Kita hidup di era ketika mesin tampak belajar cepat — bukan sekadar menghitung
atau menerjemah, melainkan meniru intuisi, menyusun argumen, bahkan menulis
puisi yang merayap masuk ke kotak surat kita. Di saat yang sama, manusia
mengeluhkan satu rasa kehilangan: kemampuan yang dulu terasa seperti milik
batin kita, kini kian ringan disentuh dan mudah diserahkan pada antarmuka. Ini
bukan hanya soal pekerjaan yang bergeser atau daftar tugas yang otomatis; ini
soal kebiasaan berpikir, ketahanan perhatian, dan pembentukan makna. Di antara
decibel inovasi, ada bisik-bisik: apakah setiap dorongan memanfaatkan AI
berarti kita menyerahkan sesuatu yang tak tergantikan.
BAGIAN A. Keresahan
Bangku kerja berubah menjadi meja bersama: AI bukan lagi alat di tepi,
melainkan rekan yang duduk tepat di sebelah kita — menyarankan kalimat,
memeriksa kode, merancang slide, bahkan memilih nada email. Untuk banyak
orang, produktivitas naik; deadline yang dulu menekan kini terasa manageable.
Namun di balik efisiensi itu tumbuh gejala yang lebih halus: lupa proses,
kehilangan detail, dan sensasi “kompetensi ilusi” — keyakinan salah bahwa kita
masih menguasai sesuatu padahal keterampilan sebenarnya sudah tumpul karena
jarang dipakai. Penelitian konseptual dan empiris menaruh perhatian pada
kemungkinan AI mempercepat peluruhan keterampilan; asisten cerdas bisa membuat
ahli tak lagi latihan pada tingkat yang sama, atau pelajar tidak lagi melatih
pemikiran kritis karena jawaban tersedia instan.
Perhatian manusia pun menjadi lahan baru perebutan. Telepon pintar dan layanan
generatif bersaing bukan hanya untuk waktu kita, tetapi untuk fragmen
perhatian terkecil: menit, detik, pemikiran yang nyaris tak disadari.
Percobaan intervensi sederhana — seperti memblokir akses internet pada ponsel
selama periode tertentu — menunjukkan efek nyata: perhatian terjaga lebih
lama, kesejahteraan subyektif membaik. Ini bukannya nostalgia terhadap
produktivitas kuno; melainkan bukti bahwa struktur teknologi memengaruhi
kapasitas kognitif secara langsung. Jika perhatian manusia adalah modal,
kebocoran kecil itu bisa mengikis kemampuan kita untuk berpikir panjang dan
menahan godaan solusi cepat.
Lalu muncul efek sistemik: ketika tugas rutinitas diambil alih, pasar kerja
menuntut keterampilan baru — bukan hanya teknis, melainkan kemampuan untuk
mengawasi, memvalidasi, dan menilai keluaran mesin. Ini memindahkan beban dari
“melakukan” ke “mengawasi” dan kadang ke “membenarkan”. Bagi sebagian pekerja,
transisi ini membuka peluang; bagi banyak lainnya, ia menjadi sumber
ketidakpastian identitas profesional. Batas antara peningkatan dan
penghilangan kerja menjadi tipis: pekerjaan yang tampak bertahan diam-diam
berubah sifatnya sehingga orang harus belajar kembali makna profesi
mereka.
Keresahan paling pribadi muncul di ritual pembelajaran dan ingatan. Sejak
pierwszy komputer menyimpan catatan, manusia secara bertahap mengalihkan
fungsi memori ke perangkat eksternal. Kini AI menjanjikan lebih dari sekadar
penyimpanan: ia menawarkan sintesis, inferensi, dan rekomendasi — kemampuan
berpikir yang dulu hanya milik otak kita. Kapan kita berhenti mengasah ingatan
fakta, argumentasi, atau prosedur karena ada “teman” yang selalu menjawab? Ada
keuntungan nyata: beban working memory turun, tugas kompleks jadi mungkin.
Namun simultan, ada risiko yang sama nyata: ketergantungan yang tertutup oleh
kebiasaan—kita tidak melihat pelan-pelan ketika kompetensi kita menguap.
Konsep offloading kognitif ini bukan hal baru; buku besar pemikiran kognitif
sudah lama mengamati cara manusia memperluas pikirannya lewat alat. Kini alat
itu lebih lincah dan menggoda.
