Kadang kita merasa pernah menyimpan bara kecil dalam dada—tentang sesuatu
yang ingin diubah, diperjuangkan, atau dihancurkan. Tapi entah sejak kapan,
bara itu seperti basah oleh keringat, rutinitas, dan jam kerja yang tak
mengenal belas kasihan. Kita menyebutnya tanggung jawab, realita,
kedewasaan, atau sekadar bertahan hidup. Ada yang dulu ingin mengguncang
dunia, kini hanya sibuk mengganti baterai motor dan menambal cicilan. Ada
yang pernah marah pada ketidakadilan, kini sibuk mengatur jam tidur agar tak
kesiangan kerja. Lelah jadi alasan yang tak pernah diucapkan, tapi terasa di
seluruh persendian. Lalu, apakah revolusi itu mati, atau hanya diam menunggu
kita sadar kembali?
ISI
BAGIAN A — Realitas
Dunia hari ini tak dibangun dari ide-ide besar, melainkan dari notifikasi,
tenggat, dan rasa takut kehilangan penghasilan. Orang-orang berjalan seperti
arus lalu lintas: tertib, tergesa, saling mendahului tapi tak pernah
benar-benar berhenti untuk bertanya hendak ke mana. Yang dulu suka berdiskusi
tentang perubahan kini lebih sering membungkam diri di sela rapat daring,
group chat kantor, atau daftar belanja. Mereka tak hilang; mereka hanya
digilas.
Anak-anak muda yang dulu menggambar masa depan di buku catatan kini menggambar
target tabungan dan cicilan kontrakan. Mereka yang dulu percaya bahwa hidup
tak boleh diarahkan sistem kini justru hidup dari sistem, untuk sistem, dan
dalam sistem. Tak ada jeda merenung, tak ada keberanian menyimpang, hanya
terus bergerak seperti konveyor berjalan, membawa tubuh tapi meninggalkan
jiwa.
Seseorang pernah ingin menjadi seniman penantang zaman, tapi kini membuka
laptop hanya untuk kerja lembur. Yang dulu ingin menumbangkan tradisi usang
kini bahkan tak sempat membaca satu buku dalam sebulan. Mereka bukan berubah
pikiran, mereka kehabisan napas. Pelan-pelan, tubuh belajar diam, pikiran
belajar kompromi, dan mimpi belajar tak berisik.
Di kafe, kereta, atau ruang tunggu rumah sakit, kamu bisa melihat wajah-wajah
yang tak lagi menolak apa pun. Mereka bicara ekonomi, cuaca, gosip kerja—tapi
tidak lagi mempertanyakan arti hidup atau siapa yang mengatur arah sejarah.
Bukan karena mereka bodoh, melainkan karena lelah membentur tembok yang tak
pernah runtuh.
Lelah bukan sekadar capek fisik. Ia seperti kabut pekat yang menyelinap lewat
tagihan listrik, jam kerja panjang, pesan dari atasan, rasa takut miskin, dan
keinginan sederhana untuk tak merepotkan siapa pun. Lalu hari berganti minggu,
minggu menjadi tahun, dan seseorang mulai berkata ke dirinya sendiri: mungkin
hidup memang begini.
Di balik gaji pas-pasan dan komitmen sosial media, ada kerinduan yang tak
sempat dilihat. Kerinduan untuk mengguncang, bukan hanya bertahan. Namun
semakin lama, ingatan tentang masa-masa ketika amarah terhadap keadaan terasa
sah dan masuk akal mulai tergerus. Kita bertanya, “Untuk apa capek-capek
melawan, kalau yang melawan saja tak dijamin hidup?” Maka diam menjadi dalih,
dan keheningan menjadi kompromi.
Bahkan kemarahan kini dijinakkan menjadi konten: kritik dijahit dalam jokes,
keresahan dibungkus estetika, dan protes dikurung di caption panjang yang tak
pernah keluar dari layar. Dunia memberi panggung untuk bicara, tapi memotong
kaki yang ingin melangkah. Saat revolusi jadi ornamen narasi, kelelahan jadi
kuburnya yang tak diberi nisan.
BAGIAN B - Analogi
Friedrich Nietzsche pernah berkata bahwa manusia modern sedang kehilangan “api
besar” dalam dirinya; mereka menggantinya dengan lampu-lampu kecil yang tak
menghangatkan apa pun. Kalau Nietzsche hidup hari ini, mungkin ia akan melihat
revolusi tidak mati oleh kekerasan, tapi oleh keakraban: terlalu banyak
disesap sebagai wacana, terlalu sedikit dihayati sebagai tindakan.
