan hanyalah bayangan yang belum menemukan tubuhnya.

Malam memang menyelimuti semua, tetapi kehangatannya tidak pernah sama bagi setiap jiwa.

Menjelang keruntuhan indonesia jika tidak kita cegah, baca juga


Referensi

Pfeffer, F.T., & Waitkus, N. (2021). The Wealth Inequality of Nations. American Sociological Review, 86(4), 567–602. 


Komentar