Pernahkah Anda berjalan di antara rak-rak tinggi dan mendengar bisik halus
sejarah seperti latar belakang musik?
Bayangkan sejenak: lantai berderik pelan, aroma kertas, sebuah kursi kosong
menunggu pembaca datang, apakah itu bunyi yang menenangkan atau panggilan
untuk bertindak? Tarik napas panjang sebelum membaca kenyataan ini.
Perpustakaan mengundang kita untuk berdialog dengan waktu; sedikit humor:
bookmark sering kali lebih setia daripada notifikasi ponsel.
Isi
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia bukan sekadar gedung besar di
ibukota. Ia adalah arsip yang hidup—sumur besar yang menampung air kenangan
kolektif bangsa.
Di dalamnya tersimpan naskah kuno, koleksi modern, bahan digital, dan narasi
identitas yang membentuk cara kita bercerita tentang diri sendiri.
Perpustakaan berperan sebagai penjaga warisan sekaligus infrastruktur
pengetahuan publik; program digital seperti Indonesia OneSearch berupaya
menjahit fragmen pengetahuan yang tersebar di seluruh nusantara, memberi akses
terpadu bagi penelusur ilmu dan budaya.
Secara sosial, perpustakaan adalah indikator kematangan masyarakat. Ketika
akses koleksi terjamin, ruang publik ini memberdayakan warga untuk berpikir
kritis, menguji asumsi, dan menafsirkan ulang mitos. Perpustakaan bukan lahan
subur untuk dogma, melainkan ladang eksperimen sosial: pendidikan informal
yang menumbuhkan kemampuan literasi informasi.
Dalam konteks Indonesia yang beragam, Perpustakaan Nasional menyandang
tanggung jawab ganda—melestarikan manuskrip Nusantara sekaligus membuka pintu
pengetahuan melalui layanan e-journal dan e-resources yang bersifat
akses-terbuka. Laman e-journal Perpusnas dan jurnal-jurnal internalnya
menyatakan kebijakan open access sebagai bagian dari komitmen publik.
Transformasi digital tak melulu soal server dan antarmuka; ini tentang
menerjemahkan kurasi tradisional ke dalam metadata yang dapat
diinteroperasikan, mengatur repositori, dan menjaga preservasi jangka panjang.
Teknologi memperluas jangkauan—anak di desa bisa mengakses manuskrip digital
tanpa harus ke Jakarta—tetapi menimbulkan tantangan inklusi: infrastruktur,
literasi digital, dan kapasitas pustakawan.
Ingin memperdalam soal uang?
Baca juga
Oleh karena itu strategi harus mencakup KPI yang riil: jumlah koleksi digital
yang diindeks, waktu layanan rujukan, dan rasio kunjungan fisik versus
virtual.
Analogi yang sederhana: perpustakaan adalah taman kota untuk otak. Di taman,
orang bertemu, berdialog, atau duduk merenung. Perpustakaan nasional perlu
menyediakan jalur pejalan kaki yang aman (akses), lampu yang menerangi bacaan
(pembiayaan & kebijakan), serta bangku yang nyaman (ruang fisik &
program komunitas).
Ia juga harus menjadi tuan rumah festival gagasan, program literasi informasi
untuk guru dan siswa, serta layanan mobil perpustakaan yang menyentuh daerah
terpencil—inovasi yang menghubungkan gerak kebijakan dengan praktik lapangan.
Dari sisi etika dan tata kelola, muncul pertanyaan penting: siapa yang
memutuskan narasi koleksi, bagaimana hak cipta dipertimbangkan, dan bagaimana
koleksi sensitif dilindungi tanpa mengeksploitasi komunitas pemilik warisan?
Pendekatan partisipatif, melibatkan banyak komunitas lokal dalam proses
dokumentasi dan kurasi—adalah langkah etis sekaligus pragmatis.
Selain itu, jurnal-jurnal ilmiah bidang perpustakaan dan manuskrip yang
dikelola lembaga-lembaga kemahasiswaan dan Perpusnas sendiri membuka ruang
penelitian dan evaluasi layanan secara terbuka.
Peran Perpustakaan Nasional di panggung internasional tak kalah penting:
melalui kerja sama antarperpustakaan, pertukaran koleksi, dan program
preservasi, warisan Nusantara mendapat posisi di peta dunia pengetahuan.
Namun kita harus kritis: narasi mana yang mendapatkan prioritas, suara siapa
yang diterjemahkan, dan bagaimana keberagaman dijaga. Inilah kerja politik
kultural yang harus diukur bukan hanya dengan angka koleksi, tetapi juga
dengan kualitas wacana publik yang dihasilkan.
Penutup
Jadi, apakah Perpustakaan Nasional masih menjadi rumah untuk ingatan kita?
Jawabannya tidak hitam-putih.
Rumah memerlukan perawatan:
ingatan kolektif memerlukan partisipasi. Perpustakaan adalah ruang bersama
yang hidup—bukan monumen beku—yang mengundang kita merawat, mengakses, dan
memikirkan kembali apa yang kita simpan. Mari rawat perpustakaan sebagai ruang
bersama; di sana ingatan kita bertumbuh, berbagi, dan menemukan kembali alasan
untuk selalu bersama.
Alamat :
Jl. Medan Merdeka Sel. No.11, Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10110
Referensi
1. e-Journal Perpustakaan Nasional RI
2. VISI PUSTAKA: Buletin Jaringan Informasi Antar Perpustakaan
3. Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara (Perpustakaan Nasional) — jurnal
manuskrip Nusantara.
4. Fihris: Jurnal Ilmu Perpustakaan dan Informasi (UIN Sunan Kalijaga)
5. The Development of Indonesia One Search (laporan/prosiding) — tentang
inisiatif Indonesia OneSearch
Komentar
Posting Komentar