Pernahkah kita berhenti sejenak, menatap langit senja sambil bertanya dalam
diri: apa tujuan dari sujud, dari dzikir, dari puasa kita?
Saat malam merayap dan sunyi bicara lebih keras daripada gema adzan, adakah
makna yang tersisa selain ritual yang terulang tiap hari?
Ibadah yang tampak benar di mata orang lain, tapi dalam hati… bisakah itu
kosong? Mari kita merenung, dengan lembut dan sedikit senyum karena jika hati
menyerah pada formalitas, ibadah bisa jadi hanya pertunjukan.
Isi
Bayangkan dua pohon di taman: satu pohon hidup, berbuah, ranting dan daun
merespon angin dan cahaya; satu pohon lain gagangnya tegak sempurna,
rantingnya rapi, daun rimbun, tapi akarnya dangkal—tatkala badai datang, daun
itupun gugur, batangnya bisa tumbang karena tak punya pegangan kuat di tanah.
Seperti pohon itu, banyak umat Islam masa modern: ibadahnya tampak sempurna
dari luar shalat lima waktu, puasa Ramadhan, zakat, bahkan haji — tetapi
apakah akarnya, yakni niat, pemahaman, dan rasa keinginan menjadi hamba Allah,
sekuat pohon yang benar-benar hidup?
Sejarah & Analoginya
Sejak masa awal Islam, Nabi Muhammad SAW menurunkan ajaran bukan semata ritual
agar umat Islam melakukan gerakan tubuh dan ucapan kosong, melainkan untuk
membentuk pribadi:
Akhlak, keadilan, rasa kasih, kehambaan yang tulus. Al-Farabi, Imam Ghazali,
dan banyak pemikir klasik menekankan dimensi batin (hati, niat) lebih utama
daripada sekadar bentuk luar.
Baca juga pendapat kami tentang
Nabi Muhammad SAW.
Di masa modern, tekanan sosial, budaya konsumtif, tampil di media sosial
sering kali menjadikan ibadah sebagai “konten” atau “tugas” formal.
Bisa juga terjadi: seseorang mengerjakan shalat tepat waktu, membaca
Al-Qur’an, tapi di sela kehidupan sehari-hari ia menyakiti orang, berbohong
kecil, mengabaikan fakir miskin, bahkan mengambil yang bukan hak nya.
Ibadah seolah jalan yang hanya membingkai identitas — “aku muslim”, “aku
rajin” — tapi lupa bahwa jalan itu harus menyinari jalan lain: kejujuran,
kemanusiaan, kasih sayang.
Faktor Sosial & Modernitas
Beberapa faktor menyebabkan ibadah menjadi formalitas:
Tekanan budaya populer dan media sosial, di mana “kelihatan saleh” lebih
penting daripada “benar-benar saleh”.
Kurangnya pemahaman maqāsid al-sharī’ah (tujuan-tujuan syariah) — bahwa
syariah bukan hanya syarat lahiriah, tapi untuk mewujudkan keadilan,
keselamatan, kesejahteraan manusia.
Artikel “Formalism versus Purposivism in Islamic Jurisprudence” menyebut bahwa
pemahaman hukum Islam yang kaku secara formal (formalism) bisa menghasilkan
implikasi yang absurd jika tidak melihat konteks dan tujuan.
Pengajaran agama yang terlalu tekstual dan minim refleksi batin, yang
mengajarkan doa dan bacaan tanpa mengaitkannya dengan niat, hati, dan
pengaruhnya terhadap interaksi sosial.
Refleksi Pribadi
Mari kita bayangkan diri kita seperti seberkas cahaya kecil pada malam gelap:
ibadah adalah lampu itu. Jika lampu itu hanya dipasang agar terlihat dari luar
— lalu bohlamnya lemah atau kabelnya longgar — maka cahaya yang keluar akan
redup, bahkan padam bila tak dijaga.
Tetapi jika lampunya menyala dari dalam, dengan energi yang terhubung ke
sumber kuat — niat, kesadaran, keinginan untuk mendekat ke Allah, kebaikan
terhadap sesama — maka ia tak hanya menerangi dirinya, tetapi juga menyinari
lingkungan sekitar.
Penutup
Apa artinya jika ibadah kita hanya menjadi sebuah rutinitas tanpa rasa,
mengikuti gerakan tangan tanpa menyentuh hati?
Maukah kita menghadapi cermin dalam diri dan bertanya: sudahkah niatku bersih,
hatiku tergerak, hidupku berbuah kebaikan yang nyata? Ibadah bukan sekadar
jalan yang kita lalui, tapi peta yang menuntun ke tujuan yang lebih dalam.
Lakukanlah tiap sujud, tiap bacaan, tiap puasa bukan hanya formalitas,
melainkan getaran hati yang membangunkan ciptaan agar penuh kasih dan keadilan
— menjawab panggilan
Rasulullah SAW
yang tujuan-Nya bukan hanya ritual, tapi transformasi jiwa.
Referensi:
Komentar
Posting Komentar