BAGIAN B. Analogi
Bayangkan seorang tukang kayu pada abad ke-19 yang, untuk membuat bingkai
pintu lebih cepat, mendapat mesin gergaji—mesin yang melakukan sebagian besar
pekerjaan kasar. Mesin itu tidak hanya menggantikan tenaga; ia mengubah gaya
kerja sang tukang. Kemahiran memahat ulekan menjadi berkurang jika gergaji
melakukan pekerjaan kasar selamanya. Analogi ini membantu, tetapi kurang: AI
tidak hanya mengotomatisasi kerja kasar; ia memasuki wilayah penilaian,
interpretasi, dan imajinasi — wilayah yang dulu dianggap hampir eksklusif
manusiawi. Maka kita perlu memperluas metafora: bukan hanya tukang kayu, tapi
juga penerjemah, guru, dan dokter yang alatnya kini dapat memberi nasihat
diagnostik.
Filsafat pragmatisme mengingatkan bahwa alat mencipta lingkungan moral baru.
Ketika kita menyerahkan fungsi kognitif, kita juga memindahkan tanggung jawab
epistemik: siapa bertanggung jawab jika saran AI menyesatkan? Di satu sisi, AI
bisa menjadi ekstensi kecerdasan kolektif — mempercepat penemuan, membantu
keputusan kompleks. Di sisi lain, ia bisa mengikis kondisi epistemik yang
memelihara kebiasaan analitis: latihan, kesalahan yang dikoreksi, diskursus
panjang yang membentuk kebiasaan berpikir. Hegel menulis tentang kerja yang
membentuk identitas; hari ini kerja intelektual yang dibantu mesin membentuk
identitas pemikir. Jika prosesnya dipersingkat, identitas itu berubah.
Tokoh modern seperti Nicholas Carr pernah menulis bahwa “Internet membuat kita
bodoh”—klausa provokatif yang bukan tentang kapasitas otak biologis semata,
melainkan tentang pola penggunaan yang melunakkan latihan mental. Kita bisa
menambahkan satu frasa: AI membuat kita efisien dalam menjawab, namun rawan
kehilangan praktik bertanya. Efisiensi ini bukan neuter; ia membawa nilai.
Dalam bahasa perusahaan: kita naik KPI, tapi mungkin menurunkan KQ — Knowledge
Quality. Organisasi yang mengadopsi AI tanpa desain pembelajaran yang
disengaja berisiko mengalami “pengalihan kompetensi” — dimana tindakan benar
dilakukan tanpa pemahaman mendasar.
Konsep lain yang berguna adalah “ilusi kompentensi” (illusion of competence).
Ketika antarmuka memberi jawaban rapi, pengguna sering salah membaca sinyal:
keluarannya tampak benar, sehingga latihan kritis dikesampingkan. Ini menjadi
masalah pendidikan: pelajar yang menyontek dari model generatif tidak sama
dengan pelajar yang berlatih argumen. Pendidikan harus mendesain ulang
assessment: bukan hanya tentang jawaban akhir, tetapi tentang proses—jejak
berpikir yang tak mudah diotomatiskan. Desain semacam ini menuntut bahasa
evaluasi baru, rubrik yang menilai proses pengambilan keputusan, validasi
sumber, dan kemampuan metakognitif.
Ada pula dimensi etis: teknologi tidak netral. Ketika perusahaan membangun
produk yang mengoptimalkan keterlibatan, mereka mengukir ritme perhatian
pengguna. Ketika perusahaan lain menjual alat yang “menghemat waktu”, mereka
menggeser beban kognitif ke lapisan baru — misalnya kebutuhan untuk
memverifikasi hasil AI, memahami batasan, dan menjaga keterampilan. Dalam
terminologi manajemen: kita menukar CAPEX (investasi alat) dengan OPEX
kognitif (biaya menjaga kualitas pengetahuan manusia). Jika organisasi hanya
mengejar pengurangan biaya jangka pendek, mereka mungkin kehilangan aset
jangka panjang: kemampuan kolektif untuk berpikir, memverifikasi, dan
berinovasi tanpa autopilot.
Namun bukan berarti tak ada jalan tengah. Beberapa penelitian awal menunjukkan
bahwa penggunaan AI yang dirancang untuk memperkuat latihan (misalnya:
memberikan feedback yang menuntut penjelasan langkah-langkah) dapat mencegah
peluruhan keterampilan. Desain instruksional yang bijak bisa mengubah AI dari
“penyapu bersih” menjadi “alat pelatih”: ia membantu menyaring jawaban, tetapi
memaksa pengguna untuk menjelaskan, menguji, dan mempertahankan jejak
berpikir. Singkatnya, perbedaan antara kemajuan yang memperbudak dan kemajuan
yang memberdayakan ada pada arsitektur antarmuka dan kebijakan
organisasi.
