Apakah Harus Kaya untuk Bisa Menabung, atau Kita yang Terjebak Ilusi Finansial?



Kita tumbuh dengan keyakinan klasik:
menabung itu urusan orang yang dompetnya tidak pernah kering. Di warung kopi, di timeline media sosial, hingga obrolan keluarga, selalu ada kalimat pamungkas.

“Kalau gajinya pas-pasan, jangankan menabung, hidup saja sudah mepet.”

Di satu sisi, kita dicekoki motivasi soal literasi finansial; di sisi lain, realitas harga beras, kontrakan, dan pulsa data membuat teori terasa seperti candaan kelas menengah atas. Tapi benarkah hanya yang berpenghasilan tinggi yang punya akses untuk menyisihkan uang? Atau justru keyakinan itu adalah jebakan psikologis yang terus dilestarikan?

Perkenalan Jurnal

Penelitian yang dibahas dalam tulisan ini datang dari Dariusz Maison (2019) dengan judul “You don’t have to be rich to save money.” Fokus utama jurnal ini mengguncang asumsi populer: bahwa kemampuan menabung tidak semata ditentukan oleh pendapatan. Maison mengkaji bagaimana faktor psikologis—bukan sekadar isi rekening—mempengaruhi perilaku finansial seseorang. Ia menyoroti bahwa persepsi, kebiasaan, dan cara seseorang memaknai uang bisa lebih menentukan dibanding angka gaji.

Jurnal ini relevan karena wacana tentang finansial sering disederhanakan: kaya berarti bisa menabung, miskin berarti bertahan hidup hari demi hari. Maison justru mengajak pembacanya membongkar akar keyakinan itu, bukan menyalahkan kondisi semata. Dalam konteks Indonesia, di mana narasi kerja keras dan menabung jadi slogan nasional, temuan ini patut digugat dan direnungkan.


A. Temuan atau Ide Kunci dari Jurnal


Maison tidak sedang menghibur orang miskin supaya merasa cukup, atau menyalahkan mereka yang tak punya tabungan. Ia mengamati sesuatu yang lebih subtil: hubungan manusia dengan uang ternyata lebih psikologis daripada matematis.

Penelitiannya menunjukkan bahwa banyak orang yang berpenghasilan rendah tetap berhasil menyisihkan sebagian pendapatannya, sementara sebagian orang berpenghasilan tinggi justru hidup dari gaji ke gaji tanpa simpanan berarti.


Apa yang diteliti? Maison menelaah faktor-faktor seperti mindset, self-control, perencanaan keuangan, dan orientasi masa depan. Ia memeriksa bagaimana orang memaknai menabung—apakah sebagai kewajiban, ancaman, beban, investasi, atau bentuk kebebasan.

Hasilnya menunjukkan bahwa keputusan menabung sering kali muncul bukan karena ketersediaan uang melimpah, tetapi karena adanya struktur psikologis yang membangun prioritas dan perilaku.


Temuan mengejutkannya adalah ini: penghasilan hanyalah salah satu variabel kecil dalam kemampuan menabung. Yang lebih dominan justru adalah kebiasaan kecil, pola pikir, serta persepsi tentang risiko dan masa depan. Orang yang merasa “nanti juga ada rezeki lagi” cenderung lebih impulsif dalam pengeluaran. Sebaliknya, orang yang merasa hidup itu rapuh justru lebih protektif meski uangnya terbatas.


Maison juga menyinggung ilusi “nanti kalau gajiku naik, aku pasti bisa nabung.” Faktanya, banyak orang yang ketika penghasilan naik, pengeluarannya ikut naik secara otomatis—dikenal sebagai lifestyle inflation. Di titik ini, jurnalnya cukup mengganggu kenyamanan banyak orang sebab ia menuding bahwa masalah finansial personal kadang tidak sepenuhnya lahir dari realitas ekonomi, tetapi dari kompromi psikologis.


