Ada sesuatu yang membuat bangsa ini menoleh ketika ia berjalan — bukan sekadar
sepatu hitam atau peci yang rapi, melainkan bayangan sejarah yang menempel
pada langkahnya. Prabowo Subianto hadir bukan hanya sebagai figur politik; ia
adalah simpul antara ingatan kolektif dan tuntutan masa kini. Bagaimana kita
membaca tokoh yang mampu memimpin ribuan orang sekaligus membawa kontroversi
yang menempel sepanjang kariernya? Pertanyaan ini bukan soal pembelaan atau
kecaman instan; ini soal bagaimana sejarah dan ambisi bersinggungan dalam
tubuh seorang manusia politik.
Bagian A — Latar Belakang
Ada dua hal yang membentuk citra awal Prabowo: latar militer dan narasi
keluarga. Lahir dari posisi keluarga yang terhubung dengan elite
bisnis-politik, ia tumbuh di lingkungan yang menanamkan disiplin, jaringan,
dan sensasi urgensi nasional. Ketika muda, jalurnya diarahkan ke dunia militer
— sebuah ekosistem yang mengajarkan kepatuhan, hierarki, dan pola pikir yang
sering kali mengutamakan efisiensi tindakan di atas debat moral panjang.
Bayangkan anak yang belajar soal strategi sebagai bahasa sehari-hari; baginya,
politik adalah lanjutan dari taktik tempur dalam arena sipil. Namun, narasi
ini tidak datang sendiri: ketika identitas militer melekat kuat, publik mulai
menaruh harap pada kepastian yang diberikannya—kekuatan untuk menata,
menegakkan, memproteksi. Dalam konteks Indonesia pasca-Soeharto, sebuah figur
yang tampak tegas dan mampu menyediakan "stabilitas" menjadi komoditas politik
yang mahal.
Tetapi stabilitas itu selalu berharga dengan harga yang berbeda-beda. Untuk
sebagian orang, ia adalah simpul harapan: pemimpin yang bisa menertibkan
ekonomi, birokrasi, dan ancaman luar. Untuk sebagian lain, ia adalah pengingat
lukanya sejarah—bayangan operasi-operasi militer yang tak pernah benar-benar
selesai diperiksa oleh ruang publik. Lahir dari dua dunia—elit dan
militer—Prabowo belajar berbicara dalam dua nada: satu nada tegar yang
menenangkan para patron kekuasaan, dan satu nada retoris yang bisa
membangkitkan naluri protektif publik. Narasi ini membentuk gaya politiknya:
tak sekadar berjanji, tetapi berupaya menampilkan keamanan sebagai produk yang
bisa dijual kepada rakyat.
Bagian B — Pergulatan Pemikiran
Gelisah yang mengitari Prabowo bukan semata soal ambisi. Ia adalah gelisah
yang lahir dari persilangan trauma nasional, tuntutan rekonsiliasi, dan
dorongan untuk membuktikan legitimasi. Dalam rentang kariernya, muncul
akumulasi tuduhan pelanggaran hak asasi manusia—kasus yang terkait dengan
operasi militer di akhir rezim Orde Baru dan konflik di Timor Timur—yang
mengikat citra publiknya dalam simpul kontroversi. Laporan-laporan hak asasi,
investigasi lembaga internasional, dan seruan kelompok-kelompok hak asasi
menempatkan Prabowo dalam posisi yang paradoksal: seorang pemimpin yang
dianggap oleh banyak orang sebagai pelindung, sekaligus sosok yang menurut
beberapa pihak harus dimintai pertanggungjawaban atas tindakan masa lampau.
Krisis personal dan politiknya juga tampak sebagai pergulatan antara kebutuhan
akan legitimasi dan realpolitik. Setelah kehilangan pilihan presiden beberapa
kali, strategi rehabilitasi citra dimulai: dari retorika nasionalis yang
menekankan kedaulatan, hingga memasuki ruang pemerintahan sebagai menteri
pertahanan—sebuah gerakan yang oleh sebagian analis dipandang sebagai
"reklamasi" posisi elite dan sarana untuk memetakan ulang wacana keamanan
nasional. Penempatan dirinya ke kursi menteri pertahanan membuka ruang baru:
ia tidak lagi hanya beretorika dari luar, tetapi ikut menata instrumen
negara—anggaran, kerjasama internasional, dan kebijakan modernisasi militer.
Keputusan-keputusan politik yang diambilnya menggambarkan pola pikir:
prioritaskan kapabilitas, bangun institusi, dan gunakan jaringan elite untuk
mencapai tujuan. Tetapi pilihan tersebut memunculkan gesekan: penguatan
militer dan prioritas anggaran pertahanan sering bertemu kritik dari kelompok
pro-demokrasi yang menyorot rekonsiliasi hak asasi manusia yang belum tuntas.
Analisis pengamat menyebut ini sebagai dilema klasik antara stabilitas yang
diklaim dan keadilan yang tertunda—sebuah ketegangan yang tidak mudah
diselesaikan oleh wacana moral semata.
Dari perspektif batin, sulit membayangkan perjalanan seorang pria yang harus
menyeimbangkan beban reputasi masa lalu dengan tuntutan memimpin hari ini. Ada
pola yang jelas: ketika tekanan moral menekan, responsnya adalah mengamankan
pusat kekuasaan—membangun koalisi, menata kabinet, dan memonopoli narasi
kepentingan nasional. Itu bukan hanya strategi; itu juga cara menutup luka
reputasi dengan prestasi administratif—jalan yang ringkas namun kontroversial,
karena prestasi yang dibangun seringkali dibayar dengan kompromi terhadap
harapan-harapan rekonsiliasi yang lebih lambat bergerak.
Bagian C — Gagasan
Dalam aspek gagasan, Prabowo menyajikan beberapa pilar: nasionalisme ekonomis,
prioritas keamanan, dan pendekatan pragmatis terhadap diplomasi—semua dibalut
bahasa kemandirian dan modernisasi. Nasionalisme ekonomis pada dasarnya adalah
janji bahwa negara harus lebih aktif mengarahkan pembangunan ekonomi: proteksi
industri, peningkatan kapasitas lokal, dan peran negara yang lebih besar dalam
proyek strategis. Itu terdengar seperti resep korporat yang familiar:
portofolio negara harus diatur ulang agar lebih efisien, sinergi antara baitul
mal dan perusahaan negara harus dimaksimalkan—bahasa yang akrab dalam
manajemen korporasi, tapi diadopsi ke ranah publik.
Sikapnya terhadap keamanan mengandung dua hal penting. Pertama, ia menempatkan
modernisasi alat utama sistem persenjataan dan upaya membangun industri
pertahanan domestik sebagai prioritas—strategi yang ia pandang sebagai
investasi jangka panjang untuk kedaulatan. Kedua, ada doktrin retoris: negara
harus kuat agar damai. Dalam retorika ini, militer bukan semata alat represif,
melainkan pilar pembangunan — sebuah framing yang merendahkan gema kritik
sejarah dan mengangkat citra TNI sebagai mitra dalam pembangunan nasional.
Namun framing ini juga menyuburkan kekhawatiran: kapan modernisasi beralih
menjadi militarisasi kebijakan publik?
Dalam diplomasi, sikapnya pragmatis: jaga relasi strategis dengan banyak
kekuatan, jangan kunci pilihan menjadi pro satu blok. Ini mudah diucapkan,
namun rumit di praktik—apabila negara membeli peralatan dari berbagai negara,
implikasinya geopolitik besar. Proyek-proyek investasi asing, kerja sama
militer, dan pergeseran orientasi pembelian alat perang menempatkan Indonesia
pada simpul persaingan hegemoni yang lebih besar. Di sini terlihat kebijakan
yang memadukan realpolitik dan narasi kedaulatan: mengamankan alat, menjaga
akses pasar, dan mengatakan kepada publik bahwa pilihan-pilihan itu adalah
untuk kepentingan nasional, bukan proyek geopolitik pihak ketiga.
Secara filosofis, gagasan Prabowo mengeklaim bahwa stabilitas dan keamanan
adalah prasyarat kebebasan ekonomi—sebuah premis yang terdengar bijak dalam
rapat dewan direksi, tapi memancing tanda tanya saat menempati ruang publik
yang luka. Gagasan ini menantang kita: apakah kebebasan penuh mungkin muncul
dari penekanan sementara pada otoritas? Atau apakah penekanan itu justru
menumbuhkan resistensi yang lama-lama memakan legitimasi? Menjawabnya bukan
tugas satu tokoh; ini soal bagaimana masyarakat memutuskan prioritas antara
kecepatan transformasi dan keadilan proses.
Bagian D — Refleksi untuk Zaman Sekarang
Jika kita memandang Prabowo sebagai cermin, apa yang kita lihat dari diri kita
sendiri? Pertama, kebersediaan publik untuk menukar rekonsiliasi panjang
dengan janji efektivitas cepat. Di era di mana hasil seringkali dihargai lebih
tinggi daripada proses, tokoh yang mampu menjanjikan "perbaikan instan" akan
selalu menemukan pasar. Kita hidup di zaman KPI sosial: angka kemiskinan
turun, proyek infrastruktur bertambah—tapi bekas luka sejarah tidak otomatis
tertutup oleh statistik. Apakah kita, sebagai pemilih, puas jika luka itu
hanya ditutupi perbaikan material?
Kedua, wacana keamanan sebagai produk memberi pelajaran dalam jargon
korporat-politik: positioning matters. Prabowo pintar memposisikan diri dari
margin (mantan oposisi) menjadi poros kekuasaan—sebuah pivot strategis yang
mengingatkan pada merger dan akuisisi dalam bisnis: aliansi strategis
menggantikan konfrontasi. Ini bukan kebetulan; politik modern adalah soal
brand, jaringan, dan deal-making. Namun tanda tanya besar tetap: bagaimana
mekanisme checks and balances bekerja saat brand kuat itu mengumpulkan
otoritas?
Ketiga, ada pelajaran etis: rekonsiliasi tanpa akuntabilitas menyimpan risiko
jangka panjang. Negara yang ingin maju harus bisa menyelesaikan masa lalunya
agar tidak membawa beban legitimasi ke masa depan. Jika luka kolektif terus
dibiarkan, narasi legitimasi pemerintah akan mudah dijerumuskan sebagai
proteksi bagi mereka yang berkuasa. Kepala desa di pelosok dan profesor di
universitas sama-sama berhak menuntut kebenaran—politik modern yang sehat
bukan hanya soal efektivitas, tetapi juga soal legitimasi moral.
Apakah presiden ini akan melalukan revolusi, baca juga,
makna revolusi
Akhirnya, refleksi ini mengajak pembaca: apakah kita ingin negara yang cepat
bertindak namun menutup mata pada masa lalu, atau negara yang lambat namun
menuntaskan benang-benang keadilan? Pilihan ini bukan retorika kosong; ia
menentukan bagaimana demokrasi beregenerasi, dan apakah generasi berikutnya
akan memikul beban sejarah atau bisa menata ulang masa depannya.
Bagian E — Warisan
Warisan Prabowo, bila dilihat dari dua sisi, bersifat dialektis. Di satu sisi,
jejaknya adalah modernisasi institusi dan dorongan nyata untuk kemandirian
pertahanan serta ambisi pembangunan ekonomi yang agresif—serupa CEO yang
memasang target kuantitatif untuk meningkatkan kinerja organisasi publik. Di
sisi lain, warisannya sarat kontradiksi: legitimasi yang dibangun di atas
ketegasan administrasi namun terus dibayangi isu hak asasi manusia yang belum
tuntas.
Kontradiksi ini bukan hanya personal; ia struktural. Rezim yang ingin
menyelesaikan persoalan kemiskinan dan infrastruktur cepat harus menghadapi
tuntutan akuntabilitas yang menuntut waktu — dua tuntutan yang kerap saling
berbenturan. Sejarah mungkin akan mencatat pencapaian materialnya, tetapi
catatan moral dan legal tentang masa lalu akan menetap sebagai bagian dari
narasi kolektif bangsa. Cara publik menilai warisan ini akan bergantung pada
apakah ada ruang untuk rekonsiliasi yang bermakna, transparansi kebijakan, dan
mekanisme checks and balances yang efektif.
Penutup
Mungkin tokoh-tokoh besar bukan sekadar untuk diwarisi pikirannya, melainkan
untuk terus diperdebatkan—supaya kita tidak mati bersama kenangan yang tidak
terselesaikan. Prabowo Subianto menawarkan pelajaran yang rumit: tentang
bagaimana kekuatan dan ambisi membentuk jalan negara, dan bagaimana pilihan
antara hasil cepat dan keadilan panjang harus diputuskan secara kolektif.
Bukan saatnya mengafirmasi atau menghapus; melainkan saatnya menanyakan lagi
apa yang kita harapkan dari sebuah negara yang masih merajut dirinya dari
tumpukan sejarah.
Referensi
1. Griffith Law Journal — Prabowo and the Shortcomings of International
Justice. D. Warren. (PDF). .
2. Amnesty International — In Indonesia, Prabowo's dark past casts a pall over
his presidency. Amnesty USA, 2024.
3. International Crisis Group — Impunity versus accountability for gross human
rights violations (PDF).
4. Journal Article (SAGE) — Collective Memory, Democratic Ambivalence, and
Authoritarian Notions of Democracy: Explaining the Rise of Prabowo Subianto.
Burhanuddin Muhtadi, 2025.
5. JSTOR — E. Aspinall, Oligarchic populism: Prabowo Subianto's challenge,
Indonesia Journal.
6. Al Jazeera — Indonesia election commission confirms Prabowo Subianto wins
presidency, 20 Mar 2024.
7. The Guardian — Indonesia election: Prabowo formally declared
president-elect after court rejects legal challenges, 25 Apr 2024.
8. Britannica — Prabowo Subianto: Biography.
9. AP News — Indonesia to buy 42 fighter jets from China (context on defense
procurement under Prabowo).
10. AP / Reuters coverage on cabinet and early presidency: AP News, New
President Subianto swears in Indonesia's largest Cabinet since 1966, Oct
2024.
Komentar
Posting Komentar