WADUHMAS.COM

Mikir dulu baru bicara

Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]


Ketika Bantuan Turun Tanpa Malu

Ketika Bantuan Turun Tanpa Malu

Ada masa ketika bencana bukan sekadar soal tanah yang retak, tapi juga moral manusia yang ikut roboh seperti dinding rapuh sebuah rumah tua. Rasanya seperti menonton sandiwara gelap, di mana para aktornya lupa bahwa panggung ini bukan teater, melainkan Sumatra yang sedang menangis.

Di antara puing-puing, ada tangan-tangan yang sibuk menempel wajah presiden di setiap kardus bantuan, seakan tragedi adalah baliho besar yang harus dipajang. Di sisi lain, ada orang yang memungut sinyal internet gratis dari langit—konon hadiah dari Elon Musk—tapi ditahan pungli lima ribu per jam oleh penjaga tak resmi yang entah siapa memberi mandat.

Dunia terasa lucu dalam cara yang pahit, absurditas yang tak meminta tepuk tangan.



BAGIAN A - Realitas

Ada satu adegan yang konon berulang di banyak titik bencana: manusia yang kehilangan rumah justru harus berhadapan dengan manusia lain yang kehilangan rasa malu.

Bencana Sumatra 2025 membentang sebagai laboratorium sosial yang tak pernah diminta—tempat di mana setiap celah memperlihatkan karakter sebenarnya dari masyarakat yang selama ini dibalut rutinitas.

Di sepanjang jalan menuju posko, terlihat kayu-kayu gelondongan yang ukurannya tak kalah besar dari nasib para pengungsi. Tidak ada tanda potongan rapi yang biasanya dibuat oleh perusahaan terdaftar.

Kayu-kayu itu bukan sekadar kayu; ia seperti jejak kaki raksasa yang sedang memijak hutan dengan sembrono. Orang-orang berbisik soal penebangan liar yang tak terkendali, memanfaatkan ricuhnya situasi ketika semua mata sibuk menatap reruntuhan bangunan, bukan reruntuhan ekologi. Bencana seakan jadi kesempatan: ketika perhatian teralihkan, suara gergaji berputar lebih cepat.

Namun kegelian yang getir tidak berhenti di sana. Bantuan negara datang, tapi setiap karung beras dan selimut ternyata diberi stiker wajah presiden seolah agar semua orang tahu siapa sang dermawan. Seakan tragedi adalah panggung kampanye gratis. Seseorang di posko berkata dengan nada datar, “Sepertinya kami harus mengucapkan makasih langsung ke wajah di stiker itu, bukan ke Tuhan.” Kalimat itu melayang seperti asap, tipis tapi menyengat.

Lalu ada jaringan internet darurat yang turun dari langit lewat satelit milik Elon Musk. Maksudnya mulia: memberi komunikasi gratis bagi area krisis. Tapi di tanah, manusia selalu menemukan cara baru untuk membuat absurditas berbunga. Jaringan itu tiba-tiba “dikelola” oleh oknum, dengan tarif lima ribu per jam. Beberapa desa bahkan mematok sepuluh ribu karena katanya “biaya jaga.” Sinyal yang harusnya jadi jembatan, berubah menjadi dagangan.

Di antara semua itu, perut-perut kosong tak bisa menunggu moral pulih. Kelaparan memaksa beberapa warga menjarah minimarket, mengambil roti dan air mineral yang sebetulnya bisa mereka dapatkan di posko jika distribusi tidak macet oleh pungli dan birokrasi yang aneh. Di satu rekaman amatir, terlihat seorang ibu memeluk dua bungkus mie instan seperti memeluk bayi. Bukan karena lapar semata—tapi karena rasa takut kehilangan sisa kendali atas hidup.

Namun yang paling ramai dibahas justru hadir dari ruang digital: seorang influencer bernama Ferry Irwandi, yang tiba-tiba muncul bak juru selamat alternatif. Ia membuka galang dana, mengirim laporan harian, menyalurkan bantuan tanpa stiker. Banyak orang mendadak mengangkatnya sebagai pahlawan dadakan, bahkan lebih dipercaya daripada wakil presiden yang konon sibuk dengan rapat koordinasi dan sesi TV.

Di kolom komentar sosial media, ada rasa muncul kalimat pedas: “Influencer lebih berguna daripada pejabat negara. Ironi zaman.”

Realitas Sumatra 2025 menjadi potret kacau sebuah negara yang sedang mencari dirinya sendiri. Di balik reruntuhan, tersimpan pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa disapu hanya dengan bantuan logistik. Ada sesuatu yang lebih retak daripada bangunan: kejujuran kolektif.