Yang paling menggelitik adalah cara jurnal ini menampar mitos lama: bahwa orang miskin tidak bisa menabung kecuali jadi kaya dulu. Maison tidak sedang mengabaikan ketimpangan struktural atau harga kebutuhan pokok. Ia hanya menunjukkan bahwa menabung bukan hanya soal sisa uang, tapi soal sikap terhadap uang itu sendiri. Ada individu dengan gaji pas-pasan yang tetap bisa mengatur pemasukan, dan ada yang bergaji besar tapi terus tekor demi simbol status dan hasrat konsumtif.

 
Kalau temuan ini dianggap romantik atau naif, itu karena kita terlalu terbiasa menyamakan kemampuan finansial dengan jumlah angka, bukan dengan keputusan sehari-hari.
 

B. Tafsir dan Kritik
 

Kalau dibaca sekilas, jurnal ini bisa dengan mudah disalahpahami sebagai narasi neoliberal: “Kalau miskin, salahkan dirimu sendiri karena tidak menabung.” Tapi justru di sinilah pentingnya membaca secara kritis.


Maison tidak sedang menepuk bahu negara dan menyuruhnya lepas tangan dari ketidakadilan ekonomi. Ia sedang membidik ruang psikologis yang sering kita abaikan: ruang di mana pilihan kecil menentukan arah hidup, bahkan saat kondisi besar tidak berpihak.

 
Mari tarik ini ke konteks sosial kita. Di Indonesia, narasi menabung sering dijadikan mantra moral. Dari celengan ayam jaman SD sampai iklan bank digital, kita diajari bahwa menabung adalah tanda kedewasaan ekonomi. Di sisi lain, struktur sosial membuat sebagian orang bekerja keras hanya untuk bertahan, bukan untuk membangun masa depan. Maka muncul kalimat pamungkas: “Ya gimana mau nabung, gaji segini-gini aja.”

 
Tapi ada sisi lain yang jarang dibicarakan: orang yang miskin pun bisa sangat strategis. Banyak keluarga di kampung, buruh harian, atau pedagang kecil yang tetap menyisihkan sedikit uang untuk hal tak terduga. Mereka tidak menunggu kaya dulu. Mereka hanya paham bahwa hidup selalu punya cara tiba-tiba minta “bayaran” baru—entah sakit, bocor atap, atau beras habis tiga hari sebelum gajian.


Di sisi lain, kelas pekerja urban yang bergaji lebih tinggi justru banyak yang tidak punya tabungan darurat karena gaya hidup bersaing dengan martabat. Kopi 30 ribu, gadget cicilan, nongkrong digital, tiket konser, skincare, motor kredit, dan liburan “biar waras.” Mereka berhak menikmati hidup, tentu. Tapi sering kali cara menikmati itu justru mentransformasi uang menjadi pelampiasan, bukan persiapan.

 

Kritiknya adalah ini: jurnal Maison kurang membahas dimensi struktural yang membuat sebagian orang tidak punya ruang psikologis untuk berpikir jangka panjang. Orang yang pendapatannya habis untuk kebutuhan dasar tidak bisa disamakan dengan mereka yang punya sisa tapi enggan mengelola. Meski begitu, temuan Maison tetap penting karena ia mematahkan alasan retoris

“nanti kalau udah mapan aku mulai nabung.”

Fakta lapangan menunjukkan: kemapanan bukan titik awal, tetapi akibat dari kebiasaan yang dibentuk jauh sebelum itu.


Jika jurnal ini ingin diterapkan secara realistis, kita perlu menggabungkan kesadaran psikologis dengan kritik sosial. Menabung bukan sekadar tindakan ekonomi, tapi refleksi budaya. Di banyak komunitas, uang adalah simbol solidaritas, gengsi, atau pelarian. Menyisihkan uang bisa terasa seperti mengkhianati kewajiban sosial—misal: saweran, kondangan, traktiran, keluarga besar, arisan RT, dan hari raya.


Jadi, tafsir yang paling relevan bukan “si miskin harus menabung” atau “yang kaya nggak otomatis sukses.”

Tapi: bagaimana pola pikir dibentuk oleh pengalaman hidup, rasa aman, dan cara masyarakat mendefinisikan martabat? Jurnal Maison membuka celah untuk bertanya, bukan untuk menghakimi. Ia mengguncang asumsi lama, tapi tidak menuntun kita ke jawaban tunggal.


