Di tengah lampu lalu lintas yang berkedip, ada rasa kecil yang naik di dada:
jalanan bukan sekadar aspal dan marka, melainkan panggung klaim. Siapa yang
berhak menggunakan ruang publik, siapa yang merasa aman, siapa yang merasa
terpinggirkan—semua itu menempel pada ritme langkah dan deru kendaraan.
Artikel ini menelisik perasaan itu: bukan untuk memberi resep, melainkan untuk
membuka kaca pembesar atas dinamika kuasa kecil yang membuat jalan terasa
seperti milik segelintir orang saja.
BAGIAN A — Keresahan
Ada pengalaman sehari-hari yang berulang: pejalan kaki menghindar saat motor
memotong trotoar, warung pinggir jalan tutup karena takut bentrok dengan
patroli atau preman, dan ruang-ruang taman yang terasa steril ketika kelompok
tertentu “menguasai” bangku. Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan buruk atau
ketidakpedulian individual; itu cermin pola struktur—siapa yang punya akses,
siapa yang merasa berhak, siapa yang dipaksa mundur. Dalam kota-kota besar,
publik space berubah menjadi arena negosiasi—antara pejalan kaki, pedagang
kecil, pengguna kendaraan bermotor, dan aparat yang menafsirkan aturan sesuai
kepentingan. Ketika aturan diterapkan secara asimetris, jalan berubah fungsi:
dari fasilitas bersama menjadi alat ekspresi kekuasaan.
Rasa “milik” itu juga muncul lewat representasi simbolik. Kendaraan mewah di
pinggir jalan, rombongan yang berkumpul tanpa terasa diawasi, hingga
pemasangan papan komersial yang mendominasi pandangan—semua memberi sinyal
siapa yang berharga di mata kebijakan ruang kota. Ruang publik menjadi
barometer nilai sosial: siapa yang bisa hadir tanpa rasa takut, dan siapa yang
harus menyusutkan tubuhnya agar tak menarik perhatian. Ketidaknyamanan ini
intens bagi perempuan yang berjalan sendirian pada malam hari, bagi pemulung
dan pedagang kaki lima yang terus-menerus didorong ke batas, dan bagi
anak-anak yang kehilangan ruang bermain karena prioritas parkir dan
pembangunan infrastruktur yang tak inklusif. Realitas ini menimbulkan dua
urgensi: pertama, pengakuan bahwa masalahnya struktural; kedua, bahwa perilaku
sehari-hari—yang nampak remeh—sebetulnya adalah medan pertempuran kuasa kecil.
Ada juga dimensi legal-birokratis yang memodulasi siapa “boleh” berada di
jalan. Aturan tata ruang, zoning, hingga teknik penegakan (seringkali
selektif) membuat akses publik dirancang ulang untuk melayani modal dan
keamanan versi tertentu. Tidak jarang, penataan urban yang diklaim demi
“ketertiban” berujung mengeruk ruang bagi bisnis dan menutup kemungkinan
keberadaan kelompok-kelompok rentan. Ketidaksetaraan ini tidak selalu terlihat
sebagai satu tindakan tunggal—melainkan sebagai kumpulan kebijakan dan praktek
sehari-hari yang, sebelum kita sadari, membentuk narasi: jalan ini memang
milik mereka.
BAGIAN B — Analogi
Untuk memahami mengapa jalan terasa sebagai kepemilikan privat dalam balutan
publik, kita harus meminjam lensa teori sosial. Pierre Bourdieu, misalnya,
memberi alat analitik yang tajam: simbolic power—kekuatan yang bekerja lewat
simbol, norma, dan praktik sehingga suatu posisi sosial tampak “wajar”. Ruang
bukan hanya fisik; ia adalah medan simbolik di mana modal ekonomi, sosial, dan
kultural berinteraksi untuk menghasilkan hierarki penggunaan ruang. Ketika
atribut-atribut kelas (kendaraan, pakaian, bahasa tubuh) menjadi penanda
legitimasi, akses pada ruang publik ikut disortir. Bourdieu membantu kita
membaca bahwa klaim atas jalan sering bukan klaim atas tanah, melainkan klaim
atas pengakuan sosial.
Tidak semua hal ada takdir, baca juga apakah hidup sudah di takdirkan seperti ini
Ada juga dimensi tak-lantang berupa “resistensi sehari-hari” yang dijelaskan
oleh studi tentang everyday resistance. James C. Scott dan kajian-kajian
lanjutan menjelaskan bagaimana kelompok bawah mengekspresikan penolakan
terhadap dominasi bukan lewat pemberontakan terbuka, melainkan lewat
tindakan-tindakan kecil: menempati trotoar dengan lapak kecil, memarkir sepeda
di tempat yang tidak seharusnya, atau memutar musik di sudut yang tak disukai
elit setempat. Tindakan-tindakan ini adalah bahasa perlawanan yang halus—bukan
sekadar nakal, tapi strategi bertahan yang mengklaim ruang meski tanpa izin
formal. Membaca fenomena jalan dengan konsep ini memberi kita empati: banyak
perilaku yang dimaknai “mengganggu” adalah upaya keras untuk tetap hidup dan
terlihat.
Kaitannya dengan kuasa formal juga nyata. Negara dan aparat memegang
legitimasi untuk mengatur aliran orang dan kendaraan; namun praktik penegakan
seringkali memantulkan bias: kelompok yang sudah terpinggirkan cenderung
menjadi target. Di beberapa studi tentang pengelolaan taman dan ruang terbuka
publik, para peneliti menunjukkan bagaimana investasi ruang publik seringkali
melayani kelompok kelas menengah hingga atas, sementara akses marginal tetap
dibatasi—baik lewat kebijakan maupun rasa aman yang berbeda antara kelompok
sosial. Ketidaksetaraan ini bukan hanya moral issue; ini juga soal efisiensi
sosial: kota yang mengunci sebagian warga dari penggunaan ruang publik
kehilangan nilai sosial dan ekonomi kolektifnya.