Sedikit pertanyaan, apakah AI adalah sumber hoax baru? Baca juga, Infomasi Instan
BAGIAN C. Pertanyaan Terbuka
Kita perlu bertanya, dengan nada yang lembut namun tak malu-malu: apa yang
ingin kita pelihara dari diri kita manusia? Apakah tujuan teknologi hanya
membuat hidup lebih mudah, atau juga membentuk kualitas batin: ketahanan
berpikir, kemampuan meragukan, dan kelaparan untuk pemahaman mendalam? Ada
ambivalensi yang jujur di sini; kenyamanan memiliki nilai, terutama bagi
mereka yang hidupnya penuh beban. Mengurangi waktu administratif agar manusia
bisa fokus pada aspek kemanusiaan kerja adalah moral yang sah. Tapi ketika
kenyamanan menghabisi praktik yang membentuk kapasitas manusia, kita harus
waspada.
Refleksi ini bukan seruan luddite. Ini seruan arsitektural: rancang sistem
dengan tujuan menjaga latihan manusia. Contoh konkrit: di institusi
pendidikan, tetapkan tugas yang tidak bisa diselesaikan oleh prompt
singkat—tugas yang menuntut proses dokumentasi, refleksi, dan interaksi
panjang. Di perusahaan, bangun protokol verifikasi output AI: jangan hanya
menerima ringkasan; minta jejak keputusan. Di kehidupan pribadi, praktik kecil
seperti menulis manual tanpa bantuan generatif beberapa kali sebulan bisa
menjaga otot-otot berpikir kita tetap kuat. Ini semua terdengar seperti
birokrasi—dan memang, itu membutuhkan desain kebiasaan.
Ada pula persoalan estetika: manusia bukan hanya mesin optimasi. Ada nilai
pada kekurangan, pada kesalahan yang memicu kreativitas. Ketika AI menutup
celah-celah kesalahan, kita mungkin juga menutup jalan bagi penemuan tak
disengaja. Sebaliknya, AI bisa menjadi spark: memperlihatkan kemungkinan,
memaksa kita berpikir ulang tentang masalah lama. Kuncinya adalah posisi kita
relatif pada alat itu: apakah kita masih guru yang memanfaatkan bantuan, atau
menjadi tukang yang bergantung penuh pada gergaji otomatis?
Apakah rasa nyaman membuat kita suka hal instans, baca juga informasi alias viral
Pertanyaan terbuka terakhir: siapa yang menentukan desain-arsitektur ini? Di
mana insentif untuk menjaga kapasitas manusia? Jawabannya fragmentaris:
regulator, institusi pendidikan, perusahaan teknologi, dan komunitas
profesional semua memiliki peran. Namun tanggung jawab moral individual juga
penting—kita masing-masing membuat pilihan kecil setiap hari: menekan tombol
“generate” atau menulis paragraf sendiri; mempercayai ringkasan otomatis atau
membaca sumber asli. Kolektif dari pilihan tersebutlah yang akhirnya mengukir
budaya intelektual kita.
Penutup
Kemajuan AI menyeret kita ke persimpangan yang tak sepolos angka-angka
performa. Di satu jalur, ada efisiensi yang memukau; di jalur lain,
pelan-pelan, praktik-praktik mental yang membentuk kita kehilangan medan
latihan. Kita tidak perlu memilih antara teknologi dan martabat manusia
seperti memilih antara dua musuh; pilihan yang lebih bijak adalah merancang
bagaimana teknologi masuk ke dalam ritme hidup—sebagai pelatih yang menantang,
bukan pencabut praktik. Ingatlah: alat yang baik memperluas kemampuan tanpa
menghapus proses yang memberi arti. Jika kita gagal menjaga ritual latihan
berpikir, kita mungkin akan bangga dengan KPI sementara, lalu bingung ketika
struktur mesin berubah. Jadi pertanyaannya mengambang di udara, menunggu
jawaban yang bukan hanya teknis, melainkan etis dan estetis: bagaimana kita
ingin menjadi manusia di masa ketika kecerdasan buatan semakin cakap?
Referensi
1. Macnamara, B.N. (2024). Does using artificial intelligence assistance
accelerate skill decay? Cognitive Research: Principles and Implications.
2. Castelo, N. et al. (2025). Blocking mobile internet on smartphones improves
sustained attention, mental health, and subjective well-being. PNAS Nexus.
PDF.
3. Chen, Y. et al. (2025). Effects of generative artificial intelligence on
cognitive effort... (open access). PubMed Central.
4. Dror, I. (2008). Offloading Cognition onto Cognitive Technology. arXiv
PDF.
5. “The Future of Work is Blended, Not Hybrid.” (2025). arXiv.
Komentar
Posting Komentar