C. Tabrakkan dengan Realitas Kita

 

Mari kita gesekkan temuan Maison dengan kehidupan di Indonesia yang absurditasnya sering mengalahkan logika ekonomi.


Pertama, soal narasi. Indonesia adalah negara yang gemar memotivasi warganya untuk menabung sembari membiarkan harga kebutuhan dasar naik lebih cepat daripada gaji. Ada jargon “Yuk Nabung Saham” sementara 60% masyarakat masih berhutang untuk bayar listrik dan sekolah anak. Jadi, ketika jurnal mengatakan menabung tidak membutuhkan kekayaan, itu bisa terdengar seperti bahan meme jika tidak ditempatkan dalam konteks sosial yang tepat.


Kedua, realitas digital. Media sosial mendorong gaya hidup berbasis pembuktian. Foto liburan, outfit baru, kopi estetik, skincare berlapis, dan tren unboxing barang “self reward” memperkuat budaya belanja impulsif. Ironisnya, sebagian dari mereka yang ikut arus ini bukan dari golongan mapan. Mereka mencicil identitas. Di titik ini, Maison seakan berkata: masalah utama bukan kekurangan uang, tapi kelebihan ilusi.


Lalu soal komunitas. Banyak orang Indonesia masih hidup dalam jaringan sosial yang cair. Pendapatan bukan cuma milik pribadi, tapi “aset komunal.” Anak harus bantu orang tua, saudara harus bantu saudara, teman harus patungan, tetangga harus ikut gotong royong. Menabung dalam struktur seperti ini sering kali dianggap dingin atau egois. Di sinilah pernyataan Maison terasa provokatif: tabungan bisa dianggap pilihan berani, bukan pelit.


Kalau ditarik ke politik identitas, uang sering dijadikan pembeda: siapa “kita” dan siapa “yang lain.” Orang kaya dikagumi sekaligus dicurigai. Orang miskin dikasihani sekaligus disalahkan. Maka narasi “kamu pun bisa menabung” bisa dibaca dengan dua cara—sebagai pemberdayaan atau sebagai pengalihan tanggung jawab. Maison menempatkan masalahnya di skala psikologis, tapi kita yang hidup di negara ini tahu: sistem juga menentukan ruang berpikir seseorang.
 

Namun tetap ada titik relevansi. Banyak orang yang bukan dari kelas menengah atas berhasil menyisihkan uang secara kreatif: lewat arisan kecil, celengan manual, nabung receh, atau menimbun beras dan sembako sebagai “tabungan fisik.” Konsep menabung di sini tidak selalu tentang rekening bank. Ini jauh lebih antropologis dan kontekstual dibanding teori ekonomi formal.


Jadi ketika jurnal ini menyatakan bahwa kekayaan bukan syarat untuk menabung, realitas kita memberi jawaban: benar, tapi konteksnya menentukan bentuknya. Menabung tidak selalu berarti menyisihkan uang dalam bentuk rupiah. Bisa berarti mengurangi risiko masa depan dengan strategi sosial, spiritual, atau material. Di titik ini, temuan Maison menjadi cermin yang memaksa kita bertanya, bukan sekadar mengiyakan atau menolak.
 



Penutup

 

Kalau menabung bukan hak eksklusif orang kaya, barangkali justru kita yang terlalu nyaman menyalahkan dompet untuk membenarkan kebiasaan. Tapi jika kondisi sosial memang membuat sebagian orang hidup tanpa jeda, apa arti nasihat finansial tanpa ruang bernapas? Mungkin bukan soal mampu atau tidak mampu, tapi apakah kita benar-benar ingin mengubah cara memaknai uang. Pada akhirnya, pertanyaannya bukan “siapa yang bisa menabung,” melainkan:

Sampai kapan kita menyerahkan kendali finansial pada nasib dan alasan yang kita pelihara sendiri?


Referensi

Maison, D. (2019). You don’t have to be rich to save money. Frontiers in Psychology. 


Komentar