Pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: bagaimana bila seorang manusia yang lahir di padang pasir empat belas abad lalu, kini hadir di tengah hiruk pikuk dunia digital?
Apakah pesan hidupnya akan terasa kuno, atau justru semakin relevan? Kadang kita sibuk menghafal namanya, tapi lupa merenungi jalan panjang yang ia tempuh. Dunia terus berlari, teknologi terus menguasai, tetapi hati manusia tetap menjerit dengan kegelisahan yang sama: siapa yang bisa menjadi penuntun?
Isi
1. Konteks Sang Tokoh
Nabi Muhammad lahir di Mekkah, tahun 570 M, di sebuah masyarakat yang keras, penuh perang suku, dan timpang dalam keadilan. Masyarakat Quraisy saat itu hidup dalam tatanan jahiliyah: menyembah berhala, menindas perempuan, dan memuja harta. Nabi Muhammad tumbuh sebagai anak yatim, bekerja sebagai penggembala dan pedagang. Sejak muda ia dikenal sebagai al-Amin, yang terpercaya, karena kejujurannya.
Perjalanan hidupnya bukan tanpa ujian. Di usia 40 tahun, Nabi Muhammad menerima wahyu pertama di Gua Hira, sebuah peristiwa yang mengubah dirinya dari pedagang yang tenang menjadi sosok pemimpin spiritual yang ditolak oleh kaumnya. Ia diejek, diasingkan, bahkan diancam mati. Namun, dalam segala cobaan itu, ia menunjukkan keteguhan hati yang menginspirasi hingga hari ini.
2. Pikiran & Arah Hidup
Pesan terbesar yang ia bawa adalah tauhid: pengakuan bahwa hanya ada satu Tuhan, dan semua manusia setara di hadapan-Nya. Tetapi tauhid bagi Nabi Muhammad bukan sekadar ucapan ritual, melainkan dasar bagi keadilan sosial. Dengan tauhid, manusia tidak boleh diperbudak oleh sesama manusia, tidak boleh ditindas hanya karena miskin, tidak boleh diabaikan hanya karena perempuan.
Nabi Muhammad membawa gagasan yang radikal bagi zamannya: memuliakan anak perempuan, membebaskan budak, memberi hak waris bagi perempuan, dan menyeru keadilan dalam perdagangan.
Dilema besar yang ia hadapi adalah bagaimana menegakkan nilai-nilai itu tanpa memutus seluruh jalinan sosial yang sudah mendarah daging. Keputusan-keputusannya sering menimbulkan kontroversi: kapan ia memilih damai, kapan ia memilih perang, kapan ia mengalah, kapan ia bertahan.
Namun, di balik strategi dan politik itu, arah hidup Nabi Muhammad tetap jelas: membangun umat yang berakhlak mulia. Ia berkata, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” Maka jihad terbesar baginya bukan sekadar medan perang, tetapi perjuangan melawan kebodohan, keserakahan, dan kebencian.
Matematika, Kenapa Matematika Sering Dibenci
3. Karya & Relevansi
Warisan terbesar Nabi Muhammad tentu adalah Al-Qur’an, kitab yang menjadi sumber inspirasi peradaban Islam.
Tetapi lebih dari teks, ia meninggalkan teladan hidup yang konkret: seorang pemimpin yang tetap sederhana meski berkuasa, seorang kepala keluarga yang menolong pekerjaan rumah, seorang tetangga yang ramah, seorang sahabat yang setia.
Dalam sejarah, warisan itu melahirkan kebangkitan ilmu pengetahuan, filsafat, seni, dan kebudayaan Islam. Baghdad, Kairo, hingga Andalusia menjadi pusat pengetahuan dunia.
Para ilmuwan Muslim mengembangkan astronomi, kedokteran, dan matematika, berangkat dari dorongan wahyu yang disampaikan Nabi Muhammad: Yaitu Iqra’, bacalah.
Bagi kita hari ini, relevansi pesan Muhammad begitu nyata. Di tengah dunia yang dikuasai kapitalisme dan media sosial, kita bisa melihat “berhala baru” berupa harta, popularitas, dan kuasa.
Pesan Nabi Muhammad menjadi pengingat: jangan biarkan hal-hal itu memperbudak kita. Ketika polarisasi politik memecah belah, kita bisa belajar dari teladannya dalam membangun persaudaraan di Madinah, yang mempersatukan berbagai suku dan agama dalam Piagam Madinah.
Nabi muhammad bukanlah orang yang anti membaca, iqro iqro iqro, jadi
datangilah sumber ilmu, baca juga
perpustakaan nasional indonesia
Penutup
Mungkin kita tidak akan pernah bisa meniru seluruh laku hidupnya. Tetapi bukankah yang terpenting adalah menyerap sinarnya, lalu menyalakan obor kecil dalam hidup kita masing-masing? Pertanyaan itu terus menggema: masihkah cahaya Sang nabi menuntun zaman yang resah, atau kita yang justru menjauh darinya?
Referensi
-
Armstrong, K. (2006). Muhammad: A Prophet for Our Time. HarperCollins.
-
Watt, W. M. (1956). Muhammad at Mecca. Oxford University Press.
-
Nasr, S. H. (2003). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. HarperOne.
-
Ramadan, T. (2007). In the Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad. Oxford University Press.
Komentar
Posting Komentar