BAGIAN B - Analogi

Bencana selalu menjadi cermin raksasa. Ia menelanjangi manusia tanpa ampun, memperlihatkan siapa yang sebenarnya menghadapinya: makhluk yang rapuh, makhluk yang solidaritasnya terbatas, atau makhluk yang oportunisme-nya tak kenal waktu. Para filsuf pernah membahas ini jauh sebelum pesawat drone pertama merekam puing-puing kota.

Thomas Hobbes, misalnya, membayangkan kondisi alamiah manusia sebagai medan “perang semua melawan semua.” Dalam pandangannya, ketika struktur sosial runtuh, manusia akan kembali ke naluri paling dasar: bertahan hidup, bahkan jika itu berarti menciderai sesama. Sumatra 2025 seperti panggung kecil bagi ide itu. Toko yang dijarah bukan hanya soal lapar; ia juga pertanda bahwa kepercayaan pada sistem telah patah. Orang menjarah ketika mereka merasa negara tidak hadir, atau hadir hanya untuk menempelkan wajah pemimpinnya di bantuan.

Namun jika Hobbes melihat manusia sebagai serigala, Jean-Jacques Rousseau melihatnya sebagai makhluk yang pada dasarnya baik, tapi dirusak oleh struktur sosial. Dalam nalar Rousseau, kelakuan bejat yang muncul bukan berasal dari diri manusia yang asli, melainkan dari tekanan sistem yang sudah lama pincang. Mungkin di Sumatra bukan manusia yang jahat; mungkin manusianya lelah dilupakan.

Beranjak dari filsafat Barat, ada pula pandangan Asia yang lebih kontemplatif. Dalam Buddhisme, duka manusia tidak hanya lahir dari kehilangan materi, tapi juga dari kelekatan pada ilusi dan kekuasaan. Stiker wajah presiden di bantuan negara terlihat seperti bentuk kelekatan itu: keinginan untuk diingat, bahkan saat rakyat sedang memikul mayat keluarganya. Penderitaan terjadi bukan karena bantuan datang terlambat, tetapi karena bantuan datang dengan syarat estetika.

Fenomena pungli terhadap internet yang seharusnya gratis juga mengingatkan pada kisah-kisah klasik tentang kekuasaan kecil. Banyak tokoh antropologi pernah mencatat bahwa manusia akan membangun “struktur mini” kekuasaan setiap kali ada celah. Pada skala desa, oknum bisa menjadi “raja kecil,” memungut biaya hanya karena ia berada lebih dekat dengan sumber daya. Bukan karena ia jahat, tapi karena struktur sosial mengizinkan celah itu. Ketika bencana datang, celah itu menganga lebih lebar.

Lalu bagaimana dengan influencer seperti Ferry Irwandi? Dalam teori media modern, fenomena ini tidak aneh. Sosiolog Zygmunt Bauman pernah menyebut bahwa masyarakat kini hidup dalam “cairan sosial”—kepercayaan tidak lagi melekat pada institusi, tapi pada figur yang tampak manusiawi. Influencer dengan kamera ponsel bisa lebih dipercaya daripada pejabat yang tampil dalam setelan jas. Ferry menjadi simbol dari kerinduan publik pada figur yang tampak bekerja, bukan sekadar berpidato.

Kepercayaan publik bergerak seperti air: ia mengalir ke tempat yang paling rendah tekanan, bukan ke tempat yang paling tinggi gedungnya. Saat wakil presiden sibuk menghadiri rapat, Ferry sibuk mendorong kardus bantuan ke tangan korban. Gambar itu lebih kuat daripada seribu siaran pers.

Di balik semua ini, tersimpan satu tafsir sederhana: bencana tidak pernah melahirkan sifat jahat; ia hanya membuka pintu lemari tempat sifat itu disembunyikan. Manusia seperti amplop: ketika basah, warna dalamnya terlihat.

Sumatra menjadi puisi gelap tentang bagaimana kekuasaan, solidaritas, dan kebetulan bertabrakan. Setiap tokoh memainkan perannya: pejabat yang ingin dipuji, oknum yang ingin untung, warga yang ingin makan, influencer yang ingin membantu, dan para penonton yang ingin percaya pada siapa saja yang masih mau berkata jujur.

Apa yang kita lihat bukan hanya kehancuran fisik, tapi retaknya narasi kebangsaan. Dalam bencana, negara diuji bukan soal kecepatan menyalurkan bantuan, melainkan kejujuran mengakui cacatnya. Bencana bukan hanya soal tanah yang patah, tapi juga tentang hati yang tak lagi sinkron.