Analogi yang memudahkan: pikirkan jalan sebagai pasar saham sosial—di mana
modal simbolik dan material menawar posisi. Mereka yang punya “modal” (uang,
pengaruh) bisa membeli visibilitas; mereka yang tak punya memilih strategi
lain agar tetap bertahan. Dalam korporasi ruang, jargon seperti
“prioritization of mobility” atau “road diets” berubah menjadi klausa yang
tampak netral namun bermakna politik—siapa yang dimediasi dalam kebijakan
transportasi, dan siapa yang harus menyesuaikan? Bahasa manajemen kota sering
menyamarkan konflik ini lewat istilah efisiensi dan keamanan, padahal
keputusan desain ruang adalah keputusan nilai dan kepentingan.
BAGIAN C — Pertanyaan Terbuka
Kembali ke pengalaman personal: saat kita menyeberang sambil menunduk, saat
pedagang kecil memandangi jalan yang terus bergeser dari mereka, saat
pengendara motor menegaskan kecepatan seakan itu hak primer—semua itu adalah
adegan kecil yang menuntut refleksi batin. Bagaimana kita merawat empati dalam
lalu-lintas? Apakah “ketertiban” yang kita idamkan selalu harus dibayar dengan
pengusiran orang-orang yang paling sempit jalannya? Pertanyaan-pertanyaan ini
bukan soal menimbang benar-salah sederhana; mereka mengajak kita mengukur
ulang prioritas bersama.
Ada godaan manajemen: membuat quick-fix—memasang beton, menertibkan PKL,
mengusir kendaraan—yang tampak produktif di laporan kinerja. Namun solusi
semacam itu seringkali hanya cosmetic change: statistik rapi, indeks
kebersihan melonjak, foto before-after di laporan tahunan, tetapi rasa
kepemilikan ruang publik bagi warga biasa malah kian menipis. Di dunia
korporat, itu disebut “optimasi KPI tanpa memperbaiki pengalaman pengguna”; di
ruang publik, itu bernama penghapusan hak berpartisipasi. Sebuah kota yang
sehat bukan hanya kota dengan lalu lintas lancar, melainkan kota yang
memfasilitasi keberagaman penggunaan ruang.
Pertanyaan lain yang mengusik: bisakah kita merancang tata ruang yang
meminimalkan klaim privat atas publik? Bentuk solusi praktis berkisar dari
kebijakan redistributif—misalnya alokasi area untuk PKL yang legal dan
layak—hingga desain infrastruktur yang mengutamakan pejalan kaki dan
transportasi publik. Namun di balik solusi teknis ada pertanyaan etis: siapa
yang diajak berbicara saat kebijakan dibuat? Partisipasi warga—terutama mereka
yang selama ini terpinggirkan—bukan sekadar PR sosial; ia adalah prasyarat
legitimasi. Tanpa partisipasi, setiap intervensi berisiko menjadi proyek
top-down yang memindahkan masalah saja.
Bergulat dengan realitas juga menuntut introspeksi individual: saat kita
menggerutu karena macet, seberapa sering kita mempertimbangkan kontribusi kita
pada sistem? Saat kita mengeluh tentang parkir liar, apakah kita pernah
melihat sisi alasan mereka? Ini bukan ajakan memaafkan kelalaian—melainkan
mengajak dialog yang lebih kaya: antara kepatuhan hukum dan kondisi nyata
hidup. Politik jalan bukan hanya urusan aktivis; ia adalah urusan tetangga,
ibu yang pulang malam, pemulung, pengemudi ojek, dan petugas kebersihan.
Menghidupkan diskusi ini berarti membuka ruang bagi kebijakan yang tidak hanya
efisien di atas kertas, tetapi adil dalam pengalaman sehari-hari.
Penutup
Jika jalan bisa bicara, barangkali ia akan mengajukan satu pertanyaan
sederhana: untuk siapa aku dibangun? Jawaban yang sempit—hanya untuk
kendaraan, hanya untuk bisnis, hanya untuk estetika—akan terus membuat kota
terasa seperti panggung bagi beberapa aktor saja. Sebaliknya, jawaban yang
luas—membangun ruang yang memampukan kehadiran beragam—membutuhkan kerja,
kompromi, dan kesediaan untuk menanggung keruwetan demokrasi. Mungkin jalan
yang kita inginkan bukan jalan yang serba tertib dalam laporan tahunan,
melainkan jalan yang kadang gaduh, kadang berantakan, tetapi hidup; tempat
suara-suara kecil bisa bergema tanpa terusir oleh mesin yang lebih kuat.
Referensi
1. Hoover, F.-A., & Lim, T. C. (2020). Examining privilege and power in US
urban parks and open space during the double crises of antiblack racism and
COVID-19. Socio-Ecological Practice Research.
2. Vinthagen, S., & Johansson, A. (2013). “Everyday resistance”:
Exploration of a concept and its theories. Resistance Studies Magazine.
.
3. de Moraes Paula, P. A. (2022). Social control in the road and urban
contexts. (contoh studi tentang kontrol sosial di jalan). .
4. Bourdieu, P. (1989). Social Space and Symbolic Power. (terjemahan &
reinterpretasi). .
5. Brookings Institution. Exploring the often fraught relationship between
public spaces and social divides.
Komentar
Posting Komentar