Simone Weil menulis tentang “keletihan jiwa”—bukan sekadar rasa capek, tapi
kelelahan yang membuat manusia berhenti mempercayai bahwa perubahan mungkin.
Menariknya, kelelahan jenis ini tak datang tiba-tiba; ia merambat seperti
rayap, menumbangkan dari dalam, membuat seseorang berkata: aku tidak menyerah,
hanya realistis. Realistis di sini bukan kebijaksanaan, tapi bentuk lain dari
pelupaan terhadap keberanian.
Albert Camus menawarkan gambaran tentang Sisyphus, manusia absurd yang terus
mendorong batu ke puncak meski tahu batu itu akan jatuh lagi. Tapi hari ini,
banyak orang bahkan tak sempat menyentuh batu. Mereka hanya berdiri melihat
dari jauh, lalu berkata: mungkin nanti. Lalu berlalu.
Dalam filsafat eksistensial, kebebasan bukan soal pilihan, tapi keberanian
menegaskan makna. Namun makna tak tumbuh di atas tanah yang dipenuhi kelelahan
kolektif. Hannah Arendt membedakan kerja, penciptaan, dan tindakan. Tindakan,
bagi Arendt, adalah kemampuan manusia mengubah keadaan melalui keberanian
tampil dan berbicara. Tapi siapa yang sempat tampil jika hari-harinya habis
untuk menjaga ritme napas di antara dua shift kerja? Maka tindakan mengecil
jadi rutinitas, dan rutinitas menggantikan sejarah.
Mari tarik analogi lain: ada orang yang membawa obor untuk menerangi jalan,
tapi angin yang memburu hidupnya terlalu kencang. Ia lalu mengganti obor
dengan korek kecil. Lama-lama, korek itu tak pernah dinyalakan lagi, karena
cahaya lampu jalan sudah dianggap cukup.
Sementara itu, dunia sedang menyesuaikan strategi melumpuhkan perlawanan. Dulu
orang ditangkap, dibungkam, diasingkan. Kini cukup diberi konten, beban
hutang, dan Wi-Fi. Tubuh tetap bebas bergerak, tapi pikiran dibius oleh banjir
informasi yang membuat kemarahan kehilangan arah. Michel Foucault melihat
kekuasaan modern tak bekerja dengan rantai, tapi dengan kebiasaan. Bukan
melarang, tapi membentuk. Bukan mengekang, tapi menuntun.
Revolusi yang mati dalam lelah bukan revolusi yang dikalahkan; ia dibiarkan
tidur panjang dengan selimut kenyamanan semu. Lelah direkayasa menjadi wajar.
Keinginan mengubah dunia direduksi menjadi ambisi pribadi. Perlawanan
direstorasi menjadi karier aktivisme yang bisa dikapitalisasi.
Baca juga, salah satu tokoh revolusi,
napoleon yang hanya dipahami sebagai pahlawan perang
Bayangkan seseorang yang dulu ingin mengguncang zaman kini terlibat dalam
rapat-rapat proyek sosial yang sibuk mengukur dampak tetapi lupa bertanya apa
yang sebenarnya ingin diguncang. Atau mereka yang mengutip tokoh-tokoh besar
tapi tak pernah lagi merasakan gemetar di dada ketika menyebut kata
“perlawanan.”
Lelah juga punya estetika. Ia disulap menjadi konten self-care, motivasi
pasif, atau slogan-slogan pasrah yang dibungkus afirmasi positif. Tidak ada
yang salah dengan istirahat. Yang keliru adalah ketika istirahat menjadi
kuburan niat.
Sebuah revolusi mati tidak ketika ditembak, tapi ketika tidak lagi dipercaya
bahkan oleh mereka yang dulu membawanya dalam dada. Manusia menerima struktur
sosial seperti menerima cuaca: tak bisa diubah, hanya bisa ditahan. Padahal
pernah ada masa ketika orang menganggap struktur itulah yang harus diganti.
Pertanyaannya: apakah revolusi benar-benar mati, atau tubuh kita yang terlalu
letih untuk mendekatinya lagi? Mungkin ia masih ada, tapi berdiri jauh di
belakang tumpukan kalender, invoice, dan kewajiban sosial. Ia menunggu
dipanggil, bukan sebagai romantisme, tapi sebagai keputusan.
BAGIAN C - Pertanyaan Terbuka
Coba dengarkan dirimu sendiri dalam sunyi yang jarang kamu sapa. Di sela-sela
kantuk dan sisa pekerjaan, tidakkah ada suara kecil yang masih menyimpan
dendam terhadap keteraturan yang mencekik? Suara itu tidak selalu lantang.
Kadang ia hanya muncul dalam rasa muak yang tak jelas sumbernya, atau dalam
amarah tiba-tiba saat melihat ketidakadilan yang sudah terlalu sering lewat di
depan mata.
Mungkin kamu berpikir: aku cuma ingin hidup tenang. Tapi sejak kapan tenang
berarti berhenti melawan? Bukankah dulu kamu juga ingin tenang, tapi dalam
dunia yang berubah, bukan dunia yang memaksa tunduk? Tenang versi siapa yang
sedang kamu bela?
Ada yang pelan-pelan mulai lupa bahwa dirinya pernah membayangkan hidup lain.
Mereka mengira amnesia itu kedewasaan. Mereka berkata dunia takkan berubah,
padahal yang berubah hanya jumlah hari yang mereka biarkan lewat tanpa
menanyakan apa-apa. Akhirnya banyak yang merasa bersalah diam-diam, tapi sibuk
mencari istilah supaya tidak terdengar kalah.
Pernahkah kamu merasa bersalah pada dirimu yang dulu? Bukan karena gagal
mencapai sesuatu, tapi karena kau berhenti mencoba. Ada perasaan asing yang
muncul ketika kamu membaca berita, melihat ketidakadilan, atau mendengar
seseorang diperlakukan semena-mena—dan kamu hanya menelan ludah, menekan
layar, lalu lanjut bekerja. Kamu tahu ada yang hilang, tapi kamu tak tahu
bagaimana menyebutnya.
Beberapa orang mengira mereka sudah berdamai dengan dunia. Padahal mereka
hanya berhenti menolak. Damai yang lahir dari kelelahan bukan damai, melainkan
bisu yang disepakati. Di titik inilah revolusi tak mati, hanya kehilangan
tubuh untuk dititipi.
Kamu mungkin bertanya, apa gunanya bertanya lagi soal ini? Jawabannya
sederhana: karena tubuh yang lelah tidak layak dijadikan alasan untuk membunuh
api. Apalagi jika api itu bukan milikmu sendiri, tapi milik semua generasi
yang pernah berharap sebelum kamu. Mungkin kamu tak siap berjalan, tapi
setidaknya jangan biarkan bara padam total.
Ada saatnya diam menjadi bentuk perlawanan, tapi diam yang hanya lahir dari
letih adalah bentuk lain dari menyerahkan kunci rumah tanpa ditanya. Kamu
tidak perlu berteriak, tapi kamu juga tak harus menjadi patung di tengah arus.
Mungkin jalan keluar bukan mengguncang dunia sekaligus, tapi mengakui bahwa
sesuatu dalam dirimu belum selesai.
Dan jika kamu masih membaca sejauh ini, mungkin revolusimu belum mati
sepenuhnya. Ia hanya sedang duduk, kehausan, menunggumu berhenti menipu diri.
Lelah boleh ada, tapi jangan sampai ia menjadi nama lain dari penyerahan diri.
Penutup
Ada orang yang berjalan jauh tanpa tahu ia sedang menjauh dari dirinya
sendiri. Ada pula yang diam tapi sebenarnya sedang bergerak di dalam, seperti
benih yang menunggu musim. Mungkin revolusi tidak mati, hanya kehilangan pintu
untuk keluar. Mungkin lelah bukan kuburan, hanya kabut yang membuat kita lupa
arah.
Bayangkan jika suatu hari kamu bangun dan mendengar bisikan lama itu kembali:
bukan ajakan perang, tapi ajakan mengingat. Mengingat bahwa hidup bukan
sekadar menjaga api kecil agar tak padam, tapi memastikan ia tetap mencari
bahan bakarnya sendiri.
Pertanyaannya bukan lagi: mampukah kita melawan? Tapi: beranikah kita mengakui
bahwa kita pernah ingin melawan, sebelum lelah mengambil alih lidah dan
langkah? Jika hati masih bisa terusik meski sedikit, mungkin itu cukup untuk
menghidupkan kembali sesuatu yang kita kira telah tiada.
Dan bila revolusi itu memang mati dalam lelah, pertanyaannya tinggal satu:
siapa yang menguburkannya, dan apakah kita rela membiarkannya membusuk tanpa
nama?
Referensi
Tulisan ini terinspirasi oleh gagasan filsuf tentang kelelahan eksistensial
dan matinya daya perlawanan: Nietzsche tentang nihilisme aktif, Simone Weil
tentang keletihan jiwa, Camus tentang absurditas, Hannah Arendt tentang
tindakan, serta pengamatan Foucault tentang kuasa yang membentuk kepatuhan
tanpa paksaan.
Komentar
Posting Komentar