BAGIAN C — Refleksi Batin

Jika kita duduk sejenak dan memejamkan mata, mencoba merasakan napas panjang Sumatra yang masih berdebu, mungkin kita akan mendengar sesuatu yang tidak terekam dalam kamera berita: suara manusia yang bingung. Bingung melihat tumpukan bantuan yang berwajah politikus; bingung melihat sinyal gratis yang mendadak bertarif; bingung melihat hutan yang ditebang tanpa rasa bersalah; bingung melihat komentar netizen yang memuja influencer lebih tinggi daripada pejabat negara.

Kebingungan itu wajar. Bencana membuat semua orang kehilangan arah, bukan hanya mereka yang rumahnya rubuh. Kita, yang menonton dari jauh, juga ikut retak: retak keyakinannya, retak harapannya, retak sabarnya.

Ada momen ketika seseorang berdiri di tengah posko, memandangi kotak bantuan bergambar wajah. Ia ingin bersyukur, tapi setiap kali ia mengangkat kotak itu, wajah itu menatap balik seolah berkata, “Jangan lupa siapa yang memberimu.” Apakah ini bantuan, atau transaksi? Apakah ini cinta, atau promosi?

Di sisi lain, pungli internet lima ribu per jam mungkin terasa kecil bagi sebagian orang, tapi bagi korban bencana yang ingin mencari kabar keluarga, angka itu seperti portal antara hidup dan mati. Pertanyaan pelan muncul: sejak kapan komunikasi dianggap sebagai barang dagangan, terutama saat bencana?

Dan kayu-kayu gelondongan yang berserakan di jalanan, seakan menunggu seseorang bertanya: siapa yang mengambil kesempatan di tengah derita? Hutan tidak memiliki suara, tapi ia meninggalkan tubuhnya sebagai bukti.

Di tengah semua ini, muncul satu fenomena lain: orang-orang mulai berharap pada influencer, bukan pejabat. Apakah ini tanda bangkrutnya kepercayaan pada negara, atau sekadar refleksi bahwa kita lebih percaya pada manusia yang kita lihat bekerja langsung, meski ia bukan siapa-siapa dalam struktur pemerintahan?

Mungkin refleksi terdalam justru datang dari para korban sendiri. Mereka yang kehilangan rumah tetapi masih bisa menawarkan rokok kepada sesama pengungsi. Mereka yang kelaparan tetapi masih bisa tersenyum ketika menerima air mineral. Mereka yang tidak ingin tahu siapa yang menempelkan stiker, siapa yang menebang hutan, atau siapa yang memungut pungli. Mereka hanya ingin hidup.

Di titik ini, pertanyaan yang menggantung terasa semakin sunyi: apakah bencana sedang menguji moral kita, atau justru memperlihatkan bahwa moral itu memang sudah lama rapuh?


Penutup

Sumatra 2025 mungkin akan dikenang sebagai babak kelam, bukan karena tanahnya bergerak, tapi karena hati manusia bergeser lebih jauh daripada retakan bumi. Di balik puing-puing, kita melihat bayangan panjang kegagalan yang tidak bisa ditutup dengan konferensi pers. Kita melihat manusia yang tersedot ke absurditas: stiker wajah di kardus, tarif internet darurat, kayu-kayu gelap yang lahir dari gergaji sunyi, dan pahlawan-pahlawan dadakan yang muncul dari layar ponsel.

Namun seperti semua tragedi, ia bertanya tanpa suara: di mana kita berdiri ketika dunia runtuh? Apakah kita menjadi penolong, penonton, atau pedagang kecil yang memanfaatkan kekacauan?

Pertanyaan itu tidak menuntut jawaban hari ini. Ia cukup tinggal sebagai bayangan yang mengikuti kita pulang, menunggu sampai kita berani menatapnya.


Referensi

1. J. Aldrich. “Political Legitimacy and Disaster Response: Understanding the Fragility of Public Trust After Catastrophes.” Journal of Emergency Management, 2021.


2. R. Donovan. “The Economics of Opportunism During Crises: Informal Markets in Disaster Zones.” Open Access Journal of Social Economics, 2020.


3. M. L. Pelling. “Human Behavior in Post-Disaster Environments: A Sociological Framework.” International Review of Social Studies, 2022.


4. S. Ramanathan. “Digital Trust and Influencer Credibility in Humanitarian Crises.” Media & Society Open Access, 2023.


5. K. Wood & T. Harada. “Illegal Logging and Crisis Exploitation: Environmental Crimes in Disaster Contexts.” Asia-Pacific Journal of Environmental Studies, 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bottom Ad [Post Page]

| Designed by